“Apa salah aku sampai kamu begitu benci aku, Rev?” Erika berteriak nyaring hingga suaranya terdengar begitu lirih menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
Tapi tidak dengan Revan yang justru menatap Erika penuh dengan kebencian mendalam. Seakan sepasang mata tersebut mampu mengeluarkan api yang membakar habis sosok wanita cantik yang berstatus sebagai istrinya itu. Menghilangkan kepekaan bahkan hatinya keras tidak sedikitpun goyah oleh raung tangisan Erika.
Erika sendiri tidak mengerti mengapa sikap Revan berubah setelah mereka menikah. Awalnya dia pikir Revan sedang menunjukkan pembawaan aslinya, namun lama kelamaan sifat Revan di rumah semakin menjadi. Ketika Revan pulang lewat tengah malam dan istrinya bertanya dengan suara lembut, Revan sudah tersulut emosi dan membentaknya. Bahkan urusan di atas ranjang pun, Revan kasar dan hanya mempedulikan hasratnya sendiri tanpa memikirkan perasaan sang istri.
Pernikahan mereka murni karena perjodohan. Awalnya Erika tidak mencintai Revan dan ingin menyelesaikan kuliahnya lebih dulu. Namun karena paksaan papinya, Erika pun terpaksa menyetujuinya. Masa pacaran singkat selama sebulan, Revan berhasil mengambil hati gadis itu hingga terbuai dengan setiap perlakuan manisnya membuat Erika jatuh cinta dan menyerahkan seluruh hidupnya pada Revan sampai rela berkorban berhenti kuliah. Pikirnya nanti dia akan jadi ibu rumah tangga seperti yang dilakukan oleh mamanya.
Sampai Erika mengandung anak mereka, sifat Revan bukannya melunak tapi semakin parah. Dia terang-terangan mengakui kalau dirinya tidak pernah mencintai Erika tetapi perempuan lain.
“Kalau kamu mencintai perempuan lain kenapa mau dijodohkan sama aku? Dulu kamu ngak kayak gini, Rev. Sekarang aku hamil anak kita, setidaknya kalau memang kamu tidak cinta aku ada keturunan kamu disini.” Sambil mengusap perutnya yang sudah membuncit besar.
“Cih, kamu kira aku bakalan terharu hanya karena balon diperutmu itu. Belum tentu dia anakku!”
Bak tersambar petir, jantung Erika terasa sesak sakit seperti diremas mendengarkan tuduhan Revan yang tidak masuk akal. Selama menikah, Revan melarangnya keluar rumah bahkan ke rumah orang tuanya pun Erika dikawal oleh anak buah Revan yang pastinya akan mengadukan apa saja yang dilakukan Erika di sana. Bahkan Revan selalu jadi yang pertama dalam pengalamannya jatuh cinta sampai menikah. Mana mungkin dirinya sempat selingkuh sampai hamil anak dari lelaki lain.
Dan yang lebih menyesakkan batin Erika adalah semua yang sedang terjadi hanya bisa ia telan sendiri, bahkan mengadu pada orang tuanya pun bagi Erika sia-sia saja karena mereka justru berbalik membela Revan dan mengatakan dirinyalah yang bersikap tidak dewasa.
“Aku bukan perempuan seperti itu!!” Teriak lantang Erika, kali ini matanya menguarkan amarah hebat.
Untuk pertama kalinya Erika menunjukkan perlawanannya. Habis sudah kesabarannya menghadapi sikap semena-mena Revan. Baginya ucapannya barusan adalah titik akhir diamnya Erika selama ini menahan bentakan dan hinaan suaminya itu. Kalau memang ia harus menghadapi penderitaan ini sendiri maka dirinya harus kuat dan mengeraskan hatinya.
“Kita cerai saja, ini bukan anak kamu! Mulai malam ini kamu bukan lagi suamiku!” Ucap Erika lantang meskipun air matanya terus mengalir. Jantungnya seperti tertusuk belati oleh ucapannya sendiri, tapi mau bagaimana lagi. Harga dirinya sebagai seorang istri sudah diinjak sampai rata, keluargapun memandang remeh dan tidak percaya ucapannya.
Raut wajah Revan terkejut tidak menyangka kalau istrinya yang berhati lembut ini bahkan berani menantang balik. Tapi beberapa saat kemudian Revan mengeratkan rahangnya seolah pikirannya sudah dikendalikan bahwa wanita cantik dihadapannya ini hanyalah sampah dan tidak layak menjadi istrinya. Bahkan tatapan Revan begitu jijik pada Erika seolah Erika adalah kotoran yang terpaksa ia pungut demi sebuah tujuan.
“Cerai? Aku yang berhak melakukannya setelah kemauanku tercapai. Jadi jangan harap keinginanmu terkabul. Sudah ku bilang jadi istri penurut apa susahnya!”
Berdecih menatap sinis, Erika sudah tidak terkejut lagi mendengar perkataan suaminya barusan. Yang diinginkan Revan adalah pengalihan hak atas bagian warisan yang akan diterima Erika dari papi-nya kelak. Sebenarnya kalau saja Revan bersikap selayaknya seorang suami yang mencintai istrinya, dengan ikhlas Erika akan memberikan hak-nya tersebut, toh dia juga tidak tertarik dengan dunia bisnis sang papi. Tapi sejak Revan berubah, Erika justru sengaja menyimpan dokumen kepemilikan saham atas perusahaan sang papi dan sampai sekarang Revan tidak tahu dimana Erika menyembunyikannya.
Namun malam ini pikiran Erika berubah, intuisi sifat keturunan mafia papi-nya pun ia gunakan untuk menekan Revan.
“Kali ini kendali ada ditanganku. Kita cerai dan aku akan menuruti kemauan kamu. Semudah itu saja.”
Ganti Revan berdecih dan tertawa keras melihat Erika sudah berani menginjak harga dirinya.
“Kamu pikir aku segoblok itu hah! Berikan padaku dulu baru kita bercerai!”
“Oke, besok panggil pengacara. Aku akan memberikan semuanya sekaligus mengurus perceraian kita.”
“Deal!”
Revan meninggalkan kamar tidur mereka yang dulunya penuh dengan kehangatan, suara tawa dan desah juga obrolan seru dikala mereka baru menikah. Namun sekarang kamar tidur ini menjadi neraka bagi mereka berdua.
Luruh menjatuhkan tubuhnya terduduk di tepi ranjang, Erika menumpahkan kembali tangisnya. Sakit, pahit, benci semua menyatu mengaduk perasaan akan pernikahannya dengan Revan.
Semua cita-citanya dulu ia korbankan karena rasa cintanya pada Revan. Apa yang harus ia lakukan setelah bercerai dari Revan. Sedangkan untuk bersandar pada orang tuanya juga sudah tidak mungkin, mereka selalu membela Revan dan menganggap dirinya lebih jahat. Semakin besar rasa kecewa Erika ketika maminya meminta agar Erika mau melepas saham miliknya di perusahaan dan diberikan pada Revan tanpa mencari tahu dulu bagaimana perasaannya. Dia putri kandung seorang pengusaha sekelas mafia yang ditakuti semua orang namun dirinya justru menjadi korban dari manipulasi kedua orang tuanya sendiri.
Lelah menangis, rasa haus menghampiri. Sambil menghela nafas kasar Erika mengumpulkan tenaga bangun sambil memegangi perut buncitnya lalu mengambil gelas di atas meja nakas yang sudah kosong keluar kamar. Berjalan turun, samar-samar ia mendengar suara Revan sedang bicara pada seseorang. Suara lembut yang pernah membuat dirinya luluh ke pelukan Revan, sudah pasti suaminya itu sedang bicara dengan wanita selingkuhannya itu.
Bersikap masa bodo, Erika menghampiri suaminya. Revan yang tidak sadar Erika berada di sana terkejut ketika ponsel di tangannya direbut Erika.
“Hei! Mau apa kamu! Kembalikan!!” Teriaknya marah.
“Hei perempuan murahann, pelachur gila. Sekalian saja kamu kemari dan bawa dia ke tempatmu. Kalian berdua sama-sama najiss!!” Umpat Erika mengeluarkan uneg-uneg yang selama ini sudah lama ia pendam.
“Apa-apaan kamu!” Berusaha merebut kembali ponsel miliknya namun Erika berkeras mengeratkan tangannya terus memaki.
“Kamu sudah menghancurkan rumah tanggaku dengan Revan. Sampai matipun aku tidak akan membiarkan kalian hidup bahagia bahkan aku rela jadi hantu gentayangan untuk membuat hidupmu tidak tenang pelachur murahan!!”
“Jangan sembarang, ngomong pake otak!” Balas perempuan di telepon itu tidak terima dikatai murahan.
“Sudah, Eri. Dia tidak bersalah! Berikan ponselku!”
Saking kalutnya Revan merebut paksa ponsel miliknya lalu mendorong Erika tanpa memikirkan istrinya sedang membawa perut besar hingga Erika jatuh tersungkur.
“Argh!”
Revan berlari naik tanpa menoleh sedikitpun untuk melihat keadaan Erika yang sedang merintih kesakitan. Untung saja tangannya lebih cepat menahan badan besarnya agar tidak terjatuh dulu.
Bening mengalir kembali di matanya sambil meringis menahan rasa sakit terjatuh, calon bayinya juga bandel. Jatuh di dorong seperti ini bukan pertama kalinya dirasakan Erika. Meski kesakitan, Erika tersenyum puas kali ini sudah membalas membuat Revan kesal meskipun hanya itu yang bisa ia lakukan.
“Tuhan maha mendengar kaum yang lemah. Lihat saja, suatu hari nanti aku akan memutarbalikkan keadaan ini dan kamu yang akan menyesal, Rev. Aku menyesal pernah menerima cinta kamu.” Teriak lirih Erika menatap ke arah tangga sampai terdengar suara debaman pintu.
Sejak pertengkaran hebat beberapa hari lalu, Revan bersikap masa bodo demikian juga Erika semakin memperlihatkan sisi membangkangnya. Ia memberanikan diri keluar rumah meski sudah dilarang anak buah Revan dan sengaja menggunakan kehamilannya untuk mengancam orang-orang di rumah. Revan yang mendapat laporan istrinya keluar rumah hanya menyuruh anak buahnya untuk mengikuti kemana Erika pergi dan dengan siapa. Setiap hari Erika selalu keluar dari rumah dan baru kembali malam hari.
“Pak Revan, tolong ke rumah sakit segera. Maaf saya lalai menjalankan tugas, Pak.”
Telepon dari anak buahnya membuat jantung Revan berdetak tak karuan, mencoba menyingkirkan tebakan apa yang akan diberitahukan anak buahnya kemudian. Dalam pikirannya menebak terjadi sesuatu yang buruk pada Erika.
“Maksudnya apa! Ngomong yang jelas!”
“Bu Erika, Bu Erika, Pak. Dia ditusuk perempuan tidak dikenal waktu baru keluar dari toko bayi di Jalan Patimura. Orangnya kabur, saya mendulukan menolong Bu Erika dan membawanya ke rumah sakit segera. Kondisinya tidak baik, Pak. Ibu juga pendarahan.”
Degh! Meskipun membenci Erika tapi tetap saja mendengar istrinya dicelakai jantung Revan seperti diremas sakit.
“Sialan!!” Revan mematikan ponsel, berlari seperti orang gila mengkhawatirkan istrinya.
Bukan begini akhir dari pernikahannya dengan Erika meskipun ia membenci istrinya. Tidak dengan kehilangan nyawa. Revan langsung teringat dengan teriakan Erika di malam mereka bertengkar. Bergegas meninggalkan kantor, Revan menuju rumah sakit segera.
“Aku kabulkan kamu jadi hantu gentayangan.”
Itu adalah bisikan yang diucapkan si penusuk. Erika belum sempat melihat wajahnya karena meringis merasakan sakit sekali di perutnya dan wanita itu langsung berbalik badan pergi menjauhi. Dia mengenali suara si pelaku, tentu saja wanita yang ia maki malam itu melalui ponsel suaminya.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, rasa sakit tusukan di perutnya membuat Erika hanya bisa diam dengan air mata mengalir. Tatapannya semakin kosong, hanya otaknya berdialog dengan sang penciptanya.
“Tuhan, hidupku hanya sampai sini saja. Aku memohon jika dilahirkan kembali aku tidak ingin bertemu lagi dengan Revan dan menjadikan dia sebagai suamiku. Cukuplah penderitaanku hanya di kehidupan ini. Hanya saja kalau boleh aku ingin tahu mengapa Revan begitu membenciku.”
Setelah berucap, Erika masih merasakan tubuhnya seperti sedang di dorong keluar. Menatap langit-langit rumah sakit tempat ia berada sekarang. Samar-samar ia masih mendengar anak buah suaminya memanggil namanya. Hingga pandangannya semakin buram, Erika teringat calon anak dalam kandungannya.
“Maafin Mama, Nak. Mama tidak dapat mempertahankan kamu sampai lahir ke dunia. Maaf…” Ucapnya lirih dalam hati.
Air matanya mengalir seiring kedua mata Erika terpejam, nafasnya semakin pendek tercekat seolah udara dalam paru-parunya semakin menipis.
“Cepat bawa ke ruang operasi, bayinya masih bisa diselamatkan!” Samar-sama Erika masih mendengar teriakan dokter disampingnya.
Dalam kehancuran, Erika kehilangan kesadaran berserah pasrah jika memang ini takdirnya dan berharap semoga bayinya selamat. Namun dirinya juga khawatir kalau putranya nanti akan jadi pengganti bagi Revan untuk melampiaskan marahnya setelah ia meninggal.
“Yah Tuhan, lindungi anakku. Jangan biarkan ia terlahir sengsara sepertiku di dunia ini.”
“Ngak begini caranya kamu ninggalin aku, Ri…” Lirih suara serak suaminya terdengar di telinga Erika.
“Kamu bilang mau balas dendam sama aku, ayo bangun…”
Sayangnya semua perkataan Revan seperti angin bertiup di telinga istrinya. Penyesalan yang terlambat setelah semua rasa sakit yang diberikan Revan.
Tidak ada penyesalan ia harus meninggalkan dunia ini, Erika menyesali pernikahan ini. Menyesali keputusan mencintai seorang Revan bahkan menyesali kenapa harus memiliki orang tua yang tidak mempedulikan perasaannya malah membela Revan setiap kali mengadukan kondisinya.
“Aku tidak akan memaafkanmu, Rev. Meski harus terlahir kembali! Aku tidak akan lagi mencintaimu.”