Bab 54
Mengandaskan Semua Rencana
Beberapa hari setelah acara piknik di pantai itu, Helen, Dina dan Kevin masih memiliki rencana lain yaitu untuk pergi mendaki gunung. Tentu tidak benar-benar mendaki, melainkan naik dengan mobil hingga ke pos tertentu yang bisa dijangkau dengan mobil kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki.
Malam hari sebelum tanggal yang ditetapkan untuk mendaki gunung, Dina menelepon Helen untuk memastikan dan Helen mengkonfirmasi kedatangannya nanti. Setelah menelepon Helen, Dina juga menelepon Kevin. Dina mencoba sekali, tetapi tidak terhubung, kedua dan ketiga kali juga masih tidak terhubung.
Dina lantas menelepon Helen dan mengatakan bahwa Kevin tidak bisa dihubungi. Helen pun berusaha menghubungi Kevin, akan tetapi hasilnya sama saja. Tidak terhubung kemungkinan karena ponsel Kevin berada dalam keadaan mati.
“Aku paling nggak suka dengan keadaan seperti ini, sudah janjian tapi tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Gimana sih?” Omel Helen dari seberang telepon.
“Setelah pulang dari pantai minggu lalu, kamu ngobrol sama dia nggak sih?” Tanya Dina.
“Ada, satu kali.”
“Apa katanya? Apa dia protes?”
“Dia tidak menyatakan protes secara gamblang soal kehadiran Jeff di tempat itu, dia hanya mengatakan lain kali ia tidak ingin berlibur dalam situasi tidak enak seperti itu. Aku sih tidak menjawab apa-apa karena aku berencana mengajak Jeff untuk ikut kali ini.”
“Dia mungkin sudah curiga kamu akan mengajak Jeff makanya dia menghindari kita sekarang.”
“Dasar Kevin, sangat kekanak-kanakan!” Oceh Helen.
“Bukan soal kekanan-kanakan, ini soal cinta segitiga, mau yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa tetap saja akan terluka kalau terjebak di dalamnya!” Ujar Dina.
“Mau gimana lagi kan, kejadiannya sudah lewat juga kan?.” Jawab Helen, lirih.
“Ya sudah, kita berdua tetap berusaha untuk menghubungi dia malam ini, nanti kalau masih tidak bisa juga besok pagi kita datangi rumahnya!” Putus Dina.
Malam itu Dina menelepon Kevin beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk tidur. Sementara Helen, ia justru tidak tidur semalaman karena berusaha menghubungi Kevin.
Pagi harinya, dengan mengemudikan mobil milik ayahnya, meskipun tidak memiliki SIM, Helen nekat menjemput Dina untuk bersama-sama dengan Dina pergi mencari Kevin.
“Len, kamu yakin bisa mengemudi?” Tanya Dina ketika melihat Helen datang menjemputnya dengan mengemudikan sebuah mobil MPV seven seat berwarna hitam.
“Mari kita coba saja!” Ujar Helen dengan wajah menunjukkan ekspresi ketidakyakinan.
Dina pun masuk ke mobil dan segera mengenakan sabuk pengaman begitu ia duduk.
“Kamu sangat tidak yakin padaku, tenang saja, aku bisa kok ini mobil matic, hanya perlu gas dan rem saja!” Kata Helen untuk menenangkan Dina.
“Aku hanya tidak punya SIM saja!” Ujar Helen kemudian.
Dina menatap Helen dengan tatapan penuh curiga lagi.
“Feeling-ku mengatakan kita akan berada dalam masalah.” Ledek Dina.
Helen tersenyum kecut. “Nanti kita minta bantuan Oscar jika tertangkap.” Balas Helen.
Helen menjalankan mobilnya dan segera melaju menuju ke rumah Kevin.
“Kamu tampak sangat hafal jalan menuju ke rumah Kevin.” Sindir Dina.
“Oh please, aku tidak harus menjelaskannya lagi kan Din?” Balas Helen.
“Terlalu sering kemari ya?” Sindir Dina lagi.
“Kita tidak akan pernah selesai membahas ini!” Bantah Helen dengan nada marah.
“Setelah mendengar semua curahan hati Jeff, apa kamu masih berniat untuk menduakannya?” Tanya Dina dengan wajah serius.
Helen menggeleng, “Aku sudah menetapkan hatiku, aku juga sudah mengatakannya kepada Kevin beberapa hari yang lalu.”
Tiba-tiba Helen menginjak rem secara mendadak. Ia bahkan sampai diklakson panjang oleh mobil di belakangnya karena melakukan pengereman mendadak dan hampir menyebabkan terjadinya tabrakan.
“Len, hati-hati dong!” Ujar Dina mengingatkan.
“Sekarang aku mengerti, Din.” Jawab Helen sambil menjalankan kembali mobilnya dengan pelan di lajur kiri.
“Apa yang kamu mengerti?” Tanya Dina.
“Aku mengerti Kevin sengaja menghindariku karena hal tersebut.”
“Bagaimana denganku?”
“Tentu saja Kevin marah juga kepadamu, kamu kan yang lebih dulu membawa Jeff bergabung dalam piknik kita.”
“Jadi menurutmu dia sengaja mematikan ponsel untuk menghindari kita berdua sekaligus?”
“Aku rasa begitu!” Jawab Helen sambil berbelok masuk ke area perumahan elite tempat Kevin tinggal.
Dina melihat ke sekelilingnya dan begitu terkagum-kagum dengan keadaan di dalam perumahan itu. Lingkungannya begitu asri dengan rumah-rumah besar yang menjulang tinggi bagai istana.
“Kevin, tinggal di tempat seperti ini?”
“Ya begitulah.”
Dina kembali menatap pemandangan sekitarnya dari balik kaca jendela mobil Helen.
“Len, aku mau tanya sesuatu.”
“Apa lagi kali ini?” Helen melirik dengan tatapan penuh curiga kepada Dina.
“Apa kamu sudah tidur dengan Kevin?”
“Haaaahhh?” Teriak Helen. “Apa maksudmu?”
“Aku kan hanya bertanya, nggak usah heboh gitu dong!” Balas Dina.
“Pertanyaan-pertanyaan kamu benar-benar membuat otot di jantungku tegang sepanjang pagi ini.”
Dina tertawa, “Ya maaf, tapi bisa langsung tidak dijawab saja?”
“Ini orang bener-bener ya, sudah tanyanya mendadak, pertanyaannya nggak pakai basa-basi, sekarang mendesak minta dijawab pula!”
“Aku menunggu jawabanmu!” Balas Dina, tak mau kalah.
“Aku tidak pernah melakukan itu dengan Kevin. Kami memang bermesraan tapi kami tidak sampai ke situ. Kami masih bisa mengendalikan diri sejauh ini. Sekian jawaban dariku. Sudah puas sekarang?”
Dina tidak menjawab namun entah mengapa ia seperti meragukan jawaban Helen.
Mereka akhirnya tiba di depan rumah Kevin. Rumah berwarna putih dengan banyak jendela kaca dan balkon itu tampak sunyi. Helen turun dari mobilnya dengan diikuti oleh Dina dari belakang.
Helen membunyikan bel pintu beberapa kali hingga asisten rumah tangga (ART) datang membukakan pintu.
“Di mana Kevin?” Tanya Helen kepada ART perempuan yang berusia sekitar lima puluh tahunan itu. ART itu mengenal Helen karena Helen memang sudah beberapa kali datang ke sana.
“Lho, bukannya non Helen sudah tahu kalau si koko mau liburan ke Singapura?” ART tersebut balas bertanya. Koko adalah panggilan para ART di rumah tersebut untuk Kevin.
“Kevin ke Singapura?” Tanya Helen dengan terkejut.
“Iya, si koko berangkat kemarin jam satu siang. Katanya sekalian janjian mau bertemu mamanya juga di sana. Saya pikir koko pergi sama non Helen.”
“Saya malah tidak tahu kalau dia mau ke Singapura, mbak.” Balas Helen.
“Berapa hari dia berlibur di sana?” Tanya Dina.
“Katanya sih sekitar dua minggu. Di Singapura seminggu, lalu di Bali seminggu.”
“Begitu ya…” jawab Helen dengan lesu.
“Ya sudah, kami pergi dulu ya mbak.” Helen berpamitan.
“Iya. Hati-hati di jalan ya non!”
Helen dan Dina kembali ke mobil. Helen tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya karena mengetahui Kevin pergi berlibur tanpa berpamitan kepada dirinya dan Dina.
“Bisa-bisanya anak itu pergi tanpa pamit kepada kita!” Omel Helen.
“Dia marah padamu!” Balas Dina.
“Aku tahu itu.” Ucap Helen dengan wajah sedih.
“Jadi semua rencana kita batal dong ya?” Ujar Dina dengan tidak bersemangat.
“Aku coba tanya Jeff saja jika dia bisa pergi bersama kita.”
“Tapi ini hari kerja Len, aku yakin Jeff pasti tidak bisa.” Tebak Dina.
“Aku akan mencobanya, siapa tahu dia bisa!” Helen berkeras.
“Tidak usah Len, kan tidak harus hari ini pergi mendaki gunungnya. Kita bisa lakukan nanti di akhir pekan.” Cegah Dina.
Helen tidak mendengarkan Dina. Ia tetap mengambil ponselnya dan menghubungi Jeff.
“Sayang, bisa kita pergi mendaki gunung hari ini?”
“Aku sedang bekerja sayang.” Jawab Jeff dengan lembut.
“Kalau di akhir pekan?”
“Kemungkinan bisa tapi aku tidak janji ya, aku takut nanti ada pekerjaan mendadak yang tidak bisa ditunda.”
“Baiklah.” Helen menutup telepon dengan kecewa.
Ia menatap Dina dan menggelengkan kepala.
“Sudah aku bilang kan, ini hari kerja dan Jeff pasti tidak bisa!” Ujar Dina.
Wajah Helen tampak sangat kecewa.
“Aku berusaha mencegahmu menelepon Jeff karena aku tidak ingin kamu kecewa tapi kamu tidak mau mendengarkanku!” lanjut Dina lagi.
Melihat Helen yang begitu sedih dan kecewa, Dina pun menghibur Helen.
“Hari ini ke mall saja ya, menonton bioskop atau makan es krim, begitu?”
Helen kemudian tersenyum kecil, “Mencoba menghiburku ya?”
“Ya mau gimana lagi, wajahmu cemberut begitu, bibirmu monyong seperti sudah mau jatuh ke tanah, ya aku hibur saja!”
Helen lalu memeluk Dina. “Kamu memang paling mengerti aku…” Dina balas memeluk Helen.
Ia lantas berbisik di telinga Helen, “Tapi tolong, kembalikan mobil ayahmu dulu. Aku tidak nyaman ketika kamu yang mengemudi, mendingan kita naik angkot saja.”
Mereka berdua kemudian tertawa bersama.
Helen lalu mengantar Dina pulang. Mereka berjanji untuk bertemu lagi di mall sore ini pada pukul tiga. Selanjutnya Helen pulang ke rumahnya untuk mengembalikan mobil milik ayahnya itu.
Sore harinya ketika mereka berdua tengah berjalan-jalan di mall, tidak sengaja Dina melihat sosok yang sangat familiar.
Dari kejauhan Dina telah menyadari keberadaan orang itu, sementara Helen masih sibuk memperhatikan baju-baju yang sedang terpajang di etalase toko.
“Len, putar balik yuk. Jangan lewat sini!” Ajak Dina sambil menarik lengan Helen. Namun Helen yang tidak memahami maksud Dina justru berkeras untuk masuk dan melihat-lihat pakaian di toko tersebut lebih lama lagi.
Hingga sebuah suara mengagetkan Helen.
“Helen, lama tidak bertemu!” Sapanya.
Helen terkejut mendengar suara itu. Ia tahu dengan benar siapa pemilik suara itu.
Helen menutup matanya dan menolak untuk berbalik. Demikian juga dengan Dina.
“Kalian berdua jangan berpura-pura tidak mendengarku begitu dong!” Kata orang itu lagi.
Helen pun berbalik dan mendapati Garry berdiri tepat di belakangnya.
Helen tidak berbicara sepatah kata pun untuk menyapa atau sekedar membalas ucapan Garry.
“Apa kabar? Sudah punya pacar baru pastinya ya?” Oceh Garry.
Helen segera menyibukkan diri dengan berpura-pura melihat-lihat pakaian yang lain.
“Jangan pura-pura tuli gitu-lah!” Garry terus mengoceh. “Setahuku kamu itu tidak tuli atau pukulanku yang terakhir membuatmu tuli?” Katanya dengan nada mengejek.
Dina menarik Helen pergi dari situ. Dina bisa melihat senyum mengejek yang tersungging di wajah Garry.
“Sampai jumpa lain kali ya!” Teriak Garry dari kejauhan.
Bertemu Garry membuat mood Helen untuk sisa hari tersebut menjadi buruk.
“Harusnya tadi aku mendengarkanmu untuk pergi dari situ,” kata Helen kepada Dina.
“Aku sudah melihat kedatangannya, makanya aku buru-buru mau mengajak kamu pergi tapi kamu kan selalu berkeras dan tidak mau mendengarkan aku. Lihat siapa yang malah jadi bad mood sekarang?”
Dina menggandeng tangan Helen dan membawanya ke cafe es krim yang ada di mall tersebut.
“Mungkin es krim bisa sedikit membantu!” Kata Dina ketika mereka berdua telah mengantri di counter pemesanan.
“Kamu mau mengembalikan mood-ku atau memuaskan keinginanmu sendiri?” Tanya Helen.
“Dua-duanya.” Jawab Dina sambil tertawa.
Helen pun ikut tertawa.
Selesai membeli es krim mereka duduk sebentar di cafe itu untuk menghabiskan es krimnya sebelum melanjutkan acara jalan-jalan mereka di mall.
“Din kamu tahu, setelah semua yang terjadi, aku merasa sangat bersyukur memiliki Jeff. Aku bisa melihat bahwa dari semua pria yang pernah singgah dalam kehidupanku, tidak ada yang mencintaiku sebaik dan sedewasa dia.” Ujar Helen.
Dina mengangguk. “Benar.” Katanya.
“Aku ingin segera menikah dengan Jeff kalau begitu.”
Dina lantas menatap Helen dengan tatapan aneh.
“Jangan begitu dong, meskipun dia yang terbaik sejauh ini tetapi kamu belum benar-benar mengenal dia, kan? Kenali dulu baru kalian putuskan mau menikah atau tidak. Keputusan itu harus datang dari kalian berdua, bukan hanya dari salah satu pihak saja untuk mencegah masalah lain di masa yang akan datang!”
“Kamu kok dewasa banget sih!” Puji Helen sambil mencubit pipi Dina dengan gemas. Beberapa orang di sekitar mereka bahkan sampai memperhatikan tingkah Helen itu.
“Aku terbiasa dengan kehidupan yang sulit sejak kecil, menjadi dewasa dan bijaksana sudah menjadi sebuah keharusan!”
“Aku selalu merasa hidupku adalah yang paling berat, padahal jika dibandingkan dengan kehidupanmu dan mamamu masalahku ini tidak ada apa-apanya.”
“Manusia memang begitu Len, suka merasa diri sendiri paling tersiksa, paling menderita, padahal mereka bahkan belum melihat ke sekelilingnya. Apa yang terjadi pada mereka yang di sekelilingmu, kamu sama sekali tidak tahu bukan? Bagaimana jika penderitaan mereka sangat besar hanya saja mereka tidak ingin mengekspose-nya?”
Helen mengangguk dengan wajah sedih.
Setelah es krim mereka habis, mereka pun kembali berjalan mengitari mall tersebut.