56. Pertemuan tertutup

1054 Words
Sesuai arahan dan prosedur yang diterapkan Tardu, para satuan pengamanan bekerja secara bergantian. Empat orang di pagi hari dan empat lainnya di malam hari. Empat hari berlalu sejak kehadiran mereka, belum ada tanda-tanda yang mencurigakan. Pun demikian dengan Alif, belum juga mendapat informasi terbaru dari Arman. Begitu juga dengan Tardu yang masih dalam proses penyelidikan. Karena gayung bersambut mengenai idenya, Alif menghubungi Arman dan Khaled menghubungi Tardu untuk bertemu. Mereka setuju untuk pertemuan itu. Tidak lupa Barris diikutsertakan. Pertemuan yang berlangsung di rumah Ekber, tepatnya di ruang kerja itu, menghabiskan waktu lama membahas seputar permasalahan yang terjadi. Dalam pertemuan itu, Tardu menggagas ide yang sebetulnya standar, hanya saja caranya cukup ekstrim bagi mereka untuk dilakukan. Debat panjang mengenai eksekusi rencana itu –jika disetujui dan disepakati, yang memakan waktu lama. Kelima orang lelaki itu berembuk dengan masing-masing argumen. Persetujuan akhirnya didapat. Kesepakatan akhirnya terjadi. Jadwal eksekusi rencana juga sudah ditetapkan, mengingat masing-masing memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Setelah tiga jam berlalu, kini mereka menikmati kopi dalam cangkir masing-masing. Kopi panas yang baru saja Nesli bawakan ke ruang kerja yang terkunci itu. Mereka bubar tiga puluh menit selanjutnya. Sebelum pulang, Tardu menyempatkan diri memonitor anak buahnya dan mendengar langsung dari mereka. Tardu sering melakukan itu. Demi pekerjaan dengan hasil memuaskan. Bukan perkara bisnis, tetapi keamanan dan keselamatan pengguna jasa bisnisnya. Khaled, Barris dan Alif kembali ke ruang kerja. Bersiap untuk memberitahu Ayse dan Brigita. Namun, Khaled harus mengumpulkan keberanian sebelum menyampaikan rencana itu pada istrinya –terutama Brigita. Rencana B juga sudah mereka siapkan, mengantisipasi rencana A gagal dalam pelaksanaan. Khaled dan Alif memutuskan untuk ke pabrik, sementara Barris menuju garasi memeriksa mobil setelah menghabiskan tiga potong roti. Porsche milik Briigita dan Jeep milik Alif sudah masuk masa untuk perawatan –mungkin. Dalam perjalanan menuju pabrik, Alif mengubah rencana untuk kembali masuk ke dalam gudang. Kepulangannya dari sana mungkin akan sangat terlambat, mengingat masalah yang terjadi dan mereka harus mengadakan rapat. Alif fokus mengendarai mobil double cabin milik Khaled. Pria itu tidak percaya bahwa hubungan yang sempat renggang dan dingin kembali menghangat dengan sendirinya. Namun, Alif masih belum menyadari hal itu. Khaled sengaja tidak mengajaknya bicara, memilih menaruh perhatian pada berkas yang belum selesai dipelajari. “Apa jumlah uangnya besar, Dayi?” Alif bertanya saat tangannya menggeser persneling ketika berhenti di lampu merah. Kemudian menoleh pada Khaled. “Tidak juga. Tapi, patut dicari tahu kenapa bisa selisih.” Khaled tidak mengalihkan pandangan. “Kau mulai tertarik mempelajarinya?” sambungnya kini menatap Alif. “Sepertinya abla lebih serius menekuninya.” Khaled terkekeh dengan jawaban Alif yang melajukan kembali mobil dengan kecepatan lumayan tinggi. Setibanya di pabrik, Alif tidak lekas turun sebab pertanyaan Arman terngiang di benaknya. Kenapa mereka tidak mematikan kamera pengintai seperti biasanya? Baik Alif dan Arman tidak terpikir untuk membahas soal itu tadi, mungkin Alif akan mengatakan hal itu lain waktu. Andai mereka melakukan itu kemarin, mungkin aku bisa mendapatkan informasi pribadi mereka. Alif memasuki ruang meeting bersama pertanyaan yang menggelayut di kepala. Gonul, Karim dan Brigita serta Khaled dan beberapa staf penting juga sudah hadir. Rapat itu berlangsung tertutup. Di saat bersamaan, Nesli dan Ayse tengah menyiapkan masakan untuk makan siang. Mengingat kesibukan di rumah bertambah, Ayse berpikir untuk mempekerjakan beberapa pelayan guna mengurus rumah. Namun, kehadiran orang-orang baru bisa membuat masalah semakin meluas dan pelik. Sementara itu, Nesli juga tidak ditugaskan untuk melakukan pekerjaan rumah, melainkan mengurus keperluan Brigita dan Alif serta menjadi temannya di rumah, selain adiknya –Efsun. Namun, Nesli tidak berkeberatan untuk itu. Adalah kebahagiaan tersendiri baginya, bisa melakukan apa yang bisa ia berikan pada keluarga itu sebagai balas budi. Makanan sudah terhidang di meja. Sup tulang iga sapi kesukaan Alif dan Karim juga sudah selesai dimasak. Nesli menuangnya perlahan dan hati-hati ke dalam mangkuk. Seperti biasa, Nesli akan menyisihkan di mangkuk berbeda lantas menyimpannya di lemari setelah dingin. “Saya akan membuat minuman untuk penjaga, apa Nyonya ingin secangkir?” “Terima kasih, Nesli. Seperti biasa.” Nesli lekas membuat minuman dan Ayse duduk di ruang tengah membaca majalah. Beberapa hari belakangan ia rasakan tenang dan damai. Khususnya setelah Alif kembali bersikap baik. Khaled menceritakan itu pagi tadi. Ayse benar-benar bahagia. Namun, wanita itu belum mengetahui hubungan kakak beradik yang juga sudah membaik. “Silakan, Nyonya. Saya akan antar minuman untuk mereka.” “Terima kasih, Nesli. Oh, iya, apa Barris sedang keluar?” Nesli berpikir sejenak. “Uhm … saya belum melihatnya sejak keluar dari ruang kerja. Apa mau saya panggilkan, Nyonya?” “Oh, tidak. Tidak perlu.” Ayse meneruskan membaca majalah. Cukup lama hingga Barris melewati ruang tengah. “Nyonya, apa Anda ingin berpergian?” Ayse menoleh hingga lembaran majalah kembali jatuh. “Tidak ada. Ada apa, Barris?” “Saya akan membawa mobil Brigita untuk perawatan. Dan akan memakan waktu lama.” “Oh, pergilah. Hari ini aku ingin di rumah.” Barris undur diri ketika Nesli masuk ke ruang tengah. Sempat keduanya berpapasan tetapi tidak ada interaksi. Nesli duduk dengan segelas air tawar dan sedikit kudapan. Bukan hal baru bagi pelayan untuk bersikap demikian di rumah itu, khususnya Nesli dan Barris. Sebab mereka sesungguhnya merupakan pelayan khusus, lebih tepatnya orang kepercayaan. Ponsel Ayse berdering. Ia mengambilnya dan melihat nama Fayren di layar. “Benarkah? Masha Allah.” “Aku tidak bohong, Teyze. Dia benar-benar melakukannya. Dia hebat. Dia pemberani!” “Ya, Allah. Aku tidak menyangka secepat itu dia melakukannya. Tezye sangat berterima kasih padamu, Nak.” ”Eeheh … tidak perlu, Teyze. Sudah tugasku. Aku akan mengabari lagi nanti. Salamu’alaikum.” Ayse mematikan telepon setelah menjawab salam. Sungguh ia ingin melompat dan berteriak hingga penjuru dunia tahu, bahwa ia sedang sangat bahagia. Benar-benar bahagia hingga Nesli keheranan melihat air mata Ayse menetes. “Nesli … Brigita ….” Ayse berkata dengan suara bergetar. Ucapannya putus karena terlalu bahagia. “Fayren barusan meneleponku. Dia bilang Brigita sudah praktek menghadapi api dan dia berani melakukan itu.” “Benarkah? Masha Allah!” Mata Nesli mendelik. Ayse menangis haru saat mengatakan kabar tersebut. Matanya diseka-seka dengan napas tertahan-tahan. Harapannya –dan semua orang di rumah itu yang menyayanginya –sangat menginginkan kesembuhannya yang puluhan tahun tak kunjung didapat. Nesli mengusap pundak Ayse yang terus mengucap syukur dari bibirnya. Pun dengan Nesli yang turut menangis haru. Tanpa sadar mereka berdua saling berpelukan. Kesembuhan memang berasal dari Tuhan, tetapi bukankah itu juga usaha dari diri sendiri?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD