Bab 56
Tidak Menunda
Tiga hari setelah kunjungannya ke dokter umum, Gladys memutuskan untuk menemui dokter spesialis yang menjadi rekomendasi pengobatan lanjutan dari dokter umum untuk dirinya.
Sore itu seusai jam kantor Gladys mengganti baju seragam bagian atasnya dengan kemeja lengan pendek berbahan lace berwarna putih sebelum ia meninggalkan kantor. Setelah itu barulah ia keluar dari bangunan kantor dan pergi dengan menumpang angkot.
Ia menuju ke alamat yang tertera di kartu nama yang diberikan oleh dokter umum kepadanya. Pada kartu nama itu tertulis bahwa dokter tersebut adalah dokter spesialis bedah onkologi. Gladys tiba di apotek tempat dokter tersebut berpraktek setelah menempuh perjalanan dengan angkot sekitar satu jam. Tempat prakteknya memang berjarak cukup jauh dari kantor Gladys.
Apotek itu tampak sunyi, belum ada pasien yang mengantri. Dengan segera Gladys dipersilakan masuk ke ruang pemeriksaan.
Papan nama di meja menerangkan bahwa dokter tersebut bernama Bayu Ari Wibowo dengan berbagai gelar yang terangkai di belakang namanya. Dari penampilannya terlihat bahwa umurnya kira-kira enam puluh tahunan. Gladys duduk menghadap dokter tersebut dan langsung menyerahkan surat rujukan beserta hasil USG yang dibawanya kepada dokter itu.
Dokter Bayu membaca surat rujukan dan hasil USG itu.
“Kita harus segera melakukan biopsi.” Ujar dokter Bayu. “Apa ibu sudah siap?” Tanya dokter kemudian.
“Berapa persen peluang yang saya punya dok?” Tanya Gladys.
“Sebelum melakukan biopsi, bisa saya katakan peluang anda sama besar 50:50, tetapi setelah biopsi kemungkinan peluangnya akan berubah.”
“Saya mengerti.” Jawab Gladys.
Dokter mengeluarkan beberapa lembar dokumen dari dalam laci meja kerjanya dan menyerahkannya kepada Gladys.
“Berkas ini tolong diisi dulu ya.” Suruh dokter kepada Gladys.
Gladys mengambil dokumen-dokumen itu dan mengisinya hingga selesai. Dokumen itu berisi data diri serta persetujuan dari pasien untuk melakukan prosedur biopsi. Setelah lima menit, Gladys menyerahkan dokumen itu kembali kepada dokter.
Dokter mulai menjelaskan bahwa hasil biopsi-lah yang nantinya akan menentukan jenis penyakit perawatan seperti apa yang Gladys butuhkan. Ia meminta Gladys untuk bersiap akan segala kemungkinan, termasuk untuk yang terburuk.
Perkataan dokter tersebut sedikit memukul mental Gladys. Ia masih tetap mengharapkan yang terbaik meskipun pada saat yang sama ia yakin ada yang tidak beres dengan tubuhnya.
Setelah selesai memeriksa dokumen yang diisi oleh Gladys. Dokter kembali menjelaskan tentang prosedur biopsi dan langkah perawatan pertama setelah hasil biopsi diperoleh. Gladys mendengarkan dengan saksama dan mengangguk.
Merasa pasien telah memahami semua penjelasannya, dokter pun segera beranjak dari kursinya untuk memulai prosedur tersebut. Ia mencuci tangannya terlebih dahulu kemudian menyiapkan peralatan untuk memulai prosedur biopsi.
“Akan segera kita mulai ya, bu!” Katanya.
Dokter lantas mengenakan sarung tangan karet untuk medis.
Gladys mulai membuka kancing kemejanya.
“Prosedur biopsi ini mungkin akan sedikit memberi anda rasa tidak nyaman sehingga saya akan memberi anda bius lokal dalam dosis kecil untuk mengurangi ketidaknyamanannya.” Kata dokter.
Seorang perawat kemudian masuk untuk membantu dokter. Perawat itu membersihkan area yang akan dibiopsi dengan menggunakan kassa steril dan cairan alkohol. Setelah perawat selesai melakukan tugasnya, dokter pun mendekat dan bersiap untuk menyuntikkan obat bius.
“Tarik napas…” dokter memberi aba-aba.
Gladys pun melakukan sesuai perintah dokter. Selanjutnya dengan cepat dokter menyuntikkan obat bius.
“Embuskan…” katanya lagi.
“Biusnya sudah ya, sebentar lagi kita akan melakukan biopsi-nya ya!”
Dokter lantas membuang jarum yang tadi ia gunakan ke tempat sampah.
Dokter berbalik dan mengambil sebuah nier bekken. Di atasnya terdapat sebuah peralatan biopsi yang masih berada dalam plastik yang tersegel.
“Meskipun sudah diberikan obat bius, ibu mungkin masih akan merasakan sakit karena jarum yang akan kita gunakan ini berukuran sedikit lebih besar dari jarum yang saya gunakan untuk menyuntikkan obat bius tadi. Tolong ditahan sedikit ya!”
Gladys mengangguk. Jantungnya berdebar kencang hingga dokter itu mungkin bisa mendengarnya.
“Tidak usah takut. Ibu akan baik-baik saja kok.” Dokter berusaha untuk menenangkan hati Gladys.
“Mungkin akan lebih baik jika ibu berbaring.”
Perawat lantas membantu Gladys untuk berbaring di ranjang dan mengatur posisi tangan kanan Gladys agar berada di samping kepalanya, seperti orang yang sedang mengangkat tangan ke atas.
Seperti biasa, Gladys hanya bisa mengangguk.
Dokter pun memulai prosedur biopsi dengan membuka plastik pembungkus dan segel dari alat yang akan ia gunakan.
Gladys mendapati bahwa jarum yang akan digunakan benar-benar berbeda dengan yang biasa ia lihat selama ini dalam hidupnya. Namun Gladys berusaha untuk tetap bersikap tenang.
“Ini sudah mau dimulai ya, bu.” Seperti sebelumnya, saat akan memulai dokter memberi aba-aba.
“Tarik napas…” kata dokter.
Jarum pun menyentuh kulit Gladys. Ia tidak merasakan apapun karena masih kebas sebagai efek dari obat bius yang dokter berikan sebelumnya.
Namun ketika jarum tersebut menusuk lebih dalam dan melakukan tugasnya untuk mengambil jaringan yang akan diperiksa, maka Gladys pun mulai merasakan nyerinya.
Ia menahan napas sekuat tenaga untuk mengurangi rasa sakit. Ia bahkan sampai mengepalkan tangannya untuk meredam sakit yang memberinya rasa tidak nyaman tersebut. Akan tetapi rasa sakit yang ia rasakan benar-benar berbeda, seperti gabungan antara rasa nyeri, rasa tidak nyaman karena kesemutan serta ketakutan.
“Sudah selesai ya, bu.”
Perawat tampak membantu membersihkan dan memasangkan plester luka berukuran sangat kecil di tempat yang tadi ditusuk dengan jarum.
“Jika ibu masih merasa tidak nyaman, maka ibu dapat berbaring sebentar terlebih dahulu.” Saran dokter.
Gladys pun menuruti saran dokter tersebut. Ia memilih untuk berbaring sekitar lima menit. Setelah itu barulah Gladys merapikan pakaiannya kembali.
Ia turun dari ranjang dan duduk di hadapan dokter lagi untuk mendengar penjelasan dari dokter.
“Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, peluang ibu adalah 50:50. Lima puluh persen tumor tersebut jinak dan setelah prosedur pembedahan maka semua selesai sementara lima puluh persennya lagi adalah tumor tersebut adalah sel kanker, yang selain dari prosedur pembedahan masih pula membutuhkan beberapa perawatan lanjutan yang lain.”
Gladys mendengarkan dengan serius. Ia tidak menjawab apapun, hanya mengangguk dengan ekspresi wajah tegang tanpa senyum sedikit pun.
“Hasil pemeriksaannya akan keluar dalam dua atau tiga hari. Saya akan menghubungi ibu lewat telepon jika hasilnya sudah keluar. Untuk saat ini, saya hanya bisa menyarankan agar ibu lebih banyak beristirahat, jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang menguras tenaga seperti mengangkat atau menarik benda berat.”
Dokter menuliskan sesuatu di blangko bertuliskan resep di bagian atasnya.
“Saya meresepkan obat anti nyeri dengan dosis yang lebih besar jika nanti ibu mulai merasakan sakit yang lebih berat dari sebelumnya dan multivitamin yang dapat dikonsumsi setiap hari. Obat anti nyeri hanya diminum bila perlu saja ya!” Dokter menyerahkan resep yang nanti akan ditebus di apotek kepada Gladys.
Setelah menyelesaikan pembayaran biaya konsultasi dokter dan prosedur biopsi di meja petugas admin, Gladys selanjutnya pergi ke apotek untuk menebus resepnya. Sekitar sepuluh menit kemudian semua urusannya selesai dan ia menempuh perjalanan pulang dengan angkot lagi.
Tidak terasa ia berada di dalam ruangan dokter itu selama hampir satu jam. Gladys tiba di rumah ketika jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam.
Ia mendapati Dina dan Oscar sedang duduk menonton televisi bersama.
“Selamat malam.” Ucap Gladys begitu memasuki rumah.
“Mama…” panggil Dina.
“Selama malam Ma.” Kata Oscar.
“Pulangnya malam sekali, sudah ganti baju pula, mama dari mana?” Tanya Dina, penasaran.
“Mama mampir ke tempat teman yang merayakan ulang tahun seusai jam kantor.” Gladys kembali berbohong setiap kali ia pulang terlambat karena harus mengunjungi dokter.
Alasan tersebut telah ia pikirkan ketika ia berada dalam perjalanan pulang.
“Baguslah jika mama mulai membuka diri untuk bersosialisasi lagi.” Jawab Oscar. “Selama ini mama terlalu menutup diri.”
“Iya Os, lagipula ini rekan seruangan mama. Jika tidak pergi kan tidak enak.” Balas Gladys dengan meyakinkan.
Gladys lantas meletakkan tasnya di meja makan dan segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi dan berpakaian, ia langsung naik ke ranjang dan tidur karena ia merasa begitu letih setelah semua aktivitas yang ia lakukan sepanjang hari itu.