Evil Plan

1391 Words
"Ini down payment untuk mu. Sisanya aku berikan setelah pekerjaan selesai!"seloroh Axtena, menyodorkan selembar foto dan amplop berisi dollar. "Allison parker?"teliti pria itu seksama. Menggaruk sudut kening nya sesaat. "Ya. Aku ingin kau mengatasi gadis itu sesuai rencana,"harap Axtena jelas. "Dia sahabat salah satu anggota Loz Arcasas." "Aku tidak minta kau menyerang anggota mu, Rick! Kita, cukup memberi pelajaran pada gadis berengsek itu,"bantah Axtena tegas. "Ini berisiko. Trevor anggota berpengaruh di Loz Arcasas!" "Kau takut? Rick, Loz Arcasas di takdirkan untuk menjadi milikmu. Kau leader dan kau bisa berada di sini karena ku. Lupa?" Rick diam sejenak, membuang sisa rokok yang ia hisap sejak tadi ke tanah lalu menginjak nya keras. "Okay. Berapa sisa uang yang akan kau berikan?"tanya Rick singkat. "Jangan khawatir. Uang yang kau dapatkan setimpal, akan aku usahakan!"janji Axtena. "Okay." "Ingat! Kesempatan mu hanya malam ini. Kau harus berhasil. Lakukan sesuatu hal memalukan, agar gadis itu tidak lagi bisa menunjukkan wajah angkuhnya dihadapan ku. Jika perlu, buat dia merasa tidak lagi ingin hidup di dunia ini! Aku ingin dia hancur!"pinta Axtena dengan kedua tangan terkepal. Menatap kedua mata biru milik Rick dalam. Mengalirkan kebencian dari seluruh tubuhnya. Rick mengangguk pelan, menyimpan berkas dan uang ke dalam kantong jaket kulit yang ia kenakan. Pria itu tersenyum sinis, memahami rasa takut yang dihadirkan Axtena. _____________________ Allison berdiri di pinggir jendela, menatap halaman mansion yang luas. Banyak yang berubah sejak ia tinggalkan. Gadis itu menghela napas, mengusap berlian indah yang melingkar di jari manisnya. Pikirannya larut, melanglang buana jauh. "Sedang apa kau? Memikirkan ku?"aroma mint menyeruak di hidung Allison, pelukan hangat dari sosok yang sangat ia kenal terasa membungkus tubuhnya hangat. Jayler Falcon Smith. Allison tidak terkejut, tersenyum manis tanpa jawaban. "Jadi benar? Kau sedang memikirkan ku?"bisik pria itu lagi, serak. Mengecup pundak hingga leher nya lembut. "Berengsek..."balas Allison pelan, sekaligus memutar tubuhnya menghadap Jayler. "Kau sudah dapat izin daddy agar kita bisa bersenang-senang malam ini?"tanya Allison, melingkarkan kedua tangan di leher Jayler. Mendekat, menerima ciuman singkat dari pria itu di bibir. "Aku tidak bilang kita ke kelab. Hanya makan malam singkat,"terang Jayler. Mengusap bibir tebal Allison dengan ibu jarinya intens.  "Itu sebabnya, aku lebih senang di Cambridge. Tidak ada yang melarang ku melakukan sesuatu,"keluh Allison. Menyandarkan kepalanya di d**a bidang Jayler. "Termasuk aku?"tanya Jayler singkat. Allison mendongak, mendorong Jayler sedikit lalu berjalan menuju nakas tiga pintu dan meraih sesuatu yang ada di dalam laci. "Kau masih merokok?"tanya Jayler. Menatap gadis itu lekat. "Aku bahkan pecandu narkoba. Kenapa? Kau keberatan?"tanya Allison. Jayler diam, memandangi Allison dari kejauhan. Gadis itu keras, sulit diatur.  Jayler cukup paham. "Tidak. Kau bebas melakukan apapun!"Jayler tersenyum, ikut meraih rokok yang ada di saku celananya dan duduk di samping Allison. "Lukisan itu, siapa yang membuatnya?"Jayler menunjuk ke arah kanan tembok. Allison menaikkan alis, memiringkan bibirnya sedikit. Mengingat potret masa kecil yang berlalu cepat.  "Leon..."ucap Allison singkat. "Leon? Kau bertemu dengannya?" "Tujuh belas tahun lalu, Ya. Sekarang, aku bahkan tidak bisa ingat bagaimana wajahnya,"jelas Allison. "Aku ingat, kau sempat menamai salah satu kuda mu dengan nama Leon." "Jangan mengingatkan ku pada kuda. Mereka semua sudah mati, itu adalah patah hati terbesarku, Jay."Allison berdiri, menghisap rokoknya. Gadis itu berjalan mendekati lukisan Leon, menatapnya lama. "Jay.... Kau pernah berhubungan seks?"tanya Allison tanpa ragu. Jayler mengerutkan kening, menatap punggung Allison lama. "Kenapa kau menanyakan itu?" "Kau mau melakukannya denganku?" Uhukk!! Jaylet tersedak dan langsung menutup mulutnya. Ia memukul d**a yang mendadak sesak. Tertawa sedikit seakan mengejek Allison. "Ayolah! Aku tidak ingin mati sebelum melakukannya. Kau tahu? Semua teman-teman ku di Cambridge pernah melakukannya dan aku hanya menceritakan kebohongan bodoh pada Mereka,"jelas Allison panjang lebar. Mendekati Jayler kembali setelah membuang sisa rokok miliknya. "Kau serius?"tanya Jayler memastikan. "Hmm. Aku sudah memikirkan nya ribuan kali, lagipula, aku hanya ingin tidur dengan pria good looking dan good rekening, kau masuk kriteria ku!"ucap Allison menggoda, lantas merasakan tangan kekar Jayler mengusap rambutnya. "Okay. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu, persiapkan dirimu nanti malam,"bisik Jayler intim, di sisi leher Allison. "Bagaimana dengan Axtena?"tanya Allison. "Axtena? Siapa Axtena? Aku hanya mengenal mu. Allison Parker...." "Sial. Kau ternyata lebih berengsek dariku, Jay." "Orang berengsek ini benar-benar mencintaimu, akan ku lepaskan Axtena segera,"janji Jayler, menangkap tubuh Allison ke dalam pelukannya yang dalam. Allison mengulum bibir, mengangguk patuh. Ia berdebar, menyingkirkan seluruh logika yang bersarang di otaknya. Benar, jika seseorang jatuh cinta, ia kehilangan jati diri. Mendadak bodoh. _____________________ Greendale, Trevor Club., Biloxi. Bangku di ruangan kelab mulai terisi, di susupi orang-orang berpengaruh yang mendambakan kesenangan. Greendale, bukan hanya kelab, ruangan serba merah tiga lantai itu, hidup ditengah kota Biloxi yang menjadi sarang penjahat. Lantai bawah Greendale menyediakan enam belas kamar kosong bernuansa dark. Sepi tanpa pengawasan. Hujan ringan turun, tampak Range Rover terparkir dihalaman Greendale, senyap memerhatikan sekitar. Seorang wanita mendekat, berdiri di kaca setengah terbuka itu. "Allison di dalam, VVIP ruang ketiga, dia bersama empat teman nya, satu wanita, mereka bermain putar botol,"jelasnya tegas, mengunyah permen karet yang tidak ingin ia buang. "Thanks beautiful,"racau pria yang duduk di kursi depan. Wanita itu memutar bola matanya, berjalan menjauh tanpa pamit. "Dasar tidak sopan,"batin pria itu protes. "Kau jadi turun, Vegas?"tanyanya, memutar pandangan ke arah pria yang duduk tepat di belakangnya. Leon mengusap bibirnya ragu, hening tanpa suara, menatap pintu kelab yang tertutup rapat. "Leon.......!" "Aku tidak tuli, Justin,"tukas Leon serak. Memandang pria Asia asal Indonesia itu tajam. "Jadi, kau mau turun atau tidak?"tanya Justin menaikkan kedua alisnya. Leon mengeluh, sedikit bergerak dari tempatnya dan menekan sebuah remote kecil yang ia pegang sejak tadi. "Wait. Sebelum turun, aku punya hadiah untukmu,"Justin menahan Leon, ketika melihat pintu Range rover terbuka. "Aku tidak ingin main-main." "Kau pasti membutuhkan ini. Ambilah....!"Justin menjabat tangan Leon, memindahkan sesuatu dari nya, sambil tersenyum lebar. Kening Leon bertaut, melihat pemberian Justin. "Aku tidak....." "Kau pasti butuh kondom. Leon bersenang-senang, jangan meragukan gadis Mississippi, mereka cantik,"Justin mendorong tangan Leon, hingga pria itu terpaksa menyimpan pengaman di dalam saku pakaian hitamnya. "Akan ku buang di dalam,"ucap Leon pelan. "Ya. Di lantai bawah Greendale, aku sudah pesan kamar untuk mu dan Allison,"kekeh Justin, lekas keluar dari mobil. "Kau saja yang menginap di sini sendiri bersama waria,"bantah Leon, melihat seorang pria tinggi tampak memayungi tubuhnya. Melindungi dari hujan seakan begitu penting. "Sip. Kau gagah! Tidak kalah dari iler itu,"puji Justin sarkas. Tersenyum penuh maksiat ke arah Leon yang berjalan masuk ke area Greendale. "Allison... Giliran mu, truth or dare?"tanya Axtena serak. Allison mengembuskan napas, menarik dirinya sedikit lebih tegap, tanpa mengalihkan pandangan dari ujung botol kosong minuman keras yang mereka habiskan bersama. "Allys... Apa yang ingin kau pilih?"singgung Trevor, membuat gadis itu menggaruk keningnya. "Dia akan pilih Truth!"kekeh Zion di sudut sofa. "Okay. Karena rahasia yang tidak ingin aku ungkap terlalu banyak, so.... Aku memilih dare,"ucap Allison tegas, mengirim signal pada Jayler sesuai keinginan. "Kau memilih bagian yang tepat, Allison,"sindir Axtena, menonjolkan wajah smirk penuh misteri. Menyadari kehadiran dua pria asing yang ia sewa lewat leader Loz Arcasas, mereka bersiap, kiat mengawasi setiap langkah Allison sejak awal. "Aku memiliki perangsang dan kokain jenis berat. Aku campurkan ke sini dan.... Kau harus meminumnya, Allison,"sebut Axtena mengaduk gelas berisi alkohol yang ia campur dengan obat-obatan terlarang. "Axtena. Jangan berlebihan..."tolak Jayler. Mencoba menarik gelas yang ada di hadapan Axtena. Namun, gadis itu menahannya, menepis lebih dulu. "Ini bagian dari tantangan, sayang. Terserah Allison, dia tidak harus melakukannya. Aku tidak akan memaksa. Tapi aku yakin, bahwa pecundang tidak akan lari dari permainan,"sindir Axtena menggeser gelas itu tepat di hadapan Allison. Gadis itu terpaku, melipat kedua tangan di atas meja, membagi pandangan ke arah Jayler sesaat. "Allison.." Tubuh Jayler terdorong kebelakang, saat Axtena menarik lengannya. Allison menenggak minuman itu, mengisi kerongkongan nya yang kering. Zion dan Trevor saling memandang, membulatkan mata hingga terbelalak. Allison nekat, tanpa ragu dan takut, mencicipi sesuatu yang tidak seharusnya. "Tidak ada satupun orang yang bisa menghinaku,"Allison membatin, merasa puas, menerima tantangan yang di berikan Axtena. Menghabiskan cairan tanpa sisa sedikitpun. _______________________ Bagaimana untuk chapter satu ini? ••• Penting : Karakter Allison emang beda dari pada yang lain. Dia lebih pembangkang, berengsek sejak kecil. Kalo udah baca Dark obsession, pasti tahu gimana Allison. Lagipula, cerita ini layarnya di Amerika Serikat, yang emang seks merupakan bukan hal tabu. Tapi ingat, bagaimanapun cerita ini tidak layak di contoh. Kehidupan di novel dan kehidupan nyata itu beda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD