46. Datang surat lagi

1053 Words
“Seseorang terlihat di kamera depan, berpakaian hitam dan terlihat tidak gugup. Cepat sekali dia melakukannya.” Arman menjelaskan hasil pengamatannya dari layar laptop melalui sambungan telepon. Gerakan mulus tanpa hambatan terlihat jelas di dalam kamera pengintai. Sejujurnya Arman tak habis pikir mereka bisa mengabaikan keamanan rumah hanya mengandalkan cctv. Pemuda itu segera menghubungi Alif, tetapi panggilan teleponnya tidak dijawab. “Kita kecolongan lagi!” “Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan.” Barris mengikuti langkah Khaled berjalan keluar rumah ke tempat seseorang menaruh surat. Seperti menjadi kebiasaan –di bawah pot Kaktus, menjadi tempat kesukaan sang kurir dan Khaled menemukan surat beramplop cokelat. Seperti biasa, surat itu ditujukan untuk Alif. Usai membuka amplop dan membaca isi surat yang hanya tertulis nama Alif di sana, Khaled memijat pelipis dengan mata terpejam. Amplop dan surat masih sama seperti sebelumnya. “Apa maunya mereka? Kenapa hanya Alif yang diinginkan?” ucapnya lirih. “Tuan, boleh saya masuk ke ruangan cctv?” Khaled tersentak. Pria itu berjalan mendahului Barris menuju ruangan kamera pengintai. Di dalam sana, Khaled memeriksa komputer yang tersambung kamera depan. Rekaman itu terlihat jelas sepuluh menit yang lalu. Mereka duduk bersebelahan. “Wajahnya tidak terlihat,” ucap Barris sesal. “Kita bisa menggunakan ciri-ciri fisik untuk menemukannya, Tuan!” Tidak terpikir oleh Khaled sebelumnya ide tersebut. Perkataan Barris ia benarkan. Ia menjeda rekaman dan memperbesar gambar. Khaled membuka laci meja, tetapi tidak mendapatkan yang sedang ia cari. “Sebentar saya ambilkan, Tuan!” Barris segera keluar dengan setengah berlari. Tak seorangpun ia temukan di ruang tengah. Kakinya berhenti di lemari besar berisi deretan buku-buku bacaan. Barris hapal benar lemari itu juga menyimpan alat-alat tulis di dalamnya –dalam satu wadah. Sejak kembali ke rumah itu, kali pertama Barris membuka lagi lemari tersebut. Lemari buku yang kuncinya selalu tergantung di lubangnya. Barris kembali terhenyak setelah lemari dibuka. Matanya liar menatap buku-buku yang tersusun rapi. Tidak ada yang berubah. Pun dengan kebersihan dan kerapiannya. “Biar saya catat, Tuan!” Barris duduk di kursi sebelah Khaled. Mengamati gambar tak bergerak itu dengan seksama, lantas menulisnya dengan cukup detail ciri-ciri yang tampak. Khaled hanya diam memperhatikan. Namun, pikiran kosong menguasai dirinya. “Bagaimana caranya kita bisa menemukan orang ini? Aku tidak punya gagasan sama sekali.” Tangan Barris yang tengah menulis mendadak berhenti. Kepalanya berpaling pada Khaled yang sudah menatap lurus ke desktop.  Barris tertegun. Sepanjang bekerja pada keluarga yang telah menolongnya, baru kali pertama Barris mendengar nada yang tak biasa. Khaled seperti putus asa. “Tapi, ini kemajuan besar untuk kita, Tuan. Mungkin kita bisa mencari petunjuk tambahan. Pasti ada jejak yang tertinggal.” Kepala Khaled tertoleh kembali pada laki-laki itu. Barris tengah menggeser tetikus untuk mendapatkan gambaran pasti dan memastikan bahwa ia tidak salah menulis petunjuk. Mata Khaled jatuh pada tangan Barris yang gesit mencoret. Tanpa sengaja, matanya tertuju pada tangan kiri Barris yang terbuka. “Barris!” Barris tersentak dan sontak menatap Khaled. Pria itu terlihat sedang berpikir dengan sorot mata kosong di mata Barris. “Ada apa, Tuan?” “Jangan sentuh surat itu lagi!” Tanpa bicara Khaled keluar berjalan tergesa-gesa. Sekejap Barris tercengang sebelum matanya jatuh pada surat yang tergeletak di meja dekat keyboard. Matanya berkedip pelan menatap kertas putih dan amplop cokelat tersebut. Barris tidak mengerti maksud perintah Khaled. Usai mencatat hasil pengamatan, Barris menutup notebook kecil dan meninggalkannya bersama balpoin serta surat kaleng tersebut. Ia berdiri di pintu melihat ke belakang, merasa ragu untuk meninggalkan ruangan. Terbersit untuk mengambil catatan kecil itu dan membawanya pergi. Namun, tangan Barris justru menutup pintu. Meskipun tidak tinggal di rumah Ekber, Barris tetap disediakan kamar untuknya beristirahat. Barris mengambil ponsel dari saku jaket, lantas menghubungi istrinya mengabarkan bahwa malam ini ia akan tidur di rumah Khaled, dengan alasan yang masuk akal tanpa memberitahu permasalahan yang terjadi. Barris mengunci pintu kamar, melepas jaket dan kemeja, kemudian duduk di ranjang. Tak lama berselang, tubuhnya terbaring dengan kaki masih di lantai. Tubuhnya yang dulu kencang dan berotot, kini terlihat tak banyak berubah. Dalam temaram kamar, mata Barris terpejam dengan pikiran mengembara.   Pelan-pelan, otak Barris mengingatkan persoalan yang tengah terjadi di rumah majikan. Otak Barris saling mengaitkan peristiwa satu sama lain. Bekerja puluhan tahun membuat Barris mengetahui banyak hal tentang keluarga Ekber, pun ketika berhenti belasan tahun dan akhirnya kembali. Namun, Barris baru menyadari bahwa ia tidak tahu banyak seluk beluk keluarga itu. Mungkinkah ada yang terlewat? Kelopak mata Barris sontak terbuka ketika mengingat sesuatu. Tubuhnya berputar dengan lincah di atas pembaringan. Mengambil buku catatan di laci meja ranjang dan menulis yang baru saja ia ingat, menutupnya kembali dan mengambil ponsel di saku jaket. Jari Barris begitu cepat menekan nomor yang masih ia ingat dengan baik dan berharap nomor tersebut masih bisa dihubungi. “Kupikir kau mengganti nomormu.” “Awalnya begitu, tapi karena kau menelepon, akhirnya niat itu kubatalkan. Ada apa kau menghubungiku? Kau mencariku?” “Aku mencari bayanganmu.” “Ada keperluan apa?” “Aku butuh bantuan.” “ Apa yang kau butuhkan?” “Sangat penting.” “Sampai jumpa besok di tempat biasa.” Barris menjauhkan telepon genggam dari telinga. Memandangi perangkat itu dengan pikiran kusut. Jendela tertutup rapat dengan gorden yang menutupi. Suara hening malam menemani. Kamar yang sama –yang ia tempati dulu, juga tidak banyak berubah. Hanya pemugaran di bagian dinding dengan warna cat yang berbeda. Pandangan Barris terangkat. Tatapannya jatuh pada gorden. Sejenak ia terdiam hingga menyadari bahwa gorden telah berganti. Barris beranjak ke jendela dan berhenti di sana memandangi kain berwarna biru bergaris-garis tegas. Tangan Barris menyentuh dan meremas gorden tersebut. Relung hatinya terasa sakit. d**a Barris sesak seketika, penuh memenuhi rongga hingga Barris nyaris tak bisa bernapas. “Apa kau merindukanku?” Suara Barris begitu pelan dan lirih –pedih hingga mata yang berembun menjatuhkan airnya. Puas berdiri di sana tercenung beberapa lama, Barris kembali ke ranjang sambil mengusap air mata. Ponsel ia letakkan di meja sebelum membaringkan tubuh dengan nyaman di kasur. Penyejuk ruangan tidak ia nyalakan. Baru akan terlena karena kantuk, Barris kembali tersadar bahwa ia butuh sesuatu. Tubuhnya yang lelah, kakinya yang pegal, pikirannya yang penat, menghalau Barris untuk bisa mengistirahatkan diri. Barris ingin meminta sedikit minyak gosok, tetapi tubuhnya terlalu lelah untuk beranjak. Pegal, minyak gosok dan seseorang merupakan tiga hal yang tidak terpisahkan dari hidup Barris –dulu. “Luruskan kakimu, aku akan memijatnya dengan minyak gosok ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD