Prolog : “Bumi”

992 Words
DEKAPAN KENANGAN “Dunia Baru” Beribu jeritan sayup terdengar, bercampur dengan derap langkah usaha penyelamatan diri. Masing-masing jiwa berhamburan dilanda panik. Lima mobil lapis baja muncul dari kejauhan, memunculkan puluhan tentara dengan senapan otomatis siap menembak. Anak kecil, perempuan, serta orang tua tampak pucat ketakutan. Semuanya hiruk-pikuk di jalanan, mencari tempat perlindungan. Mereka sadar para tentara itu datang dengan maksud buruk. Bagai gayung bersambut, kepanikan itu lantas disusul dengan tarikan pelatuk senjata. Seketika itu juga teror datang menyapa. Moncong senjata meledak, memuntahkan timah panas pencabut nyawa. Mereka menembak keji siapa pun yang terlihat di jalanan. Tak peduli anak kecil, wanita, maupun orang tua, semuanya dibunuh layaknya serangga tak berdaya. Tangis jeritan terdengar menggema, berbaur dengan tiupan angin bercampur pasir menyuarakan derita. Secarik surat kabar terbang ditiup angin, melewati beragam gedung rusak hasil ledakan. Asap gelap membubung tinggi di tiap sudut kota, menandai kejahatan perang tengah berlangsung di negeri tandus nan gersang. Embusan angin menerbangkan surat kabar tadi, melewati sekumpulan jasad berlumuran darah di jalanan. Anak kecil dengan air mata mengucur tersedu ketakutan. Pandangan matanya gamang menyaksikan jasad kedua orang tua tergeletak kaku di hadapan. Beberapa lainnya menjerit keras menengadahkan kepala, tak terima atas hantaman takdir kejam. Mereka ditindas, dihapus keberadaannya lewat sebuah kejahatan perang, pembersihan etnis dalam aksi keji pemusnahan massal. Pun begitu, tak semuanya pasrah begitu saja. Jauh di sudut kota, terdapat sekumpulan pasukan bersorban merah sibuk menyelinap dari balik gedung.  Mereka mempersiapkan diri, berniat melawan para penjajah yang dilengkapi alat modern berteknologi tinggi. Para pejuang itu hanya bermodalkan roket sederhana dari bahan seadanya. Pandangan mata mereka begitu tajam, dibakar amarah disertai doa dan sumpah serapah. Orang-orang itu bertekad menantang maut demi menuntut balas akan kematian teman dan keluarga. Kota itu digempur oleh Negara adi daya. Tujuannya adalah ladang minyak berlimpah ruah, juga demi uang dan sumber daya lainnya. Rakyat tak berdosa dibunuh keji, para gadis diperkosa, rumah-rumah dibakar, nyawa manusia dibuat murah tak berharga. Namun, tak ada seorang pun berani menentang kekerasan itu. Media massa mengendalikan pikiran masyarakat dunia. Berita di televisi menutupi segala penderitaan, serta sukses memutarbalikkan fakta. Para pejuang yang mengorbankan nyawa untuk melindungi tanah air, malah dipelintir sedemikian rupa hingga dihakimi dengan sebutan ‘teroris’. Para pejuang bersorban merah berhasil melakukan penyergapan. Mereka menggempur sekumpulan prajurit musuh di kejauhan. Pertempuran itu berlangsung sengit, tak lupa diselingi teriakan keras menyerukan kebesaran Tuhan. Sayangnya, harapan yang bertumpu dalam tiap lontaran roket gagal melakukan tugasnya. Mesin perang berbahan dasar baja komposit di pihak penyerang terlalu tangguh untuk bisa dihancurkan. Tanah yang mereka pijak bergetar keras tatkala benda menyeramkan itu maju mendekat. Puluhan ton logam menderap bumi hingga berguncang. Suaranya terasa mengintimidasi, mengimpit nyali pertempuran dari mereka yang berani melawan. Moncong tembak di bagian puncaknya mengatur posisi mengincar sasaran, siap menerkam kapan pun diperintahkan. Para pejuang bersorban merah terpojok, tak sanggup untuk menyelamatkan diri dari serangan terkoordinir. Satelit dan teknologi telekomunikasi musuh sama sekali tak memberi ruang untuk bersembunyi. Misil dari pesawat tempur datang menyapa. Pandangan putus asa terukir jelas pada wajah sang penentang. Masing-masing meneriakkan nama Tuhan, bersiap untuk menerima kematian yang tak terelakkan. Keheningan terjadi secara nyata, waktu terasa berhenti seketika. Masing-masing terkesiap dengan mulut setengah terbuka, diselingi pandangan mata kosong menatap maut yang hendak menyapa. Akan tetapi, sunyi itu berlanjut pada kejadian di luar logika. Tak pernah ada yang menduga, bahwasanya seorang gadis tiba-tiba saja muncul di hadapan mereka. Sosok itu mengangkat lengan tinggi-tinggi, seakan membayangkan bentuk lapisan pelindung imajiner di atas kepala. Ledakan hebat tercipta detik itu juga. Desakan udara disertai serpihan logam meluluh lantahkan segala sesuatu, mengoyak dinding hingga pecah berkeping-keping. Semua orang tertipu. Mereka kira nyawa mereka tercabut oleh ledakan itu. Nyatanya, kemunculan sang penyelamat misterius sukses membantah semua prasangka buruk. Seluruh pejuang didapati selamat tanpa luka. Tiap pasang mata membelalak tak percaya, terkesiap menatap sang penyelamat. Nurani mereka sempat menduga bahwasanya ini bukanlah hal nyata. Rambut biru itu tergerai panjang sebatas pinggul. Kulitnya bening seputih salju. Dia mengenakan baju bersetelan warna sama dengan rambutnya. Tak lupa kain penghangat tersemat pada kedua lengan. Wajahnya menoleh pada orang-orang bersorban merah, melontarkan senyum manis nan menyejukkan. Rok mini sebatas paha bergerak-gerak ditiup angin senja. Orang-orang itu terperangah kaget, jarang sekali mereka melihat sosok gadis tanpa cadar dan kerudung di negeri mereka. Gadis itu lantas melesat maju untuk menantang. Pandangannya terarah pada tank berlapis baja. Tak butuh waktu lama baginya untuk tiba di sana. Kepalan tangan menghantam keras hingga membuat kendaraan tempur itu terpental jauh melayang-layang. Rahang semua orang seakan hendak jatuh menyentuh daratan. Gadis itu tak berhenti sampai di sana. Aksinya berlanjut dengan gerakan lain. Ia membuka telapak tangan lebar-lebar seraya mulutnya mengucap kalimat tak dikenal. Secercah sinar berpendar terang dari balik jemari dia. Berikutnya, muncul proyektil bercahaya melesat cepat menembaki. Targetnya? Tentu saja helikopter beserta jet tempur di kejauhan. Entitas itu memiliki kemampuan supernatural, juga ketahanan tubuh yang tak biasa. Dia sukses membuat semua orang diam membeku. Kehadirannya memutar balikkan jalan peperangan. Tank, pesawat jet, senapan mesin dan peralatan modern tak sanggup menghentikannya. Rentetan peluru tak sedikit pun dia rasakan. Beberapa bom meledak di sekeliling dia. Akan tetapi segala upaya itu hanya berbuah sia-sia. Dilindungi lapisan absolut tak kasat mata, gadis itu membuat tentara musuh bertekuk lutut tak berdaya. Satu armada perang hancur begitu saja, tak berkutik melawan sesosok manusia berwujud gadis semata. Mulutnya mengembuskan napas perlahan. Seakan mengabaikan peluru yang berseliweran, matanya menatap kosong langit malam berselimutkan asap ledakan. Iris di bundar matanya mengerlip ungu kebiru-biruan. Gadis itu mengukir ekspresi sendu, kontras dengan pantulan cahaya di matanya. Mulutnya mendesah mencipta suara lirih. Jauh dalam benak, ia  bertanya pada diri sendiri, sampai kapan harus melakukan pembunuhan ini? Ia mulai lelah menjalani tugasnya untuk melindungi mereka yang tak berdaya. Hampir setiap hari ia berjuang sendirian, bertindak angkuh bak malaikat maut kepada mereka yang berniat melakukan p*********n. Pertempuran ini tak mudah untuk dimenangkan. Sosok itu menjadi pahlawan tanpa nama, hanya meninggalkan kemenangan di tiap peperangan. Dia menjadi buronan di setiap kabar berita. Akan tetapi, tak ada yang tahu seperti apa wajah aslinya, karena tiada penyintas tersisa jika sudah berhadapan dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD