Aku Milikmu, Om!
#AMO
Bagian 2
"Sudah makan?" Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah suara itu. Napasku terhenti, sebelum aku mencampakkan muka agar tak melihatnya.
"Mau apa kau ke sini, Mas?" tanyaku ketus.
"Aku ingin menjengukmu, Aruna. Kamu kan lagi sakit," katanya dengan nada halus.
Bila itu dikatakannya sebelum kejadian dua minggu yang lalu, mungkin aku sangat senang. Tapi tidak untuk sekarang, kejadian itu benar-benar membuatku terluka.
Mas Rangga, lelaki yang berhasil mengisi kosongnya hatiku selama ini, bahkan sampai saat ini. Dia selalu ada untukku layaknya Nissa. Mereka adalah orang yang sangat berarti untukku.
Mas Rangga mendekat, duduk di kursi samping ranjangku.
"Ngapain kamu, Mas? Kamu lebih baik pulang saja. Aku tak mau ibumu marah kepadaku karena kamu menemuiku. Kamu masih ingat bukan bagaimana ibumu melarangmu untuk menemuiku."
Aku menunduk terisak. Masih teringat pada saat aku diajak Mas Rangga ke rumah sakit untuk dikenalkan pada orang tuanya. Kupikir orang tuanya akan menerimaku, tapi ternyata tidak. Orang tua Mas Rangga habis-habisan menghinaku. Menghina hidupku yang katanya berantakan, bahkan keluarga pun tak punya.
Siapa yang tidak sakit hati saat dihina seperti itu? Aku sadar aku bukan orang kaya. Aku sebatang kara. Jangankan memiliki banyak harta, bisa mencukupi kebutuhan makanku sendiri pun aku sudah sangat bersyukur.
Malang sekali nasibku. Kisah cinta yang sudah kujalin selama hancur begitu saja hanya karena perbedaan kasta. Karena aku memilih untuk melupakan Mas Rangga. Mungkin memang benar apa yang dikatakan orang tua Mas Rangga, aku tak pantas.
"Aruna, apakah kau belum memaafkan sikap orang tuaku?" tanyanya dengan lirih, namun terdengar jelas di telingaku.
"Aku sudah memaafkannya, Mas, sungguh. Justru aku menghargainya, kumohon kamu jangan menemuiku."
Jujur, itu bukan terwujud keinginan hatiku. Aku masih menyimpan cinta. Aku selalu ingin kita bersama, tapi bagaimana lagi? Aku tak mau terluka untuk kedua kalinya.
"Aku tak bisa jauh darimu, Run. Dua minggu ini kujalani dengan sangat berat. Aku merindukanmu." Suaranya terdengar begitu pilu. Apakah kau benar-benar rindu padaku, Mas?
"Tapi, Mas. Bagaimanapun yang terpenting adalah orang tuamu. Jangan memikirkanku, aku hanya orang asing yang tak sengaja mengisi hatimu."
"Orang asing kau bilang?!" tanyanya dengan nada tinggi. Aku sempat tersentak.
"Maaf," katanya lirih.
"Bukan begitu, Mas. Kamu tak mungkin mendurhakai orang tuamu kan? Aku tahu itu. Ilmu yang kamu miliki tak mungkin membuatmu melakukan itu. Jadi, kumohon mulai sekarang jauhi aku," kataku memohon. Kini aku menatap manik matanya yang menyiratkan kepiluan.
"Tapi aku gak mau jauh darimu. A-aku mencintaimu," katanya dengan bergetar. Dia menangis. Aku tak kuasa melihatnya.
Aku juga mencintaimu, Mas.
"Aruna kamu sudah ma- eh? Maaf, kukira kamu sendirian." Tiba-tiba Om Raka datang.
Aku segera mengusap air mataku, begitu pun Mas Rangga.
"Eh, Om Raka," kataku dengan ceria bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"Maaf ganggu, Run," kata Om Raka sambil menggaruk tengkuknya. Terlihat kikuk.
"Gak apa-apa kali, Om. Gak ganggu kok."
"Siapa nih? Pacar kamu?" tanya Om Raka melirik Mas Rangga yang masih diam di tempatnya.
"Bukan, Om. Ini temen Runa. Kenalin namanya Rangga. Mas Rangga, kenalin itu Om Raka."
"Aruna, kenapa kau menyebutku 'Om' saat mengenalkanku? Nanti dikira aku om-om beneran."
"Biarin!" Aku menjulurkan lidah mengejek Om Raka. Biar saja, biar dia kesal.
Om Raka dan Mas Rangga bersalaman dan saling melempar senyum. Tapi tak lama kemudian Mas Rangga pamit pulang, mungkin risih karena aku terus saja ribut dengan Om Raka. Biar saja Mas Rangga cemburu, biar dia mudah menjauhiku.
"Om, mau apel itu." Aku menunjuk sebuah apel yang berada di nakas.
Om Raka menaikkan alisnya sebelah.
"Ya ambil lah!"
"Yah, Om. Ambilin dong," rengekku.
"Aku susah ngambilnya," lanjutku.
Om Raka tampak kesal. Ia menghela napas kasar. Tapi akhirnya ia juga mengambilkan apel yang kuminta.
"Kupasin sekalian, ya, ya?" kataku manja sambil mengedip-edipkan mata.
"Apaan sih," katanya semakin kesal.
"Ya Allah, Om. Gak kasian sama aku apa? Liat nih tanganku ada yang luka." Aku menunjukkan luka yang berada di tangan. Sebenarnya masih bisa untuk sekadar mengupas apel. Tapi biar saja lah sekali-kali mengerjai om ganteng ini.
Om Raka tampak melirik tanganku sebelum akhirnya ia mengupas apel.
"Om baik deh! Tambah ganteng kalau gini," godaku bersemangat. Aku memang suka sekali menggoda sepupu Nissa yang satu ini. Berkali-kali aku bertemu dengan Om Raka saat di rumah Nissa membuatku tak lagi merasa canggung dengannya.
"Berisik!"
Hahaha. Aku tertawa lepas meski tak begitu keras. Ini di rumah sakit, tak mungkin aku tertawa terlalu keras.
Aku memperhatikan Om Raka yang kini mengupas apel. Tangan dan matanya benar-benar terfokus pada apel dan pisau di depannya.
"Biasa kalau liatin aku, aku memang tampan," ujar Om Raka tiba-tiba membuatku tersentak. Aku menundukkan pandanganku. Aku malu, ketahuan sedang memperhatikannya.
"E-eh? Kenapa Om Raka jadi percaya diri sekali?" tanyaku menyembunyikan rasa maluku.
"Ah, jujur saja kau, Run. Aku sudah terbiasa diperhatikan begini." Ia berujar dengan pede-nya.
Aku memukul bahunya pelan. Dasar! Tapi, memang kuakui Om Raka begitu tampan. Bahkan Mas Rangga kekasihku pun kalah tampan olehnya. Ah, mantan kekasih tepatnya.
"Yang tadi itu pacarmu, ya?" tanya Om Raka santai.
"Enggak kok, Om. Kan udah aku bilang," kataku sewot.
"Ya udah sih biasa aja!" Om Raka memasukkan potongan apel ke dalam mulutnya.
"Lho, Om. Kan itu buat aku, kok dimakan sendiri sih!"
"Siapa bilang aku mengupaskan untukmu, heh? Aku tidak berbicara begitu tadi." Om Raka kembali memasukkan potongan apel ke dalam mulutnya.
Benar, Om Raka tidak bilang seperti itu. Tapi, kan tadi aku suruh. Aku mendadak malu. Apakah aku hanya merasa percaya diri saja.
Aku diam membuang muka. Tak lagi menghiraukan Om Raka yang mengesalkan.
"Run," panggilnya. Tapi, aku tetap diam tak menoleh.
"Aruna," panggilnya lagi. Kini aku menoleh.
Aku terkejut saat ia menyodorkan potongan apel seperti yang disuapkan ke dalam mulutku. Jangan-jangan ia mengerjaiku?
Tiba-tiba ide iseng muncul di kepalaku. Aku menatap yang masih diam. Mungkin ia benar-benar akan menyuapiku.
"Aw!"