Ryan: 2

2438 Words
“Anda, Ms. Butler?” Lorna menatap pria yang tiba-tiba muncul dari arah belakangnya. Awalnya ia ragu untuk mengangguk. “Perkenalkan nama saya, Detektif Morgan.” Pria itu menunjukan lencana kepolisian miliknya. Wajah Lorna yang kaku, dan curiga berubah seketika menjadi sendu. “Bisa kita bicara mengenai klien Anda?” lanjut Morgan. Mereka berada di lorong kantor milik Trust Asset, saling berhadapan dengan beberapa pasang mata dan telinga yang sedang mengamati mereka, meski tidak secara terang-terangan. “Apakah Anda sudah menemukan Mia Reynolds? Di mana dia?” Pertanyaan yang diajukan Lorna dengan beruntun, tak ada jeda dan terdengar tidak sabar diselingi dengan emosi penuh kesedihan yang membuat detektif itu berempati. Morgan menelan ludah sebelum menyampaikan berita penting pada Lorna. Hari ini tepat satu minggu sejak kecelakaan yang membuat mobil Mia meledak di dalam jurang, dan polisi tidak juga menemukan jasadnya. Semua usaha telah dikerahkan namun masih belum ada hasil. “Sampai saat ini jasadnya belum ditemukan. Kami sudah menambah radius pencarian. Kami turut prihatin, Ms. Butler.” Suara Morgan terdengar penuh simpati. Pria muda itu menatap Lorna dengan tatapan duka cita. Sedangkan Lorna masih memainkan perannya. “Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan seputar korban.” Terdengar kembali suara sang Detektif. Lorna terdiam beberapa detik, bagai baru tersadar dari kebisuan diri sendiri. “Ya, kita berbicara di ruanganku saja.” Keduanya melangkah memasuki ruang kerja milik Lorna. Morgan berjalan mengekor di belakang sebelum pintu tertutup di belakang langkah keduanya. Ruangan yang besar dengan meja kerja lebar, lengkap dengan layar monitor Apple Imac Retina 4K Mrt32 8gb/1tb 21.5 inci. Kursi berpunggung tinggi. Lemari besar dengan rak berisi buku-buku, pajangan, piala dan plakat penghargaan yang berjejer rapi di balik kaca. “Silahkan duduk, Detektif--” Mata Lorna memicing sebelah. “Morgan,” selak sang Detektif menyebutkan kembali namanya. Lorna menarik bibirnya membentuk senyuman tipis. Detektif muda itu tidak keberatan untuk mengucapkan namanya untuk kedua kalinya. “Apa yang ingin Anda ketahui tentang sahabat saya?” Telapak tangan Lorna terulur, tertuju pada kursi di seberang mejanya. Bahasa tubuh yang mempersilahkan tamunya untuk duduk. Morgan menghempaskan tubuh tegapnya di kursi itu disusul dengan mengeluarkan sebuah buku kecil dan sebuah pulpen dari balik jas yang dikenakannya. “Apa Anda keberatan jika saya mencatat kesaksian Anda, Ms. Butler?” Keduanya bertemu pandang sebelum Lorna menggangguk. Jeda yang digunakan Lorna untuk menarik napas. “Kami mendapatkan diagnosis dari dr. Stella Bell, dokter yang menangani klien Anda---” “Yayaya…” potong Lorna seakan bosan dengan hal tersebut. Lorna memajukan tubuhnya sedikit menjorok ke depan, lalu berujar, “Klien kami depresi. Dia butuh perawatan intensif. Oleh karena itu, Dr. Stella, maksudku Dr. Bell menyarankan untuk rawat inap.” Kata-kata yang meluncur cepat dari bibir Lorna, “Aku tidak punya pilihan, aku ingin klienku sembuh karena kami menangani segala keperluannya,” sambung Lorna dengan suara pelan bahkan nyaris tidak selesai saat mengucapkannya, Lorna masih memasang wajah sedih di bawah tatapan Morgan. “Ya, saya mengerti posisi Anda sebagai pemegang perwalian dari Mrs. Reynolds.” Ada jeda sebentar, “Depresi seperti apa yang klien Anda alami?” Lorna menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi besar miliknya. Membasahi bibirnya dengan lidah dan melirik Morgan yang duduk di seberangnya sambil sesekali menuliskan sesuatu di buku catatan. “Dia bisa mengamuk, bisa menangis, juga berteriak dalam waktu cepat dan tiba-tiba,” Lorna menciptakan kebohongan tentang diri Mia yang sesungguhnya. “Sejak kapan?” selidik Morgan. Lorna masih memasang wajah sedih. “Sejak kematian suaminya. Karena itu lah dia membutuhkan ahli untuk mengurus kehidupannya.” Lorna menjawab dengan tegas, menghela napas sebelum melanjutkannya lagi, “…bahkan anaknya, maksudku Loli, anak klien pernah hampir tewas kehabisan napas, Mia hampir mencekiknya karena kesal.” “Anda menyaksikannya?” Morgan menanti jawaban dari Lorna, penanya telah siap untuk bergulir di permukaan kertas. “Ya. Pengasuh di rumah melihatnya.” Morgan memicingkan matanya ke arah Lorna. “Kapan dan bagaimana kejadiannya?” Morgan bertanya dengan penasaran, mata cokelatnya tertuju pada Lorna yang terdiam. Lorna menyelipkan sejumput rambut di samping wajahnya ke balik telinga, lalu beranjak dari kursi dengan gerakan anggun. “Kebetulan waktu itu…” Kalimat Lorna menggantung, seakan sedang mencoba mengingat, “Aku datang untuk menjenguk Mia, karena… hampir tiga hari tidak masuk kerja.” Pertanyaan demi pertanyaan meluncur, bersautan memenuhi isi ruang kerja Lorna. Banyak kejanggalan yang membuat Morgan tak habis untuk bertanya. Lorna menanggapi, merespon, dan memilih jawaban dengan kehati-hatian. Ekspresi dan bahasa tubuh Lorna juga menyiratkan kesedihan sahabat dan juga rekan Mia yang tidak waras lalu tewas dalam kecelakaan. *** Mereka telah berhasil memindahkan korban dari sungai ke dalam klinik pribadi milik Nick. Wanita yang terlihat begitu lemah. Ella istri Otis telah membersihkan tubuh korban dari segala kotoran yag menempel di permukaan kulit. Luka yang nyaris di seluruh permukaan kulit. Begitu juga dengan wajahnya yang tidak lagi mampu dikenali. Nick telah memasang ventilator dan juga alat kesehatan lainnya untuk menopang kehidupan korban. Sepanjang perjalanan Nick berpikir tentang rentang waktu yang terjadi sejak kecelakaan hingga Otis menemukannya. Luka yang masih segar dan wanita itu masih bernapas. Cuaca sejak tiga hari lalu didera hujan lebat hingga menyebabkan debit air sungai naik. “Wanita itu masih hidup,” batin Nick usai kepergian Ella dari ruang klinik. Nick masih menatap korban dengan perasaan simpatik sebelum manik mata Nick menangkap cincin yang masih melingkar di jari manis wanita itu. Nick memutar benda pipih bulat itu dengan gerakan yang hati-hati. Jemari yang terlihat ramping dengan kuku yang terawat meski beberapa di antaranya tampak kotor karena sedikit pasir menyusup di dalamnya. Nick berhasil untuk melepaskannya sebelum kemudian mendekatkan cincin wanita itu dan melihat ke dalam lingkar cincin. Nick terbelalak dan seakan aliran listrik berdaya ribuan volt baru saja menyambarnya dengan begitu cepat. “Ben Reynolds,” desis Nick mengucapkan nama yang terukir di balik cincin berlian yang dikenakan korban. Seketika wajah seorang wanita berkelebat di pelupuk mata Nick. Bayangan yang tampak jelas. “Mia,” gumam Nick sambil menatap sosok korban di hadapannya dengan tatapan tidak pecaya. “Bukan kah itu, Ben Reynolds?” tanya Nick pada sahabatnya Leo Torres. Leo memicingkan matanya saat mendapati tatapan mata Nick yang masih tertuju pada kepergian sosok Ben. “Kau mengenal Ben juga?” tanya Leo penasaran yang membuat Nick mengerjap, tersenyum miring lalu duduk di sofa mengikuti Leo yang lebih dulu. “Katakan apa yang telah aku lewatkan?” buru Leo. Persahabatan Nick dan Leo bukan baru terjadi kemarin. Keduanya telah bersahabat cukup lama hingga Nick tak segan untuk berbagi cerita. Ia mengisahkan pertemuannya dengan Ben dan Mia Reynolds di sebuah acara pertemuan bisnis. “Sepertinya kau tertarik pada Mia.” “Dia sudah menikah. Aku tak akan merebut milik orang lain,” seloroh Nick sambil menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa di belakangnya. Leo terkekeh. “Mereka akan bercerai. Ben telah mengajukan gugatan,” ungkap Leo yang membuat Nick terduduk tegak di sofa dan tatapannya lurus tertuju sepenuhnya pada Leo. Nick benar-benar terkejut. “Kesempatan untukmu.” Kesempatan yang tak pernah datang bahkan kian menjauh dengan kenyataan yang terjadi setelah itu. Nick dikejutkan dengan berita kehamilan Meghan Adam. “Aku mengandung anakmu, Nic. Anak kita.” Takdir yang digariskan pada kehidupan Nick kini mengarah pada sosok Mia Reynolds atau Mia Regan kembali. Perasaan Nick bercampur aduk antara senang, bahagia, sedih dan amarah. Menyaksikan wanita yang ia cari selama ini ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Luka bakar yang tidak sedikit, setengah tubuh Mia terbakar dengan kulit yang mengelupas, darah yang mengering dan wajah yang hancur. Rambut indah Mia yang tergerai indah saat terakhir kali Nick melihatnya, kini telah rusak, terbakar dan Nick terpaksa memangkas rambut Mia. Beberapa jam Nick lewati dengan segala upaya yang ia kerahkan untuk menolong Mia. Berjuta-juta pertanyaan memenuhi isi kepala Nick. Cincin pernikahan Mia dan Ben yang menyatakan jika sosok yang ada di hadapan Nick saat ini adalah Mia Reynolds. “Siapa yang telah melakukan hal ini padamu, Mia?” batin Nick. Mia terkapar dalam balutan kain yang menutupi tubuhnya. Nick telah membersihkan seluruh luka yang ada di tubuh Mia. Menghentikan semua pendarahan dan mempercepat pertumbuhan sel baru untuk menggantikan sel yang rusak pada kulit Mia. Butuh waktu lama bagi Mia untuk bisa kembali. “Apa yang sesungguhnya terjadi padamu, Mia?” Nick berbicara pada dirinya sendiri. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di dalam pikiran dan benak Nick tentang kehidupan Mia. Beberapa hari kemudian... Mia masih terbaring dengan wajah yang terbungkus kasa. Detak jantungnya telah normal, begitu juga dengan napasnya. Organ tubuhnya perlahan membaik meski Mia belum sadarkan diri di hari yang bergulir menuju hari ke sepuluh. “Aku sangat terkejut jika kau menemukan Mia dengan keadaan seperti itu. Kau---” “Cincin yang dia kenakan bertuliskan nama Ben suaminya. Bisa dipastikan jika itu Mia,” potong Nick sebelum kembali menoleh untuk menatap Mia yang berbaring di atas tempat tidur di kediaman Nick di Boston. Nolan masih menatap Nick yang terlihat mengatupkan kedua rahangnya. Ada binar amarah yang melingkupi wajah tampan sang Dokter. “Kau ingin menyelidiki siapa di balik---” “Entahlah,” potong Nick tanpa menoleh ke arah Nolan yang berdiri di sampingnya. “Kau yakin?” selidik Nolan. Nick menoleh sebentar. “Aku rasa tidak untuk saat ini.” Nick memberikan jawaban diplomatis sebelum menatap ke arah Mia lagi. Alat pacu jantung dan semua keperluan Mia berada di sekeliling ranjang. Menderu halus dan Nick telah mengubah salah satu kamarnya menyerupai kamar rumah sakit. Sama seperti yang dilakukan Rudolf untuk Sergei. “Kau tidak akan melanjutkan penyelidikan? Kau tidak akan mencari tahu---” “Bagiku dengan kembalinya Mia sudah lebih dari cukup,” seloroh Nick dengan penekanan di setiap kata yang meluncur dari mulutnya dan Nick menoleh dengan gerakan lamban. Menatap Nolan yang menatapnya. Keduanya bertemu pandang dengan isi kepala masing-masing. “Kau yakin dengan apa yang kau katakan?” tanya Nolan terkejut. Kedua sudut alisnya nyaris saling mendekat saat ia mengernyit. Menatap Nick dengan tatapan heran dan penuh tanya. “Kau harus tahu jika Mia memiliki seorang putri dari pernikahannya dengan Ben Reynolds, Nick,” imbuh Nolan. Nick terdiam, seakan dunia telah membelesakkan dirinya. Menariknya dalam lingkar lorong waktu yang nyaris ia lupakan akan sosok putri Mia yang kini Nick tidak tahu tentang keberadaannya. “Aku telah mencari salinan dokumen tentang keluarga Reynolds.” “Apa yang kau temukan, Nolan?” tanya Nick antusias. Mimik wajah Nick yang tampan berubah tegang, tatapan lurus sementara Nolan tampak tenang seperti biasanya. Nolan tersenyum segaris sebelum mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Membukanya lalu menyodorkannya ke hadapan Nick yang kali ini telah berubah menatap dengan tanya. “Seluruh kekayaan keluarga Reynolds akan jatuh ke Laura Natasha Reynolds. Mereka biasa memanggil dengan nama Loli.” Nolan menjelaskan dengan lugas sementara Nick masih membaca dokumen yang ada di layar ponsel Nolan yang ia genggam. Nick terdiam, membaca dengan serius sampai ia mengangkat wajahnya untuk menatap langsung Nolan. “Dia belum cukup umur dan---” “Semua perwalian akan jatuh pada pihak Trust Asset. Kau bisa bayangkan bagaimana nasib dari putri Mia?” Pertanyaan yang diajukan Nolan membuat Nick terdiam. “Bagaimana dengan keluarga pihak Ben? Maksudku---” “Hal yang janggal adalah aku tidak menemukan jejak Sandra Reynolds di kediamannya,” ungkap Nolan dengan serius. Keduanya terdiam dalam dunia di dalam kepala masing-masing. Nick berbalik dan keduanya berjalan meninggalkan ruang perawatan Mia. Meninggalkan Mia seorang diri bersama dengan suara deru mesin dan juga semua alat yang membuatnya tetap hidup. Nolan dan Nick telah duduk di kursi berkaki tinggi. Meja bar marmer yang di atasnya ada beberapa buah botol anggur. Nick meraih dua buah gelas. “Kau ingin minum?” Nick menawarkan dan Nolan menyahut dengan santai, “Ya tentu saja, Dokter.” Nick tersenyum. Senyuman yang membuat wajah kakunya sedikit lebih rileks. Nick menuang anggur merah ke dalam dua buah gelas berkaki, menuangkannya dengan cepat lalu mendorong salah satu gelas ke arah Nolan. “Kau menyelidiki Sandra Reynolds?” tanya Nick tepat sedetik sebelum ia mendekatkan tepian gelasnya ke bibir, meneguk anggur dalam gelas tanpa melepaskan tatapannya dari Nolan yang juga meneguk minumannya. “Aku menyelidikinya setelah aku mendapatkan kabar jika kau menemukan Mia Reynolds sekaligus menyaksikan pemberitaan di televisi.” Nick terdiam, meletakkan gelasnya di atas meja, begitu juga Nolan. “Aku tidak menemukan jejaknya. Aku mencoba melihatnya ke rumah yang di tempati Sandra, tapi tidak ada apa pun.” “Mungkin kah jika menghilangnya Sandra Reynolds menjadi bagian dari rencana Trust Asset untuk---” “Ya, dugaanmu benar,” potong Nolan. Ia menggeser letak gelasnya sedikit ke samping, melipat salah satu tangannya di atas meja bar yang terbuat dari marmer. “Mereka butuh bukti jika tidak ada anggota keluarga yang dapat mengurus Mia. Bahkan Mia tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Kau telah memeriksa rekam medis miliknya, bukan?” Nick menjawab dengan anggukan. Tatapan Nick seakan menerawang ke suatu waktu pada kenangan beberapa hari lalu saat ia menemukan dokumen rekam jejak atas nama Camelia Regan. “Mia harus menjalankan terapi untuk bisa kembali berjalan, karena kecelakaan yang di alaminya.” “Mia telah mengalami kecelakaan sebanyak tiga kali, Nick.” “Ya. Tapi aku tidak menemukan kerusakan pada tulangnya yang harus membuatnya menjalankan terapi.” Nick meneguk kembali anggur dalam gelas yang digenggamnya. Nick masih ingat semua rekam medis Mia yang ditemukannya. “Kau menemukan hal yang aneh?” selidik Nolan. Ia bertanya saat Nick menurunkan gelasnya dari bibir, meletakkannya kembali ke atas meja. “Pembengkakan pada kaki yang dialami Mia karena diakibatkan oleh adanya trauma atau cedera jaringan. Trauma jaringan dapat berupa trauma pada otot, ligamen, yaitu jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang, tendon, jaringan yang menghubungkan ujung otot dengan tulang.” Nick menjabarkan dengan lugas. Mengatakannya dengan runut membuat Nolan menyimak dengan serius. “Trauma jaringan terjadi karena benturan dan atau adanya spasme otot yang tiba-tiba dan sangat kuat akibat cedera. Trauma jaringan dapat menimbulkan gejala utama bengkak, disertai dengan nyeri ketika digerakan, nyeri ketika disentuh atau ditekan, memar, dan lain-lain,” imbuh Nick lagi yang kali ini membuat Nolan Ross mengangguk pelan. “Apakah pemeriksaannya ada yang membuatmu curiga jika seharusnya Mia tidak perlu menjalani itu?” tanya Nolan usai jeda beberapa detik. Nick tidak langsung menjawab. Ia menatap Nolan yang duduk di seberangnya. “Aku hanya tertarik dengan diagnosa yang tertulis jika Mia mengalami depresi hingga ia tidak bisa mengurus dirinya sendiri.” Suara Nick terdengar penuh penekanan dan tatapannya berubah keruh. “Kau pernah menyebutkan nama Josie,” ucap Nolan yang membuat Nick menatap dengan mata membulat dan napas tertahan selama beberapa detik. “Joseline Parker juga menghilang. Aku tidak menemukan jejaknya.” “Aneh,” desis Nick pelan. Wajahnya berubah kaku dan serius. “Terlampau banyak kejanggalan, Nick. Kau akan membiarkan semuanya tanpa penyelesaian?” tanya Nolan yang membuat Nick kembali terdiam, terjebak dalam dilema yang seakan membuatnya harus berpikir, menempatkannya pada posisi harus memutuskan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD