Karen Pergi

2133 Words
Masa pacaran yang indah selama dua minggu bagi Oscar dan Karen telah berakhir. Hari ini adalah hari keberangkatan Karen ke Jakarta untuk memulai kuliahnya. Ia akan berangkat dengan pesawat pada pukul 10.00 pagi. Ia sudah berada di bandara bersama kedua orang tuanya sejak pukul 08.30. Oscar menyusul ke bandara dengan naik ojek agar bisa tiba lebih cepat dibandingkan dengan naik angkot. Oscar telah diberitahu oleh Karen melalui pesan singkat bahwa mereka berada di salah satu café di bagian dalam bandara. Oscar tiba di sana sekitar pukul sembilan lebih beberapa menit. Oscar bergegas mencari café yang disebutkan oleh Karen dalam pesan singkatnya tadi. Untunglah Bandara Sam Ratulangi di Manado tidak terlalu besar sehingga tidak sulit bagi Oscar untuk menemukan di mana Karen dan orang tuanya menunggu waktu keberangkatan pesawat. Karen berlari keluar dari café begitu melihat Oscar berdiri di luar pintu café itu. “Syukurlah kamu tiba tepat waktu, Os…” kata Karen seraya menggandeng tangan Oscar. Oscar menjadi salah tingkah karena ia tahu di dalam café itu ada orang tua Karen sementara ia tidak tahu yang mana orangnya. Karen mengajak Oscar masuk dan bergabung bersama kedua orang tuanya yang duduk di meja dengan tulisan nomor empat. “Selamat pagi, Pak, Bu.” Sapa Oscar dengan canggung. Kedua orang tua Karen menatap Oscar dari atas ke bawah tanpa ekspresi. Oscar yang kala itu hanya mengenakan celana blue jeans pendek yang sudah usang dan kaos oblong berwarna putih polos serta sandal kulit yang sudah terlihat sangat jelek pun menjadi tidak percaya diri. Ia tidak mengharapkan sebuah sambutan yang terlalu hangat dari orang tua Karen untuk dirinya tetapi setidaknya bukan sambutan dingin seperti itu yang dapat mereka berikan kepadanya. “Selamat pagi.” Balas ayah Karen. “Silakan duduk.” Oscar mengambil tempat duduk yang posisinya bersebelahan dengan Karen. “Jadi ini pacarmu?” Tanya ibu kepada Karen dengan wajah datar. Karen menganggukan kepalanya sambil tersenyum simpul. “Coba perkenalkan dirimu kepada kami.” Suruh ayah Karen kepada Oscar. Oscar merasa tenggorokannya seperti tercekat. Ia menyangka bahwa Karen telah menceritakan tentang dirinya kepada kedua orang tuanya tetapi ternyata ia salah. Oscar memandang wajah ayah Karen yang tampak serius. Ayah Karen berwajah sangat oriental dengan kulit yang sangat putih sementara ibu Karen berwajah cantik khas wanita Manado dengan kulit yang tidak begitu putih. Kini Oscar tahu bahwa wajah oriental dan kulit putih Karen adalah turunan dari ayahnya. “Nama saya Oscar, Pak. Saya sebelumnya adalah teman sekelas Karen.” Kata Oscar dengan singkat sambil menyembunyikan kegugupannya. “Dulu teman sekelas sekarang pacar ya?” Tanya ayah Karen disertai sedikit senyuman yang tersungging di bibirnya. Oscar menganggukan kepalanya dengan malu-malu. Melihat senyum kecil yang ditunjukkan oleh ayah Karen membuat Oscar bertanya-tanya dalam hatinya tentang apa maksud dari pertanyaan tersebut, apakah mereka ingin memastikan status hubungan anaknya ataukah mereka sedang menyindir Oscar setelah sebelumnya mereka memandang Oscar dengan tidak ramah saat Oscar baru datang. “Orang tua Oscar kerja apa?” Kini giliran ibu Karen yang bertanya. Oscar sedikit tergelitik mendengar pertanyaan dari ibu Karen itu. Ia merasa seperti sedang diinterogasi. “Ayah saya seorang anggota TNI dan ibu saya PNS.” Jawab Oscar. “Anggota TNI pangkatnya apa?” Ibu Karen spontan bertanya. “Mama! Apa-apaan sih?” Protes Karen sambil melotot ke arah ibunya. “Memangnya salah mama bertanya soal itu?” Ibunya balik protes. “Sudah ya… Tidak hari ini dan tidak di tempat ini!” Tegur ayah Karen kepada mereka berdua yang sepertinya sudah akan terlibat selisih pendapat. Ayah Karen tersenyum dan menunjukkan ekspresi seperti tidak enak hati kepada Oscar. “Oh ya, jadi kamu berasal dari keluarga abdi negara rupanya.” Balas ayah Karen. “Itu bagus.” Oscar dapat melihat bahwa ayah Karen tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia hanya berbasa-basi untuk menutupi kecanggungan yang muncul di tengah-tengah mereka akibat pertanyaan istrinya dan reaksi protes Karen. “Lalu Oscar sekarang kuliah di mana?” Tanya ibu Karen, mencoba untuk kembali ke dalam pembicaraan. “Saya tidak kuliah Bu, saya sedang melakukan persiapan untuk mengikuti seleksi menjadi anggota POLRI.” Jawaban Oscar membuat kedua orang tua Karen saling berpandangan penuh arti. “Dan jika tidak lolos seleksinya?” Tanya ayah Karen. “Saya akan mencobanya lagi tahun depan.” Jawab Oscar dengan polos. “Jika tidak lolos, mungkin akan lebih baik kalau kamu kuliah saja dulu. Belajar di perguruan tinggi dan jika sudah selesai kamu bisa kembali untuk mendaftar seleksi anggota POLRI. Karirmu di kepolisian bisa lebih cepat meningkat.” Usul ayah Karen. Oscar tersenyum mendengar usul dari ayah Karen itu. “Sejujurnya saya tidak ingin memberatkan orang tua saya, Pak. Saya masih punya adik yang sekarang berada di bangku SMA. Sementara penghasilan orang tua saya tidak begitu besar. Jika saya bekerja, saya mungkin bisa sedikit membantu perekonomian keluarga saya.” Ayah Karen mengangguk dan tersenyum. “Kami bisa mengerti maksudmu. Kamu benar-benar tipe orang yang memperhatikan keluarga ya!” Mungkin hanya ayah Karen yang setuju dengan gagasan yang dikemukakan oleh Oscar, sebab di wajah ibu Karen terlihat tanda-tanda ketidaksukaannya kepada Oscar, entah karena jawaban Oscar atau karena latar belakang keluarga Oscar. “Yuk, sepertinya sudah waktunya kita masuk ke pesawat.” Ajak ibu Karen. Ayah Karen melihat ke arah jam tangannya kemudian menjawab, “Lima menit lagi ya, sekarang pasti para penumpang sedang berdesak-desakan di garbarata.” Ibu Karen terlihat kesal dengan jawaban dari suaminya itu namun ia berusaha untuk menyembunyikannya. “Jadi apa kalian sudah punya rencana bagaimana kalian akan menjalani hubungan berbeda kota nanti?” Tanya ayah Karen lagi. Oscar mengeluarkan ponsel pink yang dipinjamkan oleh Karen kepadanya dan menunjukkannya kepada kedua orang tua Karen. “Karen meminjamkan ponselnya kepada saya. Saling mengirimkan pesan singkat mungkin adalah salah satu yang bisa kami lakukan setiap hari.” Ibu Karen mengernyitkan dahi ketika melihat ponsel Karen kini berada di tangan Oscar. Ia lantas menatap sinis ke arah Karen namun Karen yang telah menangkap isyarat itu segera memalingkan wajahnya. Karen tahu dengan benar sifat ibunya. Ibunya bisa memarahinya saat itu dan di tempat itu juga tanpa memedulikan siapa yang ada di depan mereka atau di mana mereka kini berada. “Itu bagus jika kalian tetap bisa menjaga komunikasi ketika sudah tinggal berbeda kota. Soal ponsel itu tidak masalah, lagipula Karen punya beberapa ponsel kok.” Balas ayah Karen. Pandangan Oscar terhadap ayah Karen kini berubah. Ia menyadari bahwa ayah Karen adalah orang yang cukup ramah meski ekspresi wajahnya kadang bisa menyebabkan orang salah memahaminya, jauh berbeda dengan ibu Karen, karakter dan pembawaannya tidak ada bedanya. “Yuk ah, sudah mau terlambat ini!” Ibu Karen mendesak suami dan anaknya agar segera beranjak dari café itu dan masuk ke pesawat. “Ya sudah, ayo…” Ayah Karen akhirnya mengiyakan. Mereka berempat berjalan keluar dari café itu. Oscar mengantar mereka sampai ke pintu keberangkatan. Ia lalu menyalami ayah dan ibu Karen dan tidak disangka-sangka Karen justru menyambar Oscar secepat kilat dan memeluknya. Oscar sangat terkejut. Oscar membalas pelukan itu dengan satu tangan tangan melingkar di pinggang Karen sementara tangan yang satunya mengusap punggung Karen beberapa kali. Begitu Karen melepaskan pelukannya, Oscar melihat bahwa ayah Karen tertawa sementara ibunya memasang ekspresi marah yang tertahan. “Oscar, kami masuk dulu ya. Kami juga akan ikut mengantar Karen sampai mungkin minggu pertamanya di universitas. Jadi kamu jangan khawatir, dia akan baik-baik saja di sana. Semoga berhasil dengan seleksi anggota POLRI yang akan kamu ikuti itu ya.” Ucap ayah Karen. “Terima kasih Pak, Bu. Semoga perjalanannya menyenangkan.” Balas Oscar. “Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu kepada Karen?” Tanya ayah Karen kepada Oscar dengan nada meledek. Oscar menjadi salah tingkah. Ia menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu. “Karen, semoga kuliahmu berjalan lancar ya, kamu bisa menjadi dokter yang sukses dan membuat kami semua bangga. Jangan cemaskan aku di sini, aku akan baik-baik saja. Yang terpenting adalah kamu fokus pada pendidikanmu dan jangan teralihkan oleh hal lain dulu. Kita bisa mengobrol lewat telepon di sore atau malam hari ketika semua kelasmu sudah selesai. Aku tidak ingin kamu teralihkan termasuk olehku. Aku harap kita bisa bertemu lagi suatu hari nanti.” Mendengar perkataan Oscar itu air mata Karen mendadak jatuh. Ia sebenarnya tidak siap untuk menjalani hubungan jarak jauh seperti itu, tetapi keinginan sang ibu berada di atas segalanya. Karen bisa saja mengambil sekolah kedokteran di kota Manado jika ibunya mengizinkan, sayangnya ibunya menginginkan ia mengambil sekolah tersebut di Jakarta. “Aku pergi ya, Os…” kata Karen dengan berurai air mata. Oscar menganggukan kepalanya, “Jangan menangis ya, kita masih akan bertemu lagi nanti, kan?” Karen mengangguk. Ibunya menarik pelan tangan Karen dan membawanya masuk melalui pintu keberangkatan. Karen masih menoleh ke arah Oscar yang terus melambai kepadanya. Dari tempatnya berdiri, Oscar dapat melihat kalau Karen kini bersandar di pundak ayahnya. Ia mungkin masih menangis. Tangan ayah merangkul pundak Karen. Oscar mengembuskan napas panjang. Ia pun sebenarnya tidak siap untuk menghadapi perpisahan seperti ini. Tetap menjalani hubungan namun berada di kota yang berbeda, Oscar benar-benar tidak tahu bagaimana nanti ia bisa bersepakat dengan keadaan seperti itu. Ini adalah kali pertama Oscar berpacaran dan pada pengalaman pertamanya ia sudah disuguhi tantangan sedemikian rupa perihal jarak di antara mereka dan sikap ibu Karen yang begitu jelas terlihat kalau ia tidak menyukai Oscar. Oscar tidak tahu kapan ia akan bertemu dengan Karen lagi namun melihat air mata gadis itu saja, Oscar sudah langsung merindukannya padahal gadis itu belum juga pergi. Oscar berbalik dan hendak meninggalkan bandara. Karen sudah pergi dan tidak ada lagi yang harus ia lakukan di tempat itu. “Oscar…” Mendengar suara teriakan yang memanggil namanya, Oscar pun langsung menoleh. Ternyata itu adalah Karen yang berlari keluar melalui pintu keberangkatan yang sebenarnya hanya boleh digunakan untuk masuk saja, bukan untuk keluar. Di belakang Karen tampak ayahnya yang juga berlari mengejar Karen. Dengan napas yang tidak beraturan, Karen mencoba untuk berbicara kepada Oscar. “Os, aku…” katanya. “Kamu kenapa keluar lagi? Nanti ketinggalan pesawat lho!” “Kamu mau berjanji satu hal kepadaku?” Tanya Karen. “Hal apa itu?” “Kamu harus menikahi aku jika aku kembali.” Ucap Karen dengan mantap. “Hah?” Mata Oscar sampai melotot mendengar permintaan Karen itu. Ayah Karen yang sudah berada di tempat itu juga ikut melotot mendengar perkataan anaknya. “Karen, kamu ini apa-apaan sih?” protes Oscar. “Iya nih, kenapa malah jadi begini sih?” ayah Karen menimpali. “Kalau mamamu mendengar ini pasti kamu sudah ditampar, Ren.” "Ayo berjanjilah…” Rengek Karen. “Kalau kamu tidak berjanji, nanti aku tidak kembali ke dalam lho!” sekarang Karen malah mengancam. Ayah mulai menarik tangan Karen untuk kembali ke dalam. “Oscar, jangan hiraukan dia. Kamu pergilah…” kata ayah Karen. “Sebentar Pa, aku mau mendengar jawaban Oscar.” Protes Karen sembari melepaskan tangan ayahnya dari lengannya. “Karen dengar,” Oscar memulai. “Pernikahan tidak sesederhana yang kamu bayangkan. Jika kamu menikah dengan orang yang tepat maka sesulit apapun hidupmu bersamanya kamu pasti tidak akan menyesalinya, namun sebaliknya bila kamu menikah dengan orang yang tidak tepat maka kamu akan merasa seperti berada di neraka dan menyesali pernikahan itu setiap hari.” “Kenapa kamu berkata seperti itu?” Tanya Karen dengan bingung. “Karena mamaku sudah melaluinya dan itu benar-benar sakit. Tidak hanya untuk mama, tetapi juga untuk aku dan Dina.” Jawab Oscar. “Aku ingin kamu memprioritaskan dirimu dulu. Suatu hari nanti, saat kamu telah menjadi seorang dokter dan aku menjadi seorang polisi, kita akan bertemu untuk membahas hal ini lagi.” Oscar melanjutkan. Ayah Karen menganggukan kepalanya mendengar jawaban dari Oscar itu. Ayah Karen akhirnya berhasil membawa Karen masuk kembali ke dalam. Wajah Karen menunjukkan ekspresi kebingungan dan seperti tidak terima dengan apa yang dikatakan Oscar kepadanya. Oscar buru-buru pergi meninggalkan bandara untuk berjaga-jaga kalau Karen mendadak keluar lagi. Jika ia keluar lagi dan tidak mendapati Oscar di sana maka akan lebih mudah bagi ayahnya untuk membawa Karen masuk kembali ke dalam. Sepanjang perjalanan pulangnya dengan angkot, Oscar merenungkan tindakan Karen tadi. Sejumlah pertanyaan muncul di benaknya. “Apa sebenarnya yang ada di otak anak itu?” “Apa ia pikir pernikahan itu hanya sesederhana orang berpacaran, yang ketika sudah tidak saling cocok bisa langsung mengatakan putus?” “Baru berpacaran dua minggu dan sudah berpikir tentang pernikahan, apa semua anak perempuan memang begitu?” “Bahkan jika aku telah menjadi seorang polisi, aku tidak yakin apakah ibunya mau merestuiku untuk menjadi menantunya….” “Aku akan berada dalam situasi yang sulit jika kelak menjadi bagian dari keluarga itu, aku sangat yakin soal itu!” Angkot yang Oscar tumpangi kini berada di terminal. Ia harus turun untuk mengganti dengan angkot lain yang menuju ke rumahnya. Oscar buru-buru mengganti angkot karena ia ingin segera tiba di rumah. Perutnya keroncongan karena keluar rumah pagi-pagi dan belum sempat sarapan. Ia hanya ingin segera tiba di rumah dan memakan masakan ibunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD