35. Solusi yang tak kunjung ketemu

2201 Words
“Aku sangat berharap dia bisa segera baik-baik saja ketika merindukan Harika.” Ayse berjalan keluar kamar setelah ciuman terakhir. Kunjungannya ke kamar Alif bukan untuk melihat lelaki itu, melainkan mengobati rasa bersalahnya karena kejadian pagi tadi. “Saya juga berharap begitu, terutama Brigita. Anak itu –“ Langkah Ayse berhenti tepat di depan kamar Alif. Ia menoleh dan melihat wajah sendu Nesli terpancar pada saat menyebut nama Brigita. Nesli yakin bahwa Ayse tidak lupa pada pertanyaannya beberapa hari lalu, namun Nesli urung untuk kembali menanyakan. Ia bukan siapa-siapa yang berhak menuntut jawaban –pikirnya. Di sisi lain, pertanyaan itu terus mengganjal di hatinya. Lidah keduanya kelu untuk berkata. “Maaf, Nyonya.” “Ayo, kita masak untuk makan malam.” Nesli mengangguk. “Seharusnya Efsun sudah pulang,” keluhnya menuruni tangga. Nesli diam tidak berani bertanya. Tidak ada yang ingin ditanyakan. “Seharusnya dia yang membantuku memasak,” sambungnya di anak tangga terakhir. “Ahaha, Nyonya melupakan saya untuk urusan dapur.” “Tidak, aku memintamu kembali bukan untuk mengurus dapur, tapi untuk membantuku mengurus mereka. Karena, kau dan mereka juga punya ikatan emosional.” Ayse dan Nesli saling menatap. Nesli ingin melayang tinggi mendengar ungkapan itu, senyumnya sumringah melihat senyum tulus Ayse yang memandangnya sendu. “Termasuk Barris,” lanjutnya membuka pintu kamar. Hati Nesli bagai ditusuk sembilu mendengar Ayse menyebut nama Barris. Ia tak ubahnya sebuah benda yang dilempar ke atas lalu jatuh ke permukaan bumi. Perasaannya teraduk-aduk. Tanpa mengubah eksperesi wajah, Nesli mengangguk. “Masuklah.” Nesli meletakkan hand bag di atas meja rias –itu dilakukannya sejak dulu jika membawa tas milik Ayse. Mata Nesli menyelidik seisi kamar yang masih sama di penglihatannya. ‘Tidak ada yang berubah.’  “Nyonya, mau saya bawakan teh panas?” Nesli berdiri di depan meja rias setelah menyalakan penyejuk ruangan. Tirai jendela yang terbuka mempercantik pemandangan kamar karena cahaya matahari yang memantul di lantai. Tulip yang indah juga turut menyejukkan mata. “Ah, iya. Aku lupa, Nesli. Aku membutuhkan itu sekarang. Terima kasih mengingatkanku.” “Tidak masalah, Nyonya. Saya ke belakang sebentar.” Ayse mengangguk sebelum Nesli keluar kamar membawa emosi yang bercampur aduk. Di tengah jalan menuju dapur, perempuan itu bertemu Brigita dan Gonul yang baru saja tiba. “Teyze, apa kita punya kue? Aku lapar sekali.” “Ah, Sayang. Maaf, Teyze belum sempat membuatnya.” Wajah Brigita cemberut. Wanita itu memilih berjalan menuju tangga untuk kembali ke kamar.  Gonul merasa heran dengan kelakuan Brigita. “Kalau kau lapar kenapa tidak beli makanan sewaktu pulang tadi, Abla?”  “Kupikir Teyze Nesli ada membuatnya. Biasanya seperti itu, kan?” Gonul berdehem –membenarkan ucapan Brigita yang membuka pintu kamar sembari menguap. Gadis itu juga tidak menyangkal kue buatan Nesli yang memang enak. Lidah memang tidak pernah bisa berbohong –akunya. Brigita membanting tubuh ke ranjang, membayangkan andai ia melakukan apa yang terpikirkan oleh Gonul, pasti sekarang ia sedang duduk tenang menikmati kue itu –mengunyahnya dengan nikmat membuang penat. Kini, wanita itu berharap Nesli yang tengah mengaduk teh di dapur, bisa membuatkan cemilan untuknya secepat mungkin. Nesli masuk membawa teh –menemukan Ayse yang baru saja selesai salat Ashar, sedang duduk melipat sajadah. Nampan teh melati panas dengan tutup cangkir itu, ia letakkan di kursi tempat biasa Ayse duduk.  “Terima kasih, Nesli.” Ayse melihat sekilas pintu yang tertutup rapat. “Apa Brigita dan Gonul sudah pulang?” sambungnya. “Mereka baru tiba beberapa menit lalu, Nyonya.” Ayse mengambil ponsel di atas kursi yang sejak tadi sudah dikeluarkan –menunggu telepon dari Khaled. Mencari satu kontak lantas melakukan panggilan. "Aku sedang dalam perjalanan pulang bersama putraku. Jangan khawatir, Abla. Aku baik-baik saja." ”Baiklah, aku menunggumu untuk memasak makan malam.” "Oh, Tuhan. Kupikir kau memang mengkhawatirkanku." “Baiklah, hati-hati di jalan.” “Apa Nyonya ingin yang lainnya?” “Tidak, Nesli. Hanya ingin menenangkan pikiran saja. Aku lelah, tapi entahlah –” “Otakku seperti tidak bisa berhenti berpikir,” lanjut Ayse meletakkan ponsel setelah memutus panggilan telepon. “Sebaiknya Nyonya istirahat, saya akan membuat kue untuk Brigita. Dia sangat lapar katanya.” Kening Ayse berkerut. Cangkir teh yang baru akan diambil, tidak jadi disentuh. Kembali ia melirik pintu kamar. “Dia belum makan?” “Saya tidak menanyakannya tadi. Tapi, nona muda itu kelihatannya benar-benar lapar.” “Jangan berlebihan dengan memanggilnya seperti itu, Nesli.” Ayse mangambil cangkir teh yang mulai hangat dan meneguknya. “Maaf, hanya bercanda, Nyonya. Baiklah, saya permisi kalau begitu.” Nesli keluar setelah melihat anggukan dan ucapan terima kasih dari Ayse. Berdiri di depan lemari penyimpanan bahan-bahan kue, Nesli memikirkan roti yang akan dibuatnya sore ini. Pide –pizza khas Turki yang berbentuk seperti daun yang sangat panjang –terlintas di benaknya. Tidah butuh waktu lama baginya untuk membuat Pide, mengingat bahan yang sudah tersedia dan kemahiran Nesli yang mumpuni. Harum aroma Pide yang baru selesai ditaruh di piring, menguar begitu kuat hingga tercium ke lantai dua. Brigita yang tertidur dengan perut lapar karena lelah, tidak terangsang dengan aroma harum itu. Pun demikian dengan Gonul yang juga terlelap ketika sedang membaca majalah. Alif yang baru bangun tidur, justru berdiri di depan pintu dengan begitu yakin bahwa perutnya yang terasa lapar akan segera terisi. Bukan karena harumnya yang membuat lelaki itu terbangun, tetapi karena aroma itu yang membuatnya berdiri di sana, sebelum Brigita memakan semuanya. Ia tidak ingin kehabisan jatah cemilan lagi. “Ah, Alif, kau sudah bangun.” Nesli muncul di ujung tangga lantai dua dengan nampan berisi Pide bersamanya. Mata Alif melihat pizza itu –Nesli tersenyum. Tangan Alif hampir akan mengambil pizza itu, jika Nesli tidak segera menepis tangannya. “Pizzamu ada di bawah. Kakakmu sangat lapar sewaktu pulang. Tidak ada makanan di rumah.” “Baiklah, terima kasih, Teyze.” Sembari berbalik badan, Alif mentowel bagian ujung pizza hingga tampilan menjadi cacat. Mata Nesli mendelik sekaligus memekik saat melihatnya. “Alif!” “Maaf, Teyze. Aku lapar!” Alif terkekeh sembari menutup pintu. Pizza yang berisi daging cincang, paprika, dan keju itu terasa sangat lezat dalam mulutnya. Pemuda itu tidak peduli kemarahan Nesli yang berdiri di depan pintu, sedang menarik napas dalam-dalam menormalkan amarahnya. Nesli berpikir sebentar, sebelum melanjutkan tujuannya mengantar pizza untuk Brigita. *** Karim, Gonul, Alif, dan Brigita, duduk berhadapan di sebuah kafe menyantap makan malam. Karim menggagas ide hang out setelah pulang dari pabrik bersama Efsun. Sudah lama mereka tidak jalan-jalan berempat –pikirnya. Nasi goreng beef steak menjadi menu pilihan mereka malam ini. Alif sudah selesai dengan makanannya –menggeser piring ke tengah meja. Tiga gelas jus dan empat botol air mineral tersedia di meja mereka. Gonul dan Brigita masih mengunyah nasinya yang masih setengah piring. Jus mangga kesukaan Brigita belum tersentuh. “Arman tidak menghubungimu belakangan ini?” Karim menyedot jus wortel. “Belum ada kabar darinya, dan aku juga tidak melihat ada yang mencurigakan di kamera cctv.”  “Apa kita perlu melakukan usaha lain supaya lebih cepat menemukan pengirim surat itu?” Brigita menyedot jus mangganya. “Aku tidak tahu, Abla.” “Kau tahu, ini sangat melelahkan. Kau berada di lajur yang sama tapi dia tidak membawamu ke tempat tujuan,” sambung Alif meneguk air mineral. “Aku mengerti. Tapi, tidak semudah menyalakan bohlam lampu untuk menemukan identitas pengirim surat itu,” imbuh Gonul. “Tentu saja! Dia seperti hantu yang bisa datang dan pergi kapan saja dia mau, tanpa meninggalkan jejak yang bisa ditelurusi.” Karim membuka tutup botol air mineral. “Kuakui pengirim surat itu sosok yang cerdas,” timpal Gonul melirik Karim yang meneguk air mineral. “Benar sekali. Tidak ada yang tahu di mana dan bagaimana ujung perjalanan ini. Aku sangat berharap ini akan cepat berakhir. Aku benar-benar muak.” Alif memainkan pipet jus kiwi miliknya. Brigita hanya diam –menyimak perbincangan sambil menyantap nasi gorengnya yang masih belum habis. Sementara Gonul telah menyingkirkan piring kosongnya ke tengah meja –menyatukannya dengan piring Alif.  “Lalu, kita hanya duduk diam di sini menunggu seseorang menghubungi salah seorang dari kita memberitahu bahwa identitas atau lokasi si pengirim surat sudah diketahui?” Brigita tiba-tiba bersuara.  “Nothing we can do, but just wait and see, Abla!” Alif menjawab dengan nada geram dan air muka kesal. Cukup ditekan intonasi suaranya mengingat mereka berada di luar area untuk berbicara. Sepatutnya Brigita tidak menanyakan hal yang seharusnya sudah ia mengerti –pikir Alif. “Jangan melihatku seperti itu!” Alif menghela napas sebelum matanya teralih pada Karim dan Gonul yang kebingungan memandangnya –seperti itu Alif melihatnya. Brigita sangat berlebihan menurutnya. “Abla, tenanglah.” Gonul merangkul pundak Brigita yang duduk di sampingnya untuk melerai pertikaian –yang mungkin segera akan terjadi. Alif bersyukur Gonul merupakan sosok tangkas dalam membaca situasi, dan ia cukup diuntungkan di acara malam tersebut. Alif berterima kasih untuk itu. Sikap Brigita menjadi tanda tanya di benak Alif. Brigita menyudahi santapannya yang masih bersisa di piring keramik hitam elegan, ketika panggilan telepon di ponselnya masuk –dari Khaled. "Kau masih bersama adik-adikmu, Sayang?" “Iya, Dayi. Kami masih bersama di kafe, baru selesai makan malam. Mungkin kami akan pulang terlambat malam ini.” "Baiklah, tapi Dayi tidak izinkan kalian pulang dini hari." “Kami paham, Dayi. Jangan khawatir.” "Tidak ada orang tua yang tidak cemas anak gadisnya belum pulang larut malam begini. Apalagi pulang dini hari bahkan sampai pagi. Berikan teleponmu pada Karim."   “Euh?” Brigita melirik Karim bingung, kemudian menyodorkan ponselnya. Karim mendengar perkataan di ujung telepon tanpa banyak bertanya atau membantah. “Baik, Bayim.” Karim menutup telepon sembari menghela napas. Ketiganya menatap Karim yang terlihat tegang seperti akan menyampaikan sebuah berita duka. Wajah ketiganya seolah berkata ada apa? Lelaki itu menatap mereka satu persatu sebelum berkata. “Kalau kita pulang dini hari, bayim akan memblokir rekening kita semua.” “Haaaaaaa?” Ketiga bersaudara itu melongo tidak percaya mendengar hal yang baru pertama kali bagi mereka. Ancaman yang tidak main-main dan tidak pernah ada sebelumnya. Mereka hanya menatap satu sama lain. “Ah dayi, yang benar saja!” “Menuruti perintah pasti lebih baik daripada memiliki seratus Lira di dompet.” Karim memberi respon nyeleneh mendapat tanggapan dari Brigita yang tidak menyukai ide itu. Lelaki itu beralih melihat Alif yang santai menanggapi ancaman pesan yang berisi isi kantong mereka.  “Itu tidak akan terjadi. Dayi tidak setega itu memperlakukan kita.” Mungkin Alif benar, tetapi Karim juga tidak bisa menganggap remeh kata-kata Khaled. “Kalaupun dayi serius melakukan itu, kita tidak akan lapar hanya dengan seratus Lira. Lagipula kita masih punya uang di rekening, dan kita juga berpenghasilan karena bekerja. Lalu, apa yang dirisaukan?” “Kau menyepelekan ucapan bayim?” wajah Gonul tampak cemas. “Kau tahu dayi bukan tipikal main-main saat berucap, Alif. Jangan bercanda!” “Aku tidak bercanda, Abla!” Brigita dan Alif mulai terlibat perdebatan sengit. Suasana kafe yang masih ramai pengunjung tidak membuat kakak beradik itu akur untuk sementara waktu. Dua kepala dengan tabiat yang sama –keras kepala –tidak akan selesai jika tidak ditengahi. Begitu pikir Gonul.   “Kau tidak takut hak warismu dibatalkan?” ledek Karim. “Jangan mengada-ngada, Karim!”   Bibir Alif mengatup, tidak ingin meneruskan kalimatnya yang menurutnya –pasti akan menyinggung perasaan Karim dan Gonul yang berstatus hanya sebagai pihak pengelola bisnis keluarga. Lelaki itu tidak ingin hubungan persaudaraan mereka merenggang dan retak karena status yang sudah sebagaimana mestinya. Status yang harus mereka terima dari goresan takdir. “Aku melihatnya dengan jelas, Alif. Wajahmu tidak bisa berbohong.” Kepala Karim mengitari seisi ruangan. Tampak seorang kasir perempuan sedang menyerahkan sejumlah uang kembalian kepada seorang pelanggan. Kali ke tiga mereka duduk menikmati waktu bersantai di kafe milik seorang Indonesia tersebut. “Baiklah, ayo kita pulang.” Karim berdiri membawa kunci mobil Alif bersamanya. Brigita berjalan ke kasir bersama Gonul membayar tagihan. Disusul Alif yang keluar pintu menuju parkiran. “Besok aku akan ke apartemen Arman. Kau mau ikut?” Karim yang akan membuka pintu mobil, berhenti ketika mendengar suara Alif yang berjalan mendekat. “Tergantung. Semoga saja rapat besok cepat selesai, jadi kita bisa pergi setelah Maghrib.” Alif mengangguk. ”Ada yang serius?” “Tidak ada. Hanya ingin berbincang, maksudku bertanya lebih jauh. Juga tentang abla. Aku akan menemui konselornya besok.” Alif dan Karim berdiri di depan mobil menunggu saudari mereka yang baru saja keluar dari pintu kafe. Keduanya tampak sumringah membicarakan hal-hal kecil yang membahagiakan –mungkin. Karim melirik Brigita yang chic dan anggun dengan pakaian casualnya. “Ada masalah lagi dengannya?” “Entahlah. Tapi, konselornya bilang dia mengidap Pyrophobia, ketakutan pada api.” “Apa? Aku baru mendengarnya!” Kening Karim berkerut. Seperti halnya Alif, Nesli, dan yang lainnya, Karim juga merasakan ada yang tidak beres dengan Brigita sejak kecil setiap kali melihat api yang cukup besar. Karim, karim, cepat matikan apinya. Nanti dia bisa mati! Teriakan Brigita kecil berputar di kepala Karim. Kondisi Brigita yang panik dan sesak napas, terbayang jelas di ingatan. Tidak jarang ia melihat Brigita seperti ketakutan. “Apa dia ada mengatakan yang lainnya? Maksudku kenapa kakakmu takut pada api?” Alif mengungkapkan kondisi Brigita dan pertemuannya dengan Fayren. Raut wajah Karim seketika berubah mendengar penjelasan Alif. Karim menarik benang yang menurutnya saling berkaitan dan menarik kesimpulan sebelum masuk ke mobil. ‘Aku mendapatkan jawabannya!’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD