?3

975 Words
Happy Reading! "Di mana suamiku?" Tanya Meysa saat ia tak melihat sang suami ketika ia akan berangkat ke puncak. "Tuan sudah berangkat tadi pagi, nyonya. Katanya ada rapat penting." Ucap Mawar yang sedang memasukkan semua barang yang diperlukan nyonyanya selama di puncak ke dalam mobil. Meysa berdecak. Revan memang bukan tipe suami perhatian tapi untungnya dia punya uang yang banyak. "Baiklah. Aku pergi. Jaga rumah dan yang paling penting kau harus memata-matai suamiku. Segera telpon aku jika suamiku terlihat mencurigakan." pesan Meysa. Jujur saja ia tidak percaya jika suaminya setia mengingat pernikahan hambar yang mereka lewati. Namun meski curiga ia tidak dapat menemukan satu buktipun kalau suaminya berkhianat. Mawar mengangguk gugup. "Baik nyonya." Ucap Mawar pelan. Setelah nyonyanya berangkat, Mawar segera memasuki rumah dan mulai bekerja membersihkan seluruh rumah. Kalau ia tidak membutuhkan uang untuk biaya berobat adiknya, mungkin sekarang ia sudah mengundurkan diri. Tapi mau bagaimana? Ia butuh pekerjaan untuk menghasilkan uang. Harga dirinyapun rasanya tidak begitu berarti dibanding nyawa adiknya yang kini sedang terancam di rumah sakit. Sekedar informasi, Mawar berusia 18 tahun, beda 15 tahun dari tuan Revan yang kini berusia 33 tahun. Pertama kali menerima tawaran kerja di rumah ini, sejujurnya Mawar sudah merasa aneh. Di rumah sebesar ini mereka hanya mempekerjakan dirinya saja sedang beberapa pekerja lain seperti tukang kebun atau supir hanya dipanggil ketika perlu. Berbeda dengan dirinya yang diharuskan untuk menginap. Mawar juga tidak melihat satupun foto pernikahan tuannya, sepertinya mereka menikah tanpa restu dari orang tua tuan Revan karena Mawar tidak pernah melihat mereka datang. Berbeda dengan ibu nyonya Mesya yang hampir setiap akhir pekan berkunjung. "Hah_ kenapa aku peduli. Itu adalah urusan tuan dan nyonya." Gumam Mawar lalu fokus mencuci piring hingga ia merasa perutnya mual. Mawar berlari ke kamar mandi yang ada di dapur lalu berjongkok untuk memuntahkan isi perutnya. "Huekk_huekkk_" Mawar meremas perutnya yang terasa nyeri lalu mencuci mulutnya saat rasa mual di perutnya berkurang. "Huekk_" Mawar menutup mulutnya saat rasa mual kembali datang. Namun saat ia ingin kembali muntah bell tiba-tiba saja berbunyi membuat tubuh Mawar menegang. Mawar berdiri sembari memegang dinding karena tubuhnya yang lemas. "Siapa ya? Apa tuan Revan?" Gumam Mawar. Tapi tidak mungkin tuan Revan mengetuk pintu dan rumah ini juga hampir tidak pernah kedatangan tamu. Namun karena bell terus berbunyi, Mawar memutuskan untuk memeriksanya. Ia membutuhkan banyak waktu untuk mencapai pintu karena tubuhnya yang masih lemas. Ctar, ceklek Mawar memutar kunci dan membuka pintu hingga nampaklah seorang wanita dan pria paruh baya. Dari pakaiannya Mawar tahu mereka adalah orang kaya. 'Mungkin mencari tuan Revan.' Batin Mawar lalu tersenyum kepada kedua tamunya. "Silahkan masuk!" Ajak Mawar membuat kedua tamunya melangkah masuk. "Di mana Revan?" tanya tamu wanita membuat Mawar segera menjawab. "Sudah berangkat ke kantor, mungkin akan kembali sore nanti." jawab Mawar jujur. "Ahh_ya, silahkan duduk! Saya akan membuatkan teh." Ucap Mawar sopan lalu melangkah menuju dapur. "Menurut papa bagaimana?" Tanya Widya pada suaminya. "Sepertinya kita salah menilai pilihan Revan, mah." balas sang suami membuat Widya mengangguk. Saat itu ia dan suaminya memang langsung menolak merestui pernikahan putranya dengan wanita yang tidak jelas asal usulnya. Apalagi saat itu mereka memang telah memilihkan jodoh untuk Revan. Tapi Revan malah kekeh menikahi kekasihnya dan rela meninggalkan rumah. "Harusnya dulu kita tidak terbawa emosi dan membiarkan Revan mengenalkan calonnya dulu."Ucap Widya yang diangguki oleh Bram. "Sekarang waktunya kita memperbaiki semuanya mah. Lagipula papa lihat dia adalah wanita yang sederhana." ucap Bram yang diangguki oleh Widya. Mawar datang dengan nampan besar di tangannya. Ia menyajikan teh dengan telaten kemudian menghidangkan kue hasil buatannya tadi malam. "Silahkan dicicipi dan maaf karena hanya ada ini." Ucap Mawar sopan dengan senyum manis membuat Widya dan Bram terpana. Oke. Sekarang mereka paham. Mungkin putra mereka yang sebelumnya hobi bermain wanita itu tunduk pada istrinya karena senyumannya yang tulus. Widya tersenyum. "Kenapa duduk di sana? Ayo kemarilah! Duduk di dekat mama." ucap Widya membuat Mawar melotot kaget. "Mama?" Tanya Mawar heran. Widya mengangguk. "Iya mama. Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri memanggil mama." ucap Widya membuat Mawar menggeleng tak mengerti. "Tapi kenapa?" tanya Mawar membuat Widya tersenyum. "Karena kami adalah orang tua Revan, mertuamu." Jawab Bram membuat Mawar terkejut. sepertinya ada kesalahpahaman disini namun saat ia ingin menyangkal, perutnya tiba-tiba kembali mual. "Huekk_" Mawar menutup mulutnya dan segera berlari menuju dapur. "Mah" Bram menatap istrinya membuat Widya segera berlari menyusul menantunya. "huekk_huekk" Mawar kembali berusaha muntah namun tidak ada yang keluar. Akan tetapi rasa mualnya semakin menjadi hingga membuat kepalanya terasa berputar. "Huekk_ughh" tubuh Mawar melemas tepat saat Widya masuk dan memeluk tubuhnya. Melihat menantunya yang pingsan, Widya langsung berteriak memanggil suaminya. "Bawa ke kamar pah!" Titah Widya yang diangguki oleh Bram. Ia segera menggendong tubuh menantunya itu menuju kamar sedang Widya segera menelpon dokter. Tak lama, dokter datang dan langsung memeriksa keadaan mawar. "Maaf, di mana suaminya?" tanya dokter. "Dalam perjalanan dokter. Katakan saja pada kami. Kami adalah mertuanya." ucap Widya. Ia memang sudah menghubungi putranya tadi setelah menelpon dokter. Dokter mengangguk. "Menurut perkiraan saya, menantu ibu sedang hamil." Deg Widya dan Bram langsung saling pandang dengan senyum yang merekah. Mereka sangat bahagia karena akan mempunyai cucu. "Benarkah dokter?" Tanya Bram cepat. Dokter mengangguk. "Saya sarankan agar menantu ibu dibawa ke rumah sakit untuk memastikan kehamilannya." ucap dokter yang langsung diangguki oleh Bram dan Widya. "Tentu dokter. Setelah ini kami akan langsung ke rumah sakit." ucap Widya lalu segera menaiki tempat tidur. Mengelus kepala menantunya penuh sayang. Sedang Bram mengantar dokter pergi. Widya menyentuh perut Mawar yang terbalut dress lusuh. Sebenarnya apa yang ada dipikiran putranya itu hingga memberi istrinya pakaian tak layak pakai seperti ini. Tapi tidak masalah. Sekarang ia ada di sini. Ia akan lebih memperhatikan menantu perempuannya itu. "Oh Tuhan! Terima kasih kau menyadarkanku di saat yang tepat." Ucap Widya penuh syukur. Jika ia terlambat menyadari kesalahannya mungkin sekarang ia tidak akan mendengar kabar sebahagia ini. 'Aku akan segera memiliki cucu' batin Widya takjub.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD