Catatan No. II : “Lubang Cacing”

1850 Words
“Kita akan kedatangan tamu dari Twilight.” Nida memerintah butler pribadinya. Pagi itu, pasukan maid terlihat hilir mudik di ruang utama Kastel. Masing-masing menyibukkan diri untuk mempersiapkan segala sesuatu demi menyambut sang tamu. Bagian tengah aula sudah dihiasi karpet merah menuju lantai dua. Nida bergegas kembali ke ruangan untuk merapikan penampilan. Tak boleh ia terlihat berantakan di hadapan sang tamu delegasi. Kota Twilight merupakan salah satu wilayah penting di kerajaannya. Mereka diberi otonomi khusus karena menjadi pusat pendidikan dan pengembangan magitech. Mengirim orang secara langsung tanpa menggunakan surat resmi dan hanya pemberitahuan singkat, Nida menduga ini mungkin perkara penting. Sejenak ia memandangi kertas lusuh. Isinya tentu saja potret gadis cantik berambut biru tadi. Tepian bibir Nida tertarik sedikit, mengukir senyum getir seraya mengingat kenangan manis di masa lalu. Pikirannya kemudian ditarik kembali menuju kesibukan di dunia nyata, buru-buru ia memasukkan benda itu ke saku baju. Sesuatu terdengar meledak dari aula Kastel. Terdengar cukup jauh, akan tetapi suara ledakan itu menggema, memantul pada dinding di sepanjang lorong menuju posisinya. “Serangan teroris?” Degup jantung Nida berpacu seketika. Darah terpompa lebih cepat menuju otak, memerintahkan agar meningkatkan kewaspadaan. Nida memutar arah bergegas untuk memeriksa. Tiba di aula lantai dua, Nida mendapati kehadiran seorang gadis berambut hitam acak-acakan. Posisinya terbaring di lantai dasar. Pakaiannya hitam kusut, kotor, dan dikelilingi oleh serpihan mesin robot. Kendaraan yang ia tumpangi sepertinya mendarat darurat di sana. “Orchid?” seru Nida menyelidik. Gadis yang dipanggil Orchid menggaruk-garuk kepalanya, lalu bangun sambil membersihkan debu di baju, “Yo! Aku menyampaikan berita dari Twilight,” balasnya riang seraya sambil menunjukkan surat di tangan. “Ha? Jadi kamu tamu dari kota itu?” Seketika wajah Nida berubah jengkel, malas sekali ia berurusan dengan makhluk satu ini. Kelakuan gadis ini kekanakan, rakus, liar, serta sulit diatur. Tiga tahun lalu, dalam perang besar menyelamatkan dunia. Orchid adalah salah satu rekannya. Mereka cukup akrab satu sama lain. Nida lalu menuruni tangga, berjalan menuju aula utama di lantai dasar, melewati beberapa maid yang sibuk membersihkan puing bangunan. Para maid kenal dengan sosok berpakaian serba hitam. Nama lengkapnya Sumaraw Orchid, gadis aneh yang mudah tertawa. Penampilannya terlihat nyentrik karena selalu mengenakan pakaian berwarna gelap. Belum termasuk model rambut acak-acakan tak tersisir. Secara fisik ia terlihat seumuran dengan Nida, akan tetapi sikapnya jauh lebih kekanak-kanakan dari siapa pun di alam semesta. Nida lalu membaca surat dari Presiden Twilight. “Kita bicara di dalam,” ucap Nida melangkah menaiki tangga. Wajahnya terlihat sangat serius. Satu per satu lembar surat berisi proposal ia buka dan baca. Mendadak Nida hilang keseimbangan, kakinya terantuk tangga hingga jatuh terguling-guling. Semua orang tertegun seraya menahan tawa. Sang Raja Exiastgardsun terlihat tak memiliki wibawa. Entah apa rencana Tuhan menjadikan orang ini sebagai pewaris takhta. “Makanya jangan baca sambil jalan,” kata Orchid menertawakan.   .............   2 hari kemudian... Maid dan butler berjajar rapi di kedua sisi jalan, mereka membentuk semacam pagar manusia. Semuanya agak membungkuk memberikan penghormatan. Empat sosok penting berjalan menuju hanggar di sisi terluar kastel. Semilir udara dingin meniup pepohonan hingga daunnya berguguran. Ragam tumbuhan berwarna cokelat tampak bergidik diembus angin musim gugur. Di penghujung jalan, terdapat pesawat Excaliber berbentuk kubus. Sayapnya—fungsinya tak lebih dari dekorasi—berpelengkap dua roket pendorong. Kapal kerajaan terlihat lebih futuristik dibanding airship[1] yang berkeliaran di langit kejauhan. Lalu lintas perdagangan terlihat ramai, baik di laut, maupun di udara. Seluruh aktivitas perdagangan tidak diizinkan dilakukan di dalam kota. Tak semua orang bisa seenaknya memasuki kota Villian. Dibalik kesederhanaan rakyatnya. Dunia tempat Nida bernaung sesungguhnya memiliki sains dan teknologi bertaraf tinggi. Mereka mampu membuat pesawat anti gravitasi—melayang tanpa roket maupun baling-baling—juga menguasai teknologi nuklir, komputer kuantum, beserta kendaraan unik lain. Hebatnya lagi, semua peralatan itu tidak menggunakan listrik maupun bahan bakar fosil. Penduduk Exiastgardsun tak lagi bergantung pada sumber daya alam seperti itu. Mereka telah menemukan sumber energi lain yang bisa diperbaharui. Adalah Manna— energi supernatural yang terdapat secara natural di alam semesta. Selayaknya kandungan nitrogen, argon, dan gas lainnya dalam udara yang dihirup setiap hari, Manna bersirkulasi juga dalam diri manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk hidup yang ada. Penelitian membutuhkan waktu hampir sepuluh dekade, sebelum energi itu mampu dideteksi secara ilmiah. Dan kini, penduduk Exiastgardsun berhasil menemukan cara untuk memanen Manna dan mengubahnya menjadi energi lain. Bicara tentang supernatural, pasti selalu dikaitkan dengan sihir atau kekuatan misterius yang tidak ilmiah. Begitu pun dengan yang terjadi di sini. Sihir bukanlah hal asing bagi penghuni Exiastgardsun. Manusia super dengan kemampuan supernatural sudah dianggap sebagai hal biasa. Teknologi hebat yang mereka capai, sesungguhnya juga merupakan proses pengawinan sihir dengan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, dengan segala kemewahan teknologi itu. Kota Villian merupakan pengecualian untuk semua pencapaian yang ada. Mereka menghormati leluhur yang ribuan tahun tinggal di sana. Energi Manna sebagai bahan bakar, tak akan pernah bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Zat tak kasat mata itu dinetralisir oleh kumpulan arwah suci yang bernaung khusus di tempat sang raja berada. Mereka menyebut arwah itu dengan panggilan Fayth of Annunaki. Pun begitu, Excaliber merupakan sebuah pengecualian. Sistem aviasi pesawat kenegaraan itu berlandaskan pada energi listrik untuk kalkulasi menggunakan komputer kuantum. Penggeraknya dibuat hibrid menggunakan energi Manna dan elektromagnetik. Hasilnya, benda berbentuk kubus terbuat dari logam itu sanggup melayang bebas seperti telur di dalam air. Sejengkal memasuki pintu pesawat, semuanya disambut dengan sistem penyejuk ruangan. Pesawat kecil itu memiliki ruangan besar jauh melebihi ukuran pesawat itu sendiri. Ada 20 ruangan yang cukup untuk  menampung puluhan orang sekaligus. Para pembuatnya sukses mengadopsi teknologi terbaru di bidang pengendalian ruang dan massa, mereka berhasil menyusutkan sebuah istana ke dalam bentuk kubus sepanjang dua puluh meter saja.   ...   Pagi hari di dunia indah bernama Exiastgardsun, dua mentari kembar menanjak perlahan di langit timur, mewarnai gelap malam dengan langit biru cerah. Neo Excaliber terbang di atas lautan tenang tanpa satu pun ombak. Alur pergerakannya begitu anggun, stabil, lurus membelah air layaknya silet menyobek sehelai kain sutera. Di ruang kendali. “Capek deeh... Jadi kita ke sana cuma ngikut pameran, terus pulang lagi gitu? Nida, sempatin dulu jalan-jalan dong.” Celine memelas, menyandarkan dagunya pada meja bundar memanjang sepanjang ruangan. Hanya ada lapisan akrilik yang membatasi pengemudi dengan penumpang. Topografinya seakan meniru konsep taksi. Tempat ini malah terasa seperti ruang rapat. Teknologi anti inersia membuat seisi kapal bisa nyaman tak merasakan sedikit pun guncangan, walau sesungguhnya badan pesawat tengah menukik-nukik, atau bergerak tajam dalam bermanuver. “Kamu enak masih jadi anak sekolah... lah aku kan kudu ngurusin banyak hal.” Celine memasang wajah masam. Orchid bersenandung memegang kemudi pesawat. Sementara itu, Yuki hanya terduduk menikmati pemandangan di luar sana. Awan putih terlihat seperti kapas, berembus cepat tak berbobot. Pesawat Excaliber terbang melesat di langit. Suasana terasa damai sekali.       ………       Namun ketenangan itu hancur seketika. Pesawat yang mereka tumpangi mendadak berguncang hebat. Langit yang tadinya cerah seketika berubah menjadi hitam kelam. Dentuman suara petir terdengar di luar sana. Nida terkaget-kaget, ia baru kembali dari dapur untuk mengambil camilan, “Apaan nih!?” “Gak tau, langit jadi kayak gini setelah kita memasuki lingkaran awan spiral,” jawab Orchid singkat. Raut wajahnya berubah serius. Jemari perempuan berambut hitam itu memegang erat kemudi pesawat. “Tidak bisa dihindari?” Orchid menjawab dengan gelengan kepala, rambutnya mengembang tertarik gaya inersia. Alarm yang ada di kokpit berdenging silih berganti. Semua orang berkerumun tertegun di belakang kursi pilot. Mendapati pesawat yang mereka naiki tengah berada dalam lorong misterius, dindingnya terbuat dari awan gelap dengan tirai listrik menyambar tak beraturan. Orchid menoleh memberikan jawaban, ia menggaruk kepala yang tak terasa gatal, “Nyahaha~ Abis awannya aneh sih. Bentuknya kayak dinding raksasa dengan lubang gelap di tengah. Kelihatan lucu banget, jadinya aku masuk ke sana,” ucapnya tiada beban. Nida dan Celine terdiam sejenak. Gagal mencerna alasan konyol di balik tindakan Orchid. Mereka sama-sama menarik napas panjang, untuk kemudian memaki kesal, “DASAR BODOH!” Kombo dua jitakan diterima Orchid dengan sepenuh hati. Sementara itu, Yuki masih menuangkan segelas teh untuk menghangatkan diri.   ...   Beberapa menit kemudian.. Excaliber masih berguncang hebat. Getaran terasa tiada henti, seluruh instrumen pesawat mati total. Bahkan lampu penerangan pun tak bisa menyala. Keadaan menjadi gelap gulita. Pesawat itu tersedot masuk lebih dalam menuju lorong gelap tak berujung. Setetes keringat dingin jatuh dari dahi Celine, di sekelilingnya, semua orang terlihat memiliki mimik wajah yang sama. Alis mengerut dan mata yang membelalak. Suasana begitu tegang, sumber cahaya hanya berasal dari kilatan petir di luar. Masing-masing terdiam membayangkan segala kemungkinan terburuk. “Aduh, serasa menjadi karakter utama film Final Destination,” cetus Orchid memecah keheningan. “DIAM..!!” Nida dan Celine memekik kalap. Gedebuk pukulan dan tendangan kembali diterima anak itu dengan sepenuh hati. Jantung serasa copot mendengarnya. Suasana berubah hening seraya mereka berusaha menenangkan diri. Lorong tempat pesawat terisap tampak tak memiliki ujung. Hanya ada kilatan petir berloncatan ke sana kemari. Intensitas ledakan terasa semakin padat. Gemuruh suara petir kian santer terdengar. Semakin jauh mereka masuk ke dalam lorong, semakin brutal petir menyambar. Petir lainnya meledak tepat di samping pesawat, menimbulkan efek silau yang membutakan mata dalam sekejap. Semua orang kaget setengah mati. Namun mereka berusaha untuk tetap tenang. Hingga akhirnya sedetik kemudian… BLAAAAAR..!!! Petir lainnya kembali menyambar, memupuskan ekspresi tenang yang susah payah mereka terukir di wajah. Diikuti jeritan histeris sepenuh hati, petir barusan tepat mengenai pesawat hingga mematikan sistem secara total. Pesawat itu tak berdaya sama sekali, melayang jatuh dan menyentuh dinding di tepian. Ledakan listrik menyambar kian tak terkendali, pesawat Excaliber menerobos keluar dari dalam lorong dengan cara menembus awan pembatas. Segalanya berubah gelap, mereka melayang dalam ruang hampa berisi ketiadaan. Sistem anti inersia gagal berfungsi. Kedua kaki tak bisa berpijak pada apa pun. Tarikan gravitasi hilang begitu saja. Sekelebat kilat membuat mereka sanggup melihat pergerakan awan. Mereka sadar, Excaliber sedang mengalami kejatuhan entah menuju mana. Semuanya terombang-ambing tak berdaya dalam kesunyian. Furnitur di seisi ruangan berputar-putar tak terkendali, hanya ada jeritan yang santer mengisi. ‘“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!” … “Aaaaaaaa…..”   …   “Aaaaa…..”   …   Hening.   …   Situasi dikuasai sunyi, embusan napas terdengar jelas disertai degup jantung. Bahkan, untuk menjerit pun mereka sudah merasa letih. Waktu terus bergulir. Beberapa jam terlewati... Nida menyalakan pemantik api. Paru-parunya menghirup nikmat sebatang rokok dengan santai. Semuanya terdiam seraya berpandangan satu sama lain, pesawat masih berputar-putar tak karuan. Sudah hampir sejam mereka dalam keadaan seperti itu, melayang jatuh di udara tanpa gravitasi.   “............”   Tak tercipta sedikit pun suara di antara mereka. Saling pandang, mata Celine tampak berkaca-kaca.   “............”   Nida mengembuskan asap dari mulutnya. Memandangi para sahabatnya yang terdiam sambil melayang di udara. Mulutnya bergerak mengucapkan sesuatu, berniat untuk memecah keheningan, “Kita masih jatuh?” Yuki menjawab singkat, “Sepertinya begitu.” Percakapan singkat itu otomatis mengingatkan kembali mereka yang sudah tenang. Suara jeritan pun kembali terdengar, “AAAAAAAAAAAAAAAAA!!” Orchid hanya tertawa terbahak-bahak seolah menikmati. Pemantik api Nida mati, segalanya kembali menjadi gelap gulita. “Yuki! Menurutmu apa yang sedang terjadi?” seru Nida setengah berteriak. “Gak tahu, mungkin kita tengah berada di lorong penghubung dimensi.” “Terus!?” “Aku sendiri gak yakin!” lanjutnya mengeraskan suara. Cahaya terang memancar dari luar jendela. Sinar itu datang dari kejauhan, Excaliber melayang jatuh menabrak sumber cahaya. Seisi kokpit terang benderang, semua orang melindungi mata masing-masing. ----------------------------- [1] [1] Airship adalah wahana terbang berukuran besar. Bentuk keseluruhannya mirip dengan perahu, desain itu memiliki tujuan fungsional agar bisa digunakan sebagai kapal laut sungguhan yang akan mengambang di atas air.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD