74. Absurd

1081 Words
Arman dan Tardu mulai sibuk mengatasi gangguan sistem komputer mereka di kediaman masing-masing. Berbeda dengan Arman yang bekerja sendiri, Tardu bersama tim sedang berkutat membersihkan sistem mereka dari virus tanpa nama. Wajah-wajah serius dan tidak boleh diganggu terpancar jelas dari raut mereka. Dua jam sudah mereka bekerja. Lelah mulai terasa, kepala mulai berdenyut, leher dan pundak terasa kaku, mata mulai kering dan hanya tenggorokan yang cukup baik. Dua teko air tawar bersama cerutu dan pipa milik Tardu berada di atas meja. Hingga dua puluh menit kemudian, mereka berhasil membersihkannya tetapi belum juga berhasil menerobos sistem pertahanan peretas itu. Sungguh luar biasa –pikir Tardu. Pria itu juga sudah melarang anggota keluarga Khaled bepergian untuk urusan yang tidak terlalu penting. Mereka menyetujui gagasan itu mengingat sudah ada porsi penjagaan masing-masing. Khaled memberitahu hal-hal yang Ayse tidak ketahui selama beberapa hari. Perdebatan kecil terjadi karena keberatan Ayse yang seperti tidak dilibatkan dalam penanganan kasus. Penjelasan panjang lebar Khaled berikan dan Ayse mengalah pada akhirnya. Alif dan Brigita sedang berada di pabrik, tengah rapat manajemen sebagai pewaris sekaligus mewakili Khaled. Ditemani Barris yang tidak boleh meninggalkan mereka atas perintah Khaled dan juga Tardu. Dari hasil laporan penjaga keamanan, belum ada kejadian mencurigakan di luar rumah seperti tempo hari. Sejak hari beradu debat sesaat dengan Barris, Nesli tak bertanya apa pun lagi bahkan setelah mendengarnya langsung dari Ayse. Nesli menyesali sikap Barris yang menutupi peristiwa malam itu. Pun berdalih demi kesehatan Ayse, seharusnya Barris berkata jujur pada dirinya, karena status mereka yang sama-sama menjaga kedua anak tersebut. Wanita itu pun sempat mengumpat Barris. Di kamar tidurnya, Nesli termenung karena pikirannya terusik oleh masalah yang sedang terjadi. Mulai dari trauma api Brigita, surat kaleng Alif, mata-mata di luar rumah, penguntit di luar rumah, hingga gudang Harika yang menyimpan misteri. Apakah semua saling berkaitan? Pertanyaan itu muncul di benak Nesli sejak insiden di restoran. Semuanya terjadi secara beruntun dan bahkan di waktu yang sama. Dan semua bermula dari surat misterius yang Alif terima. Aneh sekali –pikirnya. Nesli menaruh baju yang baru selesai diseterika, menyusunnya ke lemari. Sekuat tenaga ia mencoba abai pada panggilan yang mendorongnya untuk membuka laci kecil di dalam lemari. Tidak untuk saat ini –pinta Nesli. Ia ingin tenang sebentar saja dari peliknya masalah yang tak berimba tersebut. Usai menutup serta mengunci lemari dan berhasil melawan hasrat itu, Nesli keluar mengunci pintu kamarnya. Nesli butuh seseorang untuk bicara saat ini, tetapi siapa? Ayse bukan orang yang tepat untuk berdiskusi hal yang ingin ia bicarakan, tidak juga Barris, apalagi Alif. Nesli hanya  bisa memendamnya sendiri. Menarik benang dan menyatukannya. “Anda ingin sesuatu, Nyonya?” Ayse menaruh bukunya dan melepas kacamata. Anggunnya cara ia duduk membuat Nesli selalu kagum akan menantu keluarga Ekber tersebut. Ia menghela napas –lelah sekali terdengar di telinga Nesli sebelum bicara. “Nesli ….” Nesli duduk di sebelah Ayse. Adalah suatu kebiasaan jika Ayse memanggilnya saat akan membahas sesuatu, maka Nesli harus duduk. Lagipula, Nesli bukan orang lain di rumah itu. “Anda terlihat lelah,” peringat Nesli melihat Ayse tak bersemangat. Ayse mengangkat kedua alisnya. “Semakin hari semakin rumit, semakin tidak jelas,” keluhnya tidak menatap Nesli. Perhatian Nesli tertuju penuh untuk Ayse. Nesli tidak butuh penjelasan untuk mengetahui kondisi sang majikan, dari raut dan bahasa tubuhnya bisa Nesli tangkap bahwa Ayse memang tidak baik-baik saja. “Tapi ini pasti akan selesai, Nyonya. Pasti. Tardu sedang menyelidikinya, kan? Dia pasti menemukan jawaban apakah yang dikatakan Gonul itu benar atau hanya perasaannya saja.” “Aku tahu, tapi aku benar-benar tidak tenang, Nesli –“ “Nyonya. Allah akan melindungi mereka. Nyonya tidak boleh berpikir berlebihan, dokter sudah mengatakan itu.” Ayse menyandarkan punggungnya. “Aku tidak akan tenang sampai semuanya terjawab.” “Saya juga merasakannya, Nyonya. Saya mengert –“ “Sekarang kita hanya bisa mengikuti arahan Tardu dan menunggu hasil kerjanya,” sela Efsun tiba-tiba muncul dari kamar. “Ingat kata dokter, kau tidak boleh banyak pikiran.” “Kalau kau sakit, anak-anak itu akan bersedih. Kau tidak mau itu terjadi, kan?” sambungnya lagi. “Ah, aku lupa. Padahal tadi aku ingin menyulam.” Efsun kembali ke kamar –membiarkan dua orang di sofa keheranan melihat kelakuannya. “Dengar, Abla. Aku tidak mau terjadi apa-apa padamu,” ocehnya keluar dari kamar membawa kain sulaman dan peralatannya. “Efsun –“ “Ingat, anak-anak kita belum menikah,” sambungnya lagi tidak mau tahu suasana yang tercipta. Nesli hanya menarik napas dalam-dalam kemudian menunduk, sementara Ayse memijat pelipis sambil memejam mata. Inikah yang harus terjadi saat ia sedang serius? Adiknya justru mengalihkan topik ke soal pernikahan. Namun, Nesli menganggap itu bukan sebuah ide buruk. “Apa kau tidak terpikir untuk mencarikannya jodoh?” Ayse menatapnya yang baru saja duduk di seberang. “Khaled tidak setuju.” “Ha? Kenapa?” pekiknya tertahan dengan muka melongo. “Dia hanya tidak ingin Brigita merasa tidak nyaman dengan itu.” “Haaahhh … iparku itu! Apa dia tidak mau menggendong cucu?” “Ekhemmm ….” Efsun yang baru saja menjatuhkan tatapan pada kain sulaman, mengangkat pandangannya kepada Ayse. Lalu mengarah pada Nesli yang hanya duduk bagai patung, lalu kembali ke Ayse. Polos sekali Efsun –pikir Nesli. “Apa kau tidak mau cepat-cepat menggendong cucu?” “Oh! Aku sangat ingin, Abla. Tapi, anakku itu seperti tidak punya kenalan perempuan. Aku sudah berpikir untuk mencarikan jodoh untuknya,” akunya sambil menyulam benang. “Oh iya!” serunya tiba-tiba berhenti menyulam. “Bagaimana menurutmu dokter Cihan? Dia teman Karim dan kelihatannya dia juga baik dan sopan santun. Kau ingat waktu dia mengobati Brigita, kan? Dia juga cantik.”  “Apa dia belum menikah?” tanya Ayse malas. “Euh? Aku tidak tahu, tapi nanti akan kutanyakan pada Karim.” “Dia akan curiga, Nyonya.” “Tidak. Bisa saja dia berpikir informasi itu untuk temanku, kan?” Licik sekali Efsun –pikir Ayse dan Nesli. Bagaimana mungkin dia melakukan itu pada anaknya sendiri? Ayse tidak menyangkal penilaian Efsun tentang Cihan pada kesan pertama. Namun, bukan berarti status calon menantu idamannya itu masih bebas. Efsun seolah tak peduli pendapat sekitar, ia kembali menyulam dan tenggelam di dalamnya. “Bagaimana kalau dia sudah bertunangan?” Ayse bertanya setelah jeda cukup lama. Efsun menjeda dan mengangkat kepala. Berpikir sebentar sebelum menjawab, “Aku tidak yakin dia sudah punya calon suami.” “Kenapa kau begitu yakin?” “Kau seorang ibu, aku seorang ibu. Pasti kau merasakan instingmu berbicara, kan?” kilahnya membungkam Ayse dan Nesli dan membuatnya melongo tak percaya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD