1. Be My Partner

1358 Words
Suara debur ombak di Pantai Ancol seakan membawa Cecilia Sonre pada sebuah kenangan lama. Saat itu ia tertawa bahagia berlari kecil di tepi pantai ketika ombak kecil menyapu kakinya dan seorang pria mengejar sambil berteriak memanggil namanya. Kenangan itu selalu menghantui Cecilia setiap kali mengunjungi pantai. Sosok pria yang pernah menorehkan kenangan itu, membuatnya merindu. Air matanya tergenang, sebuah kalimat ia ucapkan pelan sambil memandangi lautan luas. "Maafkan aku. Maafkan." Tiga tahun yang lalu, Jakarta "Sayang, aku enggak bisa temenin kamu nanti. Aku lembur. Pak Dito minta tolong aku siapin meeting buat nanti sore. Aku enggak bisa nolak. Kamu minta temenin sama Steve ya? Ok?" Itulah alasan dari Ricky Jhon yang ia katakan ketika Cecilia mengajaknya menghadiri sebuah acara ulang tahun. Kejadian ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya pernah terjadi dan itu membuatnya merajuk. Cecilia merasa Ricky selalu menghindar setiap kali mengajaknya bertemu teman-temannya. Selalu saja ada alasan, baik itu lembur, menyelesaikan urusan keluarga atau sedang tidak enak badan. Namun, kali ini Cecilia tidak akan merajuk. Ia akan menerima alasan Ricky dan terpaksa mengiakan ucapannya. Steve Dorman, laki-laki yang akan menjadi partner Cecilia malam ini. Laki-laki peranakan Spanyol-Jakarta itu, salah satu teman Ricky saat di kampus dulu. Karena dari Ricky, Cecilia mengenal Steve. Mereka pun bersahabat dan selalu bertiga, baik hangout, mengerjakan tugas kuliah atau menghadiri acara formal. Namun, setelah lulus, hubungan mereka renggang karena kesibukan masing-masing. Ricky bekerja di perusahaan televisi swasta yang kerap mengharuskannya lembur sebagai salah satu team kreatif, Cecilia bekerja di perusahaan vendor telekomunikasi sebagai customer service, sedangkan Steve lebih memilih menjadi wiraswasta. Namun, waktu Steve lebih fleksibel, karena itulah pria yang digila-gilai banyak perempuan itu, menerima tawaran Cecilia malam ini. "Aku udah ganteng belum?" tanya Steve merapikan jasnya saat mereka turun dari mobil dan berdiri di depan rumah mewah berlantai dua. Malam ini penampilannya tidak seformal menghadiri acara di ballroom hotel atau acara resmi lainnya, kemeja putih polos yang dilapisi jas semi formal berwarna hitam dan celana drill hitam, adalah pilihannya malam ini. Sepatu loafers juga membaluti kakinya yang memiliki ukuran 42. Cecilia menggeleng dan berdecak. "Sudah. Aku yakin nanti banyak temanku yang naksir kamu," katanya melihat Steve semakin mengembangkan senyum sehingga sebelah lesung di pipinya terlihat. "Ayo kita masuk, aku rasa kita tamu terakhir." Lalu ia melangkah, tetapi langkahnya terhenti saat Steve menarik lengannya. "Tunggu, Cil!" Steve menekuk lengannya. "Ayo," ajaknya, menunggu respon. Pandangan Cecilia tertuju pada siku Steve. Seperti pemandangan di film Barat ketika sepasang kekasih bergandengan ala klasik. Ia tertawa kecil membayangkannya. "Haruskah?" "Tentu. Karena aku partner kamu malam ini," jelas Steve. "Partner gak harus pacar ya, kan?" Cecilia menghela napas. "Baiklah." Ia pun melingkarkan tangannya di siku Steve. "Janji jangan malu-maluin aku." "Iya janji," ujar Steve. "Kalau gak lupa ya." Tawanya pecah walau tidak lama merasakan perih setelah Cecilia mencubit kecil di pinggangnya. Sambil bergurau mereka berjalan beriringan menuju rumah yang kedua sisi pintunya terbuka lebar dan di depannya dijaga dua laki-laki berwajah garang. Acara itu dilaksanakan di taman belakang yang juga terdapat kolam renang. Di taman itu sudah dihiasi bunga dan balon-balon latex yang dibentuk seindah mungkin. Terdapat juga tulisan ‘Happy 25’ yang terbuat dari bunga mawar. Tidak hanya itu, beberapa meja panjang di atasnya terhidang aneka makanan dan minuman ringan yang menggugah selera tamu undangan. Sebelum menyapa yang lain, Cecilia mengenalkan Steve pada Anya, perempuan cantik berwajah oriental yang berulang tahun malam ini. Anak perempuan dari seorang direktur di perusahaan makanan ringan. "You look so amazing tonight, Cil," puji Anya, melihat penampilan Cecilia yang terlihat seksi dalam balutan off shoulder sheath dress hitam yang panjangnya dibawah lutut. Perempuan yang biasa ia lihat berpenampilan biasa-biasa saja. Namun, malam ini ada sesuatu yang membuat Cecilia luar biasa. "Apa dia yang namanya Ricky?" bisiknya melirik Steve. "No." Cecilia menggeleng. "He is my best friend. Ricky gak bisa datang. Aku terpaksa ajak Steve ke sini." Anya mengernyit. "Best friend? Are you sure?" Tidak yakin dengan ucapan Cecilia, perempuan yang pernah akrab saat SMA. Kedua bahu Cecilia terangkat singkat. "Yeah, What's wrong?" Melirik Steve sedang berkenalan dengan seorang perempuan yang berdiri beberapa meter dari mereka. "Tidak ada persahabatan di antara perempuan dan laki-laki, Cil," bisik Anya lagi. "Apalagi dia kayaknya … suka kamu." Tawa Cecilia pecah mendengar kalimat yang menurutnya mustahil. “Dia suka aku? Itu tidak mungkin. Hubungan kami cuma sebatas sahabat. Kamu lihat aja sendiri, matanya jelalatan ke mana-mana,” katanya sambil menggeleng dan memperhatikan Steve. “Aku berani taruhan dia beneran suka kamu.” “Tahu dari mana?” Anya menunjuk matanya sendiri. “Tatapannya. Waktu dia lihat kamu, tatapannya beda. Bukan ke sahabat, tapi ke orang yang dia suka.” Sayangnya Cecilia menggeleng. “Itu gak mungkin. Kalaupun benar Steve suka aku, kami gak bisa. Karena aku sudah punya pacar.” “Tidak ada yang mustahil, Cil. Selagi janur kuning belum melengkung, kamu berhak memilih orang yang bisa membuat kamu bahagia. Seperti aku.” Anya memperlihatkan cincin berlian yang tersemat di jari manisnya. Sebagai teman, Cecilia turut bahagia. “Rio melamar kamu?” “Nope.” Anya menggeleng. “David yang melamar aku. See? Aku pacaran lima tahun sama Rio, tapi dia gak kasih kepastian. Tapi David, baru dua kali ketemu di Gereja, dia ngelamar aku. Kami berencana menikah bulan depan, datang ya, Cil.” Tidak ada alasan menolak tawaran Anya apalagi sebuah acara pernikahan, Cecilia mengangguk dan mengatakan, “Ya. Aku usahain datang.” Setelah mengatakan itu, ia menjauh, memberi kesempatan pada tamu yang lain menyalami dan bicara dengan Anya. Cecilia menunjuk ke arah meja prasmanan—memberi kode pada Anya yang sempat menatapnya meski bicara dengan tamu lain. Melihat beberapa kue, membuat Cecilia menelan ludah. Ia mengambil piring kertas, menaruh beberapa potong kue keju, muffin, dan kue yang tidak ia tahu namanya namun mengeluarkan aroma manis. Sambil menyantap hidangan itu dan duduk di meja paling sudut, ia melirik Steve yang kali ini bicara dengan perempuan lain. Cecilia kenal benar dengan perempuan cantik yang mengenakan corset mini dress itu. Perempuan incaran laki-laki saat SMA dulu. “Dasar genit,” gumamnya melihat mereka tertawa lepas dan ia sempat beradu pandang dengan Steve. Cecilia membuang wajah dan terus menyantap hidangan itu, tetapi tiba-tiba Steve berdiri membungkuk di depannya dan membuka mulut. “Apa sih?” Steve menunjuk dua potong kue yang masih tersisa di piring. “Suapin aku,” pintanya manja. “Kamu ‘kan bisa ambil sendiri, Steve,” balas Cecilia sedikit kesal. “Masa godain cewek bisa, tapi ambil kue gak bisa,” ejeknya sambil menyendok kue itu tetapi Steve mengarahkan sendok ke mulutnya yang sudah terbuka lalu melahapnya secepat lidah cicak. “Cemburu ya?” goda Steve. Mengarahkan tangan Cecilia ke mulutnya lagi. Cecilia menekuk wajahnya. “Kamu ngawur.” “Aku serius.” Steve meraih lengan Cecilia ketika perempuan itu bangkit lalu menariknya. “Ikut aku.” Kaki melangkah panjang menerobos kerumunan para tamu. Dahi Cecilia berkerut. “Ke mana?” Mau tak mau kakinya mengikuti Steve. “Toilet.” Steve menjawab cepat lalu tertawa. Kedua mata Cecilia membulat. “Apa?! Steve, kamu–” “Ke sana.” Jari Steve menunjuk ke arah meja prasmanan yang tidak jauh mereka. “Ambilin aku kue yang tadi,” pintanya saat tiba di sana. Cecilia mendengus dan melepaskan genggaman Steve. “Kamu ‘kan bisa ambil sendiri, Steve. Manja banget jadi cowok,” gumamnya meskipun tangannya mengambil piring kertas. “Kan aku partner kamu, Cil.” Steve membalas cepat. “Tapi mereka gak percaya. Katanya kita pasangan serasi.” “Apa?” Cecilia berbalik dan tercengang. “Siapa yang bilang begitu?” Steve menunjuk gerombolan gadis-gadis di meja paling sudut. “Mereka.” “Hoaks. Itu cuma akal-akalan kamu buat dapetin salah satu cewek itu ‘kan? Kamu ngaku-ngaku kita pacaran biar mereka penasaran, terus salah satu dari mereka hubungin kamu. Udah kebaca, Steve. Lagu lama.” Tanpa mendengar balasan Steve, ia kembali antre, tetapi Steve menarik tangannya dan menaruh piring kertas itu di meja. “Kamu mau apa?” Steve melangkah ke arah sudut kolam. “Buktiin ke mereka.” “Untuk apa?” Lagi-lagi Cecilia mengikuti langkah panjang Steve. Tiba-tiba Steve berbalik dan Cecilia menubruknya karena kaget lalu menatapnya serius. “Kasih tahu mereka kalau kita beneran pacaran.” “Apa? Kamu sudah gila?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD