Lukisan senja memantul indah di atas bentangan samudra. Sinar jingganya elok memesona, menggambarkan keanggunan yang tiada cela. Kicauan burung camar mengalun merdu, berpadu dengan deburan ombak yang berirama. Alam seakan menunjukkan keindahannya, tanpa mau mengerti dengan luka yang dirasakan insani.
Di atas batu karang yang menjorok ke tepi laut, seorang gadis sedang duduk sambil menitikkan air mata. Rambutnya meriap dan berantakan dipermainkan angin, wajahnya pula sembap tanpa olesan bedak.
Ada apa gerangan?
Ciara Maharani, selarik nama yang ia sandang sejak 18 tahun silam. Ia adalah gadis berparas ayu nan teduh. Kulitnya putih mulus, rambutnya lurus panjang nan hitam. Hidung mancung dan mata bulat menawan. Bibirnya mungil dan ranum, sangat serasi dengan giginya yang putih dan rapi. Ditambah lagi lesung pipit di kedua pipinya, membuat kadar kecantikannya kian bertambah. Bukan hanya itu saja, postur tubuhnya pun nyaris sempurna, tak beda jauh dengan bintang layar kaca.
Akan tetapi, kecantikan itu tak menjadi berkah baginya. Namun, justru mendatangkan musibah. Paras elok yang ia miliki, mengundang kebejatan lelaki durjana. Kehormatannya direnggut paksa oleh dua lelaki yang krisis moral. Mereka rela membayar orang, demi meluluskan keinginan nistanya.
Sesungguhnya, Ciara bukanlah gadis yang suka mengumbar aurat. Kendati ia tak berhijab, namun pakaiannya selalu tertutup. Hanya saja, keadaan memaksanya menjemput nahas. Usai menghadiri pesta kelulusan di sekolah, ponselnya mati dan ia tak bisa menghubungi orang tuanya. Lantas Ciara pulang bersama Adella, sahabat dekatnya.
Ciara tak pernah menduga, jika gadis yang dianggap sahabat itu ternyata menyimpan kebencian. Adella menyusun rencana busuk untuk menghancurkan masa depannya. Berhasil. Ciara tak bisa melarikan diri, kala Adella membawanya pada dua lelaki kejam di ujung gang.
"Salah sendiri kamu cantik dan pintar. Kamu selalu nomer satu, dan aku hanya menjadi bayang-bayang di belakangmu. Kamu tahu 'kan aku mencintai Reno, tapi dia sama sekali tak mau melihatku. Hanya kamu yang selalu mencuri perhatiannya. Sekarang, nikmati saja malam pertamamu bersama mereka." Adella tersenyum sinis sembari melangkah pergi meninggalkan Ciara.
"Del! Tunggu, Del! Adella!" teriak Ciara dalam cekaman rasa takut.
Ciara menutup wajahnya sambil menumpahkan tangis. Sekelebat bayangan kelam, kembali melintas dalam ingatan. Hati Ciara semakin tercabik dan teriris perih. Saat ini, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Tak ada sejengkal pun tubuh yang tak terjamah oleh mereka. Ia kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya, karena rasa iri dan dengki.
"Kenapa harus seperti ini," ratap Ciara di sela-sela isakan.
Pupus sudah mimpinya untuk menjadi Arsitek. Ia tak bisa melanjutkan pendidikan dengan keadaan yang seperti sekarang. Kendati ia belum tentu hamil, tetapi rasa trauma itu mengubahnya menjadi pribadi yang berbeda. Ia lebih suka menyendiri dan menangis dalam sunyi.
"Non, hari sudah petang. Mari pulang."
Wanita paruh baya mendekati Ciara dan menggenggam pundaknya. Pandangan wanita itu tampak sendu, seolah ikut meratapi kepiluan yang dirasakan sang majikan.
Tanpa mengucapkan sepatah kata, Ciara bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Tanpa alas kaki, jemarinya menapaki butiran pasir yang tersebar di sepanjang pesisir. Dengan air mata yang masih berderai, Ciara menatap bangunan megah yang berdiri di kawasan pantai.
Harta berlimpah, paras sempurna, dan akal pun di atas rata-rata. Namun sayang seribu kali sayang, semua itu tak menjamin kebahagiaan. Sebanyak apapun harta dan kecerdasan yang ia miliki, faktanya tak bisa membeli waktu apalagi mengubah kisah lalu.
Satu bulan yang lalu, tetap menjadi hari terkelam dalam hidupnya. Satu malam hina yang ia lalui, menghapus ribuan hari yang pernah ia lewati. Tiada arti segala kepribadian dan tingkah laku yang ia jaga, semua pupus seiring kesucian yang ternoda.
Derit pintu membuyarkan lamunan Ciara, tanpa ia sadari kaki telah membawanya kembali ke rumah.
"Makan yuk, Nak. Ada rendang kesukaanmu, Mama sendiri lho yang masak." Ratna menghampiri Ciara dan merapikan rambutnya.
"Aku tidak lapar, Ma," jawab Ciara pelan, nyaris seperti bisikan.
"Ara, kamu___"
"Aku lelah, Ma." Ciara melangkah pergi meninggalkan ibunya.
Ratna menatap kepergiannya dengan nanar. Sejak malam itu, tak pernah lagi melihat Ciara tersenyum. Hari-harinya hanya dihiasi dengan air mata dan lamunan. Kendati orang-orang yang terlibat sudah divonis hukuman seumur hidup, tetapi trauma yang Ciara alami masih jelas terpatri.
"Bi," panggi Ratna.
"Iya, Nyonya," jawab Bibi pelayan.
"Tolong siapkan di nampan, Bi. Saya akan mencoba membujuknya," kata Ratna.
"Baik, Nyonya." Bibi pelayan melangkah menuju dapur.
Tak lama kemudian, Bibi pelayan datang sambil membawa nampan. Lantas ia menyerahkannya pada sang majikan. Ratna menerimanya dan membawa ke kamar Ciara.
Tanpa mengetuk pintu, Ratna masuk ke kamar anaknya. Netranya langsung disuguhi pemandangan yang cukup miris.
Ciara sedang duduk di dekat jendela, matanya menatap keluar dengan datar. Buliran bening terus berjatuhan dari sudutnya, mengalir dan membasahi bajunya yang kusut.
"Nak, makan dulu, ya." Ratna masuk dan meletakkan nampannya di atas meja.
Ciara masih tak membuka suara, hanya jemarinya yang menyeka air mata. Ia mengalihkan pandangan, ketika Ratna duduk di sebelahnya.
"Ma," bisik Ciara.
"Kenapa, Nak?" Ratna merapikan rambut anaknya yang jauh dari kata rapi.
"Seharusnya kemarin tamuku datang, tapi___" Ciara menggantungkan kalimatnya.
Walaupun jarang makan, tapi Ciara tak henti-hentinya mengonsumsi minuman bersoda. Ia berharap kejadian malam itu tak membuahkan hasil apapun. Namun, sekarang ia mulai takut, karena tamunya tak kunjung datang.
Ratna mengerjap cepat, sesungguhnya ia pun mengkhawatirkan hal yang sama. Bagaimana jika nanti Ciara hamil, sedangkan anaknya itu masih remaja dan belum menikah.
"Aku takut, Ma," bisik Ciara.
"Tidak usah takut, ya, Sayang." Ratna merangkul Ciara. "Kamu tidak akan hamil," sambungnya.
Ciara tak menjawab, namun ia membalas rangkulan ibunya. Kendati hatinya masih bimbang, tapi ia berusaha berpikir optimis.
"Sekarang makan, ya," bisik Ratna.
"Aku akan makan, tapi ... tinggalkan aku sendiri ya, Ma." Ciara melepaskan pelukannya.
"Baiklah. Sekarang Mama keluar, jangan lupa dihabiskan," kata Ratna dan Ciara menanggapinya dengan anggukan.
Suasana kembali sunyi setelah Ratna pergi. Ciara mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan kasar. Ia beranjak dan melangkah menuju kursi, di depan meja.
Jemari lentiknya meraih bingkai foto yang diletakkan di sana. Dalam gambar itu terpampang jelas sketsa dirinya dan Rifky Antoni. Mereka duduk bersama di atas hamparan pasir. Keduanya saling merangkul dan mengukir senyum.
Rifky adalah kakak kelasnya, ia pula satu-satunya lelaki yang bertahta di ruang hati. Dua tahun yang lalu, Rifky pergi ke London dan menempa pendidikan di sana. Kendati jarak jauh membentang, namun tak mengurangi kadar rasa yang telah tertuang. Hubungan mereka tetap dekat, dan nyaris tak pernah berselisih paham.
Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal. Sejak bulan lalu, Rifky menghilang tanpa kabar. Nomornya tidak bisa dihubungi dan akun sosial medianya pun tidak pernah aktif. Entah apa yang terjadi padanya.
"Kamu ke mana, Kak? Aku terluka, aku ingin berbagi rasa ini dengan kamu," ucap Ciara, tanpa mengalihkan pandangan.
Detik selanjutnya, ia dekap foto itu dengan erat. Lantas memejamkan mata sambil membayangkan sosok lelaki yang kerap kali menari dalam ruang rindu.