03. MPLS dan Suara Emas

1762 Words
25 Juli 20** Hai, Kak Diaz! Apa kabar? Kapan Kakak bakal dateng? Udah 11 tahun Kakak minta aku untuk nunggu, aku harus nunggu sampe kapan? Apa mungkin cuma aku aja yang nunggu dan Kakak udah lupa sama aku? Ah, untunglah aku ini anak yang baik. Aku bakal terus nunggu Kakak meskipun aku gak tau kapan kita bisa ketemu lagi. Oh iya, aku kemarin baru denger suara yang bagus banget. Aku jadi inget Kakak. Dulu Kakak yang selalu ngajarin aku nyanyi, –yah, meskipun suara Kakak biasa-biasa aja. Apa suara Kakak sekarang sebagus suara orang yang kemarin aku denger? Apa boleh aku berharap kalo suara yang aku denger kemarin adalah suara Kakak? Cepet kembali ya, Kak! Aku pengen Kakak denger kalo aku udah lancar bilang 'R'. Ah, satu lagi! Apa Kakak tumbuh jadi cowok yang ganteng? Kakakku yang dulu rambutnya kaya jamur, sekarang udah jadi cowok yang ganteng. Udah sering aku kenalin, kan? Namanya Kak Aaron. Hehe! Aku sampe lupa. Aku cuma kenalin Kak Aaron ke Kakak lewat diary ini. Mana mungkin Kakak bisa kenal? Kalo nanti kalian ketemu, jangan berantem, ya! Aku pengen punya kedua kakak yang saling menyayangi, kaya aku sayang kalian. Sehat terus, ya, Kak! Aku harus turun sekarang untuk makan malem. Sampe ketemu dikesempatan yang udah Tuhan rencanakan. Salam sayang dariku, Tulip. *** Tulip memiliki sebuah diary yang selalu ia tulis ketika ia merindukan Diaz. Buku itu menjadi bukti kesetiaannya menunggu teman kecilnya, teman yang berjanji akan menemuinya lagi setelah diadopsi. Senyuman manis selalu menghiasi wajahnya setelah ia menulis apapun tentang Diaz, namun tak jarang juga ia menangis karenanya. Tulip kecil yang begitu lambat dan cengeng, dulu banyak dijauhi temannya. Maka dari itu, ia begitu menghargai pertemanannya dengan Diaz yang meski begitu nakal, tapi ia mau berteman dengan Tulip. "Tulip–" "Iya, aku dateng!" jawabnya tanpa menunggu orang yang memanggil menyelesaikan ucapannya. Tulip langsung menyimpan buku diary-nya itu dan bergegas keluar dari kamar. "Semangat banget," ujar Aaron yang berdiri tepat di depan pintu kamar Tulip. "Iya, dong! Aku harus bagi-bagi cerita hari ini ke Papa-Mama, kan?" jawab Tulip antusias. "Bahkan di depanku pun kamu masih berusaha buat akting, ya?" ucap Aaron dengan tatapan kesal. "Untuk apa aku akting? Aku memang bahagia kok hari ini. Cuma aku memang sedikit kesel sama Kakak," jawab Tulip seraya memajukan bibirnya. "Why? Apa salahku?" tanya Aaron tak mengerti. "Siapa suruh Kakak pura-pura gak tau siapa yang aku maksud?" Glek! Aaron seketika menelan salivanya. 'Gimana Tulip bisa tau kalo aku bohong?' batin Aaron. "Aku… aku memang gak tau! Mungkin kalo kamu bisa sebutin ciri-cirinya, aku juga bisa tau siapa orang itu. Kamu pikir, cuma ada satu orang yang punya suara emas di sekolah? Apa kamu belum tau, ya, kalo sekolah kita itu pemegang juara bertahan paduan suara?" Aaron berusaha menutupi kebohongannya. "Pfffft!" Tulip menahan tawa mendengar jawaban panjang dari Aaron. "Aku cuma bercanda, Kak. Kakak kutu buku begitu, mungkin banyak orang yang tidak Kakak kenal. Karena Kakak cuma kenal sama buku," ujar Tulip yang masih meledek kakaknya itu. Aaron menarik napas panjang dan menghembuskan dengan paksa. Ia tak menyangka adik kecilnya kini sudah berani mempermainkannya seperti itu. Matanya melirik Tulip dengan tatapan mengintimidasi. "Tulip...," ucapnya dengan nada rendah. "Ya?" jawab Tulip tanpa rasa bersalah dan mata yang berbinar menatap balik mata Aaron. "Aaarrhh!!! Anak satu ini! Gimana aku bisa marah sama kamu kalo tatapanmu begitu menggemaskan kaya marmut?" ucap Aaron gemas sembari mencubit kedua pipi Tulip tanpa ampun. "Mamaaaa! Tolong!" teriak Tulip meminta bantuan. "Aaron! Lepasin pipi Tulip!" perintah Freya dari lantai satu. Bukan kali pertama hal seperti ini terjadi, maka dari itu kedua orang tua mereka pun sudah paham. "Kamu pikir aku bakal takut?" tanya Aaron yang tidak mempedulikan peringatan dari mamanya. "Kak, ampun! Pipinya sakit," ucap Tulip dengan nada memelas. Matanya mengerjap beberapa kali hingga memberikan ekspresi yang begitu meyakinkan. Aaron melepaskan cubitannya dan menepuk kedua pipi Tulip beberapa kali. Tentu tanpa tenaga yang kuat, hanya tepukan lembut seperti memegang seorang bayi. "Apa kamu gak berniat untuk minta maaf?" tanya Aaron kemudian, dengan tangan yang masih menopang kedua pipi Tulip. "Lepasin aku, aku minta maaf," jawab Tulip. Suaranya semakin memelas, bahkan terlihat hampir menangis. "Baiklah-baiklah," ujar Aaron pasrah seraya menarik tangannya. "Tapi bohong! Wlek!" seru Tulip diikuti dengan juluran lidah diujung kalimatnya. Sepersekian detik kemudian ia langsung berlari ke lantai satu. "Dasar adik durhaka!" umpat Aaron seraya turut berlari mengejar Tulip. *** Akhirnya sudah memasuki MPLS hari ketiga, yakni hari terakhir. Menurut rundown, kegiatan hari ini hanya pengenalan ekstrakurikuler dan pentas seni. Sebagai sekolah yang mendapat predikat terbaik, tentu ekstrakurikuler yang tersedia juga tidak sedikit. Bahkan setiap siswa diperbolehkan mengikuti lebih dari satu ekstrakurikuler, hanya saja mereka harus menerima konsekuensi ketika nilai mereka tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. "Jadi, kamu mau ikut apa?" tanya Naya yang selama tiga hari ini selalu berada di sisi Tulip. "Belum tau, kalo kamu?" Tulip balik bertanya tanpa melihat ke arah Naya. Matanya terfokus pada tarian yang sedang ditampilkan di atas panggung. "Paduan suara mungkin, atau cheerleader? Ayo gabung ekskul cheers aja! Nanti kita bisa ikut setiap bintang basket kita tournament," ajak Naya dengan semangat. "No-no-no-no! Bukan ide bagus buatku," tolak Tulip dengan tegas. "Hah! Gak asyik! Jadi, kamu pilih ikut apa? Jangan bilang kamu pilih yang macem-macem mata pelajaran itu?" "Kenapa enggak? Bukannya itu lebih bermanfaat?" jawab Tulip. "Kita udah setiap hari belajar, kenapa harus ikut ekstrakurikuler yang isinya juga belajar? Sekolah ini aneh!" sungut Naya. "Kalo aneh, kenapa kamu pilih sekolah di sini?" timpal Tulip yang kini menengok ke arah Naya dan menangkap ekspresi kesal dari wajahnya. "Ternyata kamu nyebelin, ya!" gerutu Naya. Mendengar itu Tulip langsung tertawa kecil. "Hei, jangan cemberut gitu! Aku ini lemah dan gak bisa terlalu capek. Jadi, kegiatan yang kamu sarankan tadi sama sekali gak cocok buatku. Mungkin aku bakal gabung di OSIS, gimana menurutmu?" ujar Tulip yang berusaha menenangkan Naya. Ia tidak mungkin merusak pertemanannya yang baru berlangsung tiga hari. "Tapi OSIS bukan ekstrakurikuler, kamu harus ikut satu lagi. Bukannya itu malah bikin kamu makin capek?" tanya Naya, ekspresinya berubah menjadi khawatir. Ia benar-benar teman yang baik. "Bener juga, aku harus cari yang lebih cocok," jawab Tulip seraya mengangguk setuju. Mereka kembali terfokus dengan pentas seni yang masih berlangsung. Sekolah ini memang memiliki banyak siswa yang berbakat. Teater yang baru saja ditampilkan juga begitu ciamik; akting mereka sangat bagus dan terlihat sangat natural. Bahkan tak sedikit yang bertepuk tangan sambil berdiri ketika teater tadi berakhir. Mungkin mereka sudah layak menggelar pertunjukan teater dalam skala besar, penontonnya tak akan kecewa dengan penampilan yang luar biasa. Sebagai acara penutup, ada penampilan dari sebuah grup musik akustik. Waktu yang paling ditunggu oleh Tulip. Ia berharap suara emas yang pernah ia dengar, kini bisa ia temukan kembali. Ia hanya ingin tahu siapa pemilik suara emas tersebut. Hanya tiga orang, seorang siswi dan dua orang siswa. Yah, tentu bukan siswi itu yang Tulip harapkan, namun mungkin saja seorang siswa diantara mereka menjadi backing vocal yang ia tunggu-tunggu. Sayangnya, sampai satu lagu berakhir, kedua siswa itu tidak bernyanyi sedikitpun. Tulip kehilangan semangatnya. Ia gagal menemukan suara indah itu. "Aku mau ke kamar mandi," ujar Tulip pada Naya. "Ati-ati, ya!" pesan Naya. Tulip hanya mengangguk dan meninggalkan kerumunan penonton itu sendirian. Ia tidak benar-benar ingin buang air kecil, ia hanya ingin cuci muka. Mood-nya sedang kurang baik karena yang ia inginkan tidak juga muncul bahkan sampai acara hampir berakhir. Ia tahu kalau masih ada penampilan musik satu kali lagi, namun ia sudah terlanjur kecewa. Ia menyusuri lorong kelas dan mencari toilet terdekat. Sembari melihat sekeliling, Tulip bersenandung kecil. Meski suaranya tak sebagus siswi yang sedang tampil di panggung, setidaknya ia tidak mengganggu ketenangan orang lain dengan suaranya. Dan lagi, sebenarnya ia belum tahu di mana letak toiletnya, itulah sebabnya ia terus berjalan sembari memperhatikan sekeliling. "Hei kamu, bisa bantu saya sebentar?" tanya seorang siswa yang berdiri tak jauh dari Tulip. Tangannya membawa sebuah kardus yang cukup besar dan terlihat berat. "Saya, Kak?" tanya Tulip sembari menengok kanan-kiri, mencari apakah ada siswa selain dirinya. "Iya, siapa lagi? Tolong ambilin itu, ada yang jatuh!" Siswa itu menunjuk barang yang jatuh dengan lirikan matanya. "Ah, iya." Tulip langsung melangkah ke belakang siswa tadi dan mengambilkan sebuah kotak kecil yang terjatuh lalu meletakkannya kembali ke dalam kardus. Tak lupa ia merapikan kabel yang terjuntai dan memasukkan ke dalam kardus agar tak mengganggu. "Makasih banyak, ya!" ucap siswa tadi dengan senyum yang sangat tipis, bahkan hampir tak terlihat kalau ia baru saja tersenyum. "Sama-sama, Kak." Tulip yakin siswa tadi adalah kakak kelasnya, maka dari itu ia langsung memanggilnya dengan sebutan 'Kakak'. "Maaf, Kak, kamar mandi di sebelah mana, ya?" tanya Tulip memberanikan diri. "Lurus aja, gak jauh lagi kok," jawab siswa itu. "Makasih banyak," jawab Tulip sembari menunduk hormat. "Sama-sama." Kemudian siswa itu kembali melanjutkan langkahnya. Tiba-tiba Tulip merasa harus segera buang air kecil. Ia pun mempercepat langkahnya. Syukurlah, benar yang siswa tadi katakan, toiletnya tidak jauh lagi. Setelah melewati dua ruang kelas, Tulip menemukan toilet yang sejak tadi ia cari. Sialnya, tak hanya buang air kecil, perut Tulip mendadak memberikan kode alam. Sepertinya ini akibat pertarungan sengit antara dirinya dengan Aaron semalam. Mereka berlomba untuk menghabiskan sate ayam ekstra pedas yang biasa keliling setiap malam Rabu. Yang kalah harus mau menemani Freya belanja di akhir pekan. Tak ada yang menang, keduanya menyerah bahkan ketika mereka baru memakan dua tusuk saja. Entah mereka yang turun level atau level pedas satenya yang meningkat. Yang pasti, kali ini tidak ada yang menang. Usai melepaskan beban perutnya, Tulip segera kembali ke lapangan. Tak lupa ia memastikan kalau tak ada bau yang tertinggal. Reputasinya bisa rusak di awal sekolah yang bahkan belum di mulai kalau sampai bau itu menempel pada dirinya. Ia menyemprotkan parfum secukupnya. Botol parfum itu berukuran sangat kecil, hanya seukuran jari kelingking saja, hingga bisa dibawa ke manapun tanpa memerlukan tempat khusus. Belum sempat ia masuk ke dalam rombongan, Tulip terpaku di posisinya setelah mendapati sosok lelaki tampan di atas panggung. Ia tersenyum begitu manis. Tulip merasa terhipnotis; ia tidak bisa bergerak; tatapan matanya tak bisa berpaling dari lelaki yang sedang bernyanyi itu. Suara yang ia cari seminggu terakhir akhirnya bisa ia temukan. Suaranya tak berubah sama sekali; tampan, halus dan lembut. Persis seperti apa yang kini Tulip lihat, suara dan wajahnya berbanding lurus. Sungguh pemandangan yang begitu indah. Sayangnya, lagu yang dibawakan sudah memasuki detik-detik terakhir. Lagu tersebut sekaligus menjadi lagu penutup kegiatan MPLS. Meski belum mengetahui siapa nama lelaki itu, Tulip sudah merasa begitu senang. Ia bisa mencaritahunya nanti. Setidaknya ia tidak perlu bertanya-tanya lagi bagaimana wujud si pemilik suara emas tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD