Pesan E-Mail

875 Words
"Mah, ke sini dech," panggil anakku yang baru berusia 7 tahun. "Ada apa, Dek? mamah siap-siap dulu udah kesiangan," jawabku sembari mengoleskan lipstik. "Lihat deh, Mah. Papah buat surat-suratan kaya adek di Sekolah," lanjutnya. "Surat-suratan?" tanyaku masih belum menghiraukannya. "E-ma-il." Anakku membaca dengan terbata. "Oh, mungkin Papah mengirim pekerjaannya lewat e-mail, Dek," jawabku lagi. Menyambar tas yang tersimpan di atas lemari. Aku keluar dan tidak melihat anakku lagi, layar laptop Mas Rian masih menyala pada aplikasi e-mail yang terbuka. Tumben laptop Mas Rian masih menyala padahal dia sudah berangkat kerja, biasanya ia tidak pernah membiarkan Bian_anak kami menggunakannya. Aku meraihnya dan hendak mematikan laptop tersebut, tapi hati tiba-tiba merasa penasaran dengan surat yang dikatakan Bian sebelumnya. To. Riana_Maharani Ria, aku senang akhirnya setelah 8 tahun kamu membalas pesan yang aku kirimkan. Aku tidak pernah menduga diri ini seperti menemukan lembahnya kembali untuk menumpahkan rindu. Bagaimana kabarmu sekarang? ___ Mataku melotot membaca setiap bait kata yang Mas Rian kirimkan. Tas yang sudah terselempang, aku turunkan lagi dan duduk perlahan. Membaca balasan pesan dari wanita yang bernama Riana itu. Dari : Riana_Maharani Hallo Rian, apa kabar? Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu, sedangkan kamu masih beristri dan memiliki seorang anak, bukan? Pernikahan kalian baik-baik saja kan? To : Riana_Maharani Pernikahanku sangat baik Ria, Halwa adalah istri yang baik, dan Bian adalah anak yang cerdas. Tapi, entah kenapa selama 8 tahun ini hatiku kosong tanpamu dan tidak bisa kuisi dengan hadirnya Halwa dan Bian dalam kehidupanku. Aku selalu merindukanmu, hatiku selalu menunggu kapan kita bisa berbicara dan berbagi rasa lagi. __ Mataku melotot, enggan berkedip. Rasanya panas dan ingin menumpahkan lava kesedihan, tapi hati ini terlalu sakit, syok dan tidak bisa menerima, hingga tidak ada setetes pun keluar air mata yang seharusnya mengalir deras. Bukankah Riana adalah cinta pertamanya Mas Rian yang pergi meninggalkannya karena menikah dengan pria lain? Aku pernah mendengar sedikit kisah mereka dari Sindi_ adik Mas Rian. Kuketikkan nama Riana dalam daftar pengiriman pesan, ternyata surat yang Mas Rian kirimkan bukan hanya itu, dari tahun pertama pernikahan kami ia telah mengirimkan banyak pesan, terus menerus meski tidak mendapat balasan. Kenapa aku tidak menyadari hal ini? selama ini aku berpikir pernikahan kami baik-baik saja, meski Mas Rian terlihat cuek, kukira itu memang bawaan dari karakternya saja. Ternyata selama ini ia tidak pernah mencintaiku dan Bian. "Mah, kok belum berangkat," tanya Bian yang sedang sibuk dengan mobil-mobilan yang baru kemarin ayahnya belikan. Aku merasakan cinta Mas Rian padaku dan Bian tidak pernah kurang, tapi ternyata itu bukan bentuk cinta, mungkin hanya sebatas tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah. "Enggak sayang, nggak apa-apa." Aku segera keluar dari aplikasi e-mail dan munutup layar laptop. Lalu, berbalik pada anak usia 7 tahun itu. "Bian sayang, mau bantu mamah nggak?" ucapku padanya meminta persetujuan. "Apa, Mah?" tanya Bian serius. "Jangan bilang sama Papah kalau Bian membaca suratnya," jelasku lagi. Dia menatapku sejenak, aku tahu anak ini cerdas. Dia pasti melihat keanehan yang aku sembunyikan. "Mamah, baik-baik saja kan?" Ia malah bertanya daripada menjawab. "Mamah baik sayang. Dan akan jauh lebih baik kalau Bian mau berjanji sama mamah tidak memberitahu ini pada Papah," pintaku sekali lagi. Ia masih menatap, melihat bola mataku yang hampir berair, namun sebisa mungkin kutahan dan memperlihatkan senyum bahagia. Lalu, tidak lama anak laki-laki pintarku mengangguk. Aku segera memeluk dan menghujaninya dengan ciuman. "Terimakasih sayang, mamah tahu kamu akan menepati janji," bisikku di telinganya. Sudah pukul 08.00 pagi, aku segera berangkat dan menitipkan Bian pada Bibi yang bekerja di rumah kami. Kebetulam hari ini dia libur sekolah dan beberapa hari lagi aku dan Mas Rian akan mengambil cuti kerja agar kami bisa liburan bersama. Aku sungguh tidak melihat cacat dalam keluargaku, tapi kenapa justru Mas Rian sebaliknya. Aku punya cafe yang sudah kukelola bahkan sebelum menikah dengan Mas Rian. Setiap hari kami menyibukkan diri dengan pekerjaan, pulang ke rumah dekat Magrib atau setelahnya jika pengunjung ramai. Selalu kuusahakan makan pagi dan makan malam bersama, lalu setelah itu istirahat, terkadang Mas Rian kembali dengan laptopnya dan aku berselancar di medsos. Itulah rutinitas setiap hari yang aku dan Mas Rian lakukan. Lelaki yang telah menikahiku 8 tahun itu memang sangat dingin, jarang berbicara dan lebih sibuk dengan pekerjaannya. Tetapi, ia adalah suami dan ayah yang baik untukku dan Bian. Kukira semua baik-baik saja, nyatanya? Ini seperti tamparan disaat aku merasa tidak melakukan kesalahan. "Bunda ... Zain ingin kentang," celoteh seorang anak lalaki yang baru saja datang dengan ibunya, memasuki cafeku. Dia terus menarik tangan ibunya dan meminta duduk. "Iya sayang, sebentar," jawabnya lembut. Seorang wanita dengan pakaian tertutup panjang, menjambil pipi anaknya dengan senyum. "Apakah anak Bunda sekarang sudah bisa memaksa?" tanyanya dengan raut wajah yang coba ia seriuskan. "Maaf," jawab anak itu menyesal, raut wajahnya mengiba. Wanita itu kembali menjambil pipi anaknya dengan gemas, "Duduklah sayang, bunda akan memesan." Aku terus memperhatikan mereka sampai wanita itu datang mendekat. Memesan beberapa makanan dan menyodorkan kartu ATM sebagai alat pembayaran. Aku tersenyum menerimanya. "Anaknya sangat tampan dan lucu Mbak," ucapku ramah. Dia hanya tersenyum sembari melihat anaknya yang duduk manis di atas kursi. "Silahkan PIN nya." Struk pembayarn keluar, aku menelaah jumlah uang agar tidak terjadi kesalahan. 'Riana Maharani' Jelas k****a nama itu di pemilik kartu. Deg! aku langsung mendongak, wanita itu tersenyum dengan bola mata bergerak-gerak menatap heran. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD