50. Hasil yang diharapkan

1051 Words
Bulir keringat bermunculan membasahi kulit punggung sejak tadi. Dahi dan pelipis Brigita tak luput dari air asin yang keluar dari pori-pori. Ia merasakan tubuhnya gemetar, dadanya sesak tak bisa bernapas, jantungnya berdetak lebih kencang, rasa sakit di kepalanya mulai menyerang, perutnya mual, bahu dan lehernya terasa kaku. Brigita melakukan pengaturan napas dan relaksasi sesuai anjuran Fayren, sebelum lanjut ke terapi penyembuhan  melalui praktek mengahadapi api. Terapi perilaku kognitif yang Fayren putuskan untuk dijalani cukup membantu energi Brigita. Hampir satu jam ia melakukan terapi tersebut. Hingga akhirnya harus berusaha melawan reaksi yang muncul. “Fokuskan pikiranmu padanya, pelan-pelan.” Brigita sekuat tenaga melawan rasa takut pada zat pembakar itu. Lilin kecil di atas meja, memancing rasa takut hingga kembali merasuki. Brigita tahu bahwa ia harus yakin dan berusaha keras demi kesembuhan, maka ia memaksakan diri untuk melihat api sebagai langkah awal. Sebuah tindakan bagus –menurut Fayren dan patut diacungi jempol. Dua kali sudah Brigita memberi kejutan pada Fayren hari ini. Sungguh kemajuan yang luar biasa. Secara signifikan berdampak pada kejiwaan Brigita nantinya. Ia mengikuti arahan Fayren untuk menatap lilin menyala itu, lalu menutup mata bila sekiranya memori, rasa takut, atau reaksi yang ditimbulkan mulai terasa. Mengambil jeda lalu mengulanginya lagi dan lagi. Membayangkan bahwa api kecil di lilin itu adalah temannya, kemudian berubah menjadi sahabat di kala gelap. Menemani dan memberi jalan petunjuk untuk keluar dari arah kegelapan. Brigita terus menatap api dan membayangkan makanan enak yang dimasak lantas masuk ke mulutnya –sesuai anjuran Fayren. Ia membentuk bayangan seekor ayam dibakar di bara api, lalu dibaluri bumbu, dikipas, dan kayu-kayu yang menjadi bahan bakarnya menjadi arang dan abu. Harumnya menguar merangsang indera penciuman untuk segera mencicipi, dan ayam panggang lezat siap untuk disantap. Di ruangan tertutup dan terang, Brigita menutup matanya sesekali untuk meringankan diri dan rasa tidak nyaman yang dirasa olehnya. Mengatur napas secara teratur, agar kekuatan dan keberanian tetap menjadi miliknya, bersamanya sampai terapi itu selesai. Fayren duduk di sebelah mendampingi sekaligus memperhatikan tiap detik yang terjadi dari kejadian luar biasa tersebut. Konselor itu ingin menjeda atau bahkan menghentikan terapi itu untuk hari ini –merasa cukup dan dilanjutkan lain hari. Namun, perempuan itu justru hanyut menyaksikan Brigita yang tengah berjuang keras. Tekadnya bisa Fayren lihat dan rasakan dari kuatnya genggaman tangan Brigita pada tangannya.   Brigita memejamkan mata cukup lama. Helaan napas hingga dadanya naik turun membuktikan bahwa ia tidak main-main dengan keputusannya. Semangat yang patut diapresiasi. Kedua kelopak mata Brigita perlahan terbuka. “Cukup untuk hari ini. Kau sudah melakukannya dengan sangat baik.” Bahu brigita jatuh ketika Fayren menghentikan usahanya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang, menarik napas panjang, mengaturnya, sementara matanya terpejam. Bahasa tubuh Brigita seolah berkata ‘akhirnya’ ketika Fayren mengakhiri sesi praktek. Ia memang tidak tahan untuk meneruskan, tetapi kesembuhan yang diharapkan membuatnya melawan. Terutama dukungan Fayren sebagai seorang sahabat. Brigita mendapati Fayren tersenyum hangat dan bahagia, ketika membuka mata setelah merasa cukup untuk pendinginan. Sejumlah tisu dari Fayren ia terima. Kulit wajah dan tubuhnya terasa lengket. Tisu ia gulirkan ke seluruh permukaan wajah. Suhu penyejuk udara cukup dingin, tetapi Brigita menghasilkan keringat hingga pakaiannya basah. Genggaman tangan sudah terlepas. Di atas karpet Turkey itu, Brigita merelaksasi tubuh dan pikirannya sebelum melakukan hal berikutnya. Kondisi fisiknya akibat reaksi yang muncul, masih ia rasakan. Bahkan, ia merasa akan muntah.   “Biar aku bantu.” Fayren mendudukkan Brigita dan memijat tengkuk leher hingga pundak. “Aku benar-benar tidak tahan,” keluh Brigita meringis. “Aku harus ke toilet.” Brigita bangun dengan sedikit menunduk dan berjalan ke sana dengan posisi seperti itu. Disusul Fayren hingga ke pintu toilet –menunggunya. Ia mendengar suara muntahan dari tempatnya berdiri. Fayren tersenyum haru. Tidak punya kata-kata untuk dirangkai dan diucapkan. “Kau sudah merasa lebih baik?” Fayren bertanya ketika Brigita muncul. “Ah, iya. Lumayan. Terima kasih.” “Tidak. Katakan itu pada dirimu. Kau layak dan sangat pantas untuk menerimanya,” ucapnya menuntun Brigita duduk kembali ke lantai. “Kau luar biasa, Brigita. Aku sangat kagum padamu.” Brigita menggeleng. “Aku harus melakukannya kan, Fayren? Kau meyakinkanku sampai aku berada di titik itu. Mengambil keputusan paling penting sepanjang hidup.” “Mereka akan sangat senang mendengar hal ini, Brigita. Kau yang mengabari atau aku yang melakukannya? Aku tidak sabar membagi kebahagiaan ini,” tukasnya penuh antusias. Fayren begitu bersemangat mengumumkan pada semua orang seperti mengumumkan sebuah pernikahan –pikir Brigita. Fayren mengambil minuman di kulkas dan kudapan. Stok makanannya sudah menipis, waktunya berbelanja.  Fayren menaruh makanan dan minuman di karpet bersama nampan. “Kau sudah berhasil mendobrak ketakutanmu. Kau tidak akan merasa cemas lagi setelah ini. Tidak berlebihan maksudku. Dan, kau boleh melakukannya di rumah.” “Benarkah?” “Hu um ….” Fayren mengangguk. “Karena ketakutan itu masih ada dan mungkin tidak besar lagi. Tapi, kau harus diawasi ketika melakukan itu.” “Kenapa aku tidak bisa melakukannya sendirian?” Brigita mengambil minuman dan meneguknya. Fayren menggeleng. “ Kau masih butuh diawasi, sampai kau merasa bahwa api bukanlah musuh, melainkan teman yang dibutuhkan.” Brigita hanya mengangguk dan meneguk kembali minumannya. Fayren meminum sedikit sebelum menulis catatan lanjutan hasil terapi hari ini.   “Oh, iya, bagaimana Alif? Apa dia baik-baik saja?” Pertanyaan basa-basi yang tidak perlu dijawab. Sebuah pertanyaan dengan kalimat terakhir yang ambigu. “Dia masih sama. Tidak ada yang perlu kurisuakan. Dia bukan lagi anak kecil yang tidak tahu bagaimana bersikap dan menyikapi sesuatu.” Fayren manggut-manggut dengan bibir nyeleneh. “Kalian begitu sangat menyayangi.” Brigita hanya tersenyum lantas menghubungi Barris untuk menjemputnya. “Terima kasih untuk hari ini. Kau sangat banyak membant –“ “Sudahlah. Itu tugasku sebagai teman. Tidak perlu terima kasih pada seorang sahabat,” tuturnya mengharukan hati Brigita. Usai mengantar Brigita ke depan, Fayren kembali ke ruangan menyelesaikan pekerjaan. Membuat laporan pencapaian untuk kebutuhannya –sebagai file database dan arsip. Menuliskan rangkaian peristiwa hingga jarinya berhenti. Benak Fayren membawanya kepada Alif. Fayren tak ingin terlalu jauh masuk ke dalam masalah keluarga orang lain. Bukan ranahnya untuk mencampuri, kecuali mereka meminta untuk membantu Alif. Ia menilai pemuda itu secara objektif. Logika Fayren membenarkan ungkapan Brigita tidak ada yang perlu dirisaukan. Fayren melanjutkan tulisannya yang terhenti. Beberapa file harus siap sebelum ke supermarket untuk belanja, karena mungkin ia akan lama di tempat itu. Kemudian menyusun jadwal klien untuk terapi berikutnya. Fayren menghela napas dan menutup bukunya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD