3. Pria Tampan

1673 Words
Hari itu Priska tak ada jadwal kuliah. Tapi, dia telah bersiap dengan sangat rapi untuk berangkat ke kampus. Dia mengenakan celana jeans berwarna biru gelap. Dengan bagian yang sobek di lututnya. Juga mengenakan kemeja berwarna putih. Dia juga memakai kaos putih sebagai rangkapan sebelum kemejanya dia kenakan. Dia menta rambutnya dengan rapi. Menggunakan kuncir kuda ke kampus seperti baisanya. Dia bahkan memoles wajahnya dengan riasan tipis dan terkesan natural. Lipstik warna nude dia oleskan di bibirnya. Pemerah pipi berwarna merah muda juga dia sapukan di kedua sudut pipinya. Menimbulkan efek merah muda yang terlihat sangat alami. Riasannya sempurna. Rambutnya, pakaian yang dia kenakan. Bahkan sepatu yang baru minggu kemarin datang dari belanja onlinenya, dia pakai. “Mau ke mana kamu?” tanya Robi. Kakak Priska yang sedang duduk di depan televisi. Dia menatap  Priska dari ujung kepala hingga ke ujung jempol yang ditutupi oleh sepatu. Tatapan curiganya diperjelas dengan kerutan yang ada di dahinya. Mengernyit dan menatap penasaran dengan kelakuan adiknya yang menrutnya tidak normal. “Ke kampuslah! Ke mana lagi? Masa, ke hatimu? Tidak mungkin!” jawabnya enteng. Dia baru saja menginjakkan kakinya di lantai satu. Setelah menuruni banyak anak tangga sebelumnya. Berjalan ke dapur dan membuka lemari pendingin. “Jangan kau ambil s**u kotak cokelat itu milikku! Lagi libur!" teriak Robi. Sebelum jemari Priska menyentuh barang miliknya. Di dalam kulkas itu ada dua rak. Atas milik Robi dan yang di bawah milik Priska. Mereka selalu menaruh makanan mereka secara terpisah seperti itu. Walau pada akhirnya mereka pasti saling curi makanan satu sama lain. Hingga akhirnya berujung pada perdebatan, pertengkaran, hingga perkelahian. Tak ada akur-akurnya sama sekali. Keduanya sama saja. Sama-sama jahil dan rese satu sama lain. Bahkan kedua orang tua mereka tidak pernah betah, saat mengunjungi rumah yang kedua anak itu tinggali selama kuliah. “Siapa juga yang mau s**u cokelat yang sudah kadaluarsa!” jawab Priska enteng. Padahal dia hanya asal mengucapkan itu. Tapi, reaksi Robi di luar dugaannya. Kakanya itu melompat dari tempat dia duduk dengan wajah cemas. Dia segera mendorong tubuh adiknya yang menghalangi dia untuk mengecek sendiri s**u cokelat miliknya. Hingga Priska terjatuh di lantai. Dia menatap sang kakak dengan tatapan permusuhan yang mulai tersulut. Robi mengambil s**u kotak miliknya. Mengecek kemasannya untuk mencari apakah benar ucapan dari sang adik itu. “Kenapa kau pucat? Wah, jangan-jangan kau sudah meminum s**u kadaluuarsa ini ya? Wah, aku harus segera menelepon ambulans nih!” ucapan Priska membuat Robi tidak fokus dengan pencariannya. Sudah tulisan tanggal itu kecil. Kalau tidak biasa, pasti akan susah mencari tempatnya tertera di kemasan tersebut. “Diam! Aku masih mencari tanggal kadaluarsanya! Jangan ganggu!” bentak Robi. Priska mencebik. Kemudian dia mulai berbalik badan dan melipir. Berjalan dengan perlahan, berharap sang kakak tidak menyadari kepergiannya. Dia mengendap-endap. Sesekali menoleh ke belakang melihat respons kakaknya. Sekali toleh, aman. Kedua kali, aman. Tapi, saat ddia menoleh ketiga kalinya. Dia sudah mendapati wajah Robi tetap berada di depan wajahnya yang baru saja menoleh ke belakang. Dengan mata yang dia buat seperti juling dan senyum menyeringai. “Setan!” umpat Priska dengan keras. Detak jantungnya kian cepat dan tidak karuan. Dia dengan refleks menampar wajah Robi yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Dengan sangat keras dan sangat cepat. Menimbulkan efek panas yang tiba-tiba merayapi pipi sang kakak. “Adiknya setan! Sakit woi!” teriak Robi. Dia menjewer telinga sang adik dengan keras. Dia bahkan menariknya hingga ke tempat duduk di depan televisi. Jangan tanya teriakan apa saja yang keluar dari mulut Priska. Segala macam sumpah serapah dia sebutkan. Bahkan dia juga sempat mengungkit masa lalu dan mencoba merayu sang kakak. “Sakit, Bang! Lepasin dong!” “Bang, nanti aku bawain siomay deh. Apa bakso Cak Sugi?” “Aku yang bersih-bersih rumah deh! Masak juga!” “Sakit, Bang! Wey, kau tidak dengar ucapanku, hah? b***k ya?”  Priska terus mencerocos banyak hal. Pada akhirnya, Robi pun melepaskan jewerannya. Dia melipat tangan di depan d**a. Kedua matanya menatap tajam ke arah sanga adik yang sedang menggosok telinganya. Bekas jeweran dari sang kakak membuat telinga Priska menjadi merah membara. “Memang adik enggak ada akhlak kamu ya! Bisa-bisanya bilang itu kadaluarsa, orang masih tahun depan juga!” omel Robi. Posisi mereka saat ini sedang saling menatap dengan kebencian yang hampir memuncak. Robi berdiri di depan Priska yang duduk sambil memegangi telinganya. Priska tersenyum miring, dia bahkan mencebik dan menunjukkan ekspresi mengejek pada sang kakak. “Kau saja yang bodoh! Beli apa-apa enggak pernah mengecek tanggal kadaluarsa!” jawab Priska tak mau kalah. Dia selalu menemukan celah untuk mengejek sang kakak. Hingga membuat Robi kian merasa kesal dan kembali menjewer telinga Priska di sisi yang lain. “Rasakan! Biar sama-sama memerah keduanya!” dia mengucapkannya dengan nada yang ditekan. Dia benar-benar merasa kesal dengan adik yang mulutnya tajam itu. “Lepasin, Bang. Ampun!” pinta Priska. Matanya berkaca-kaca, dan wajahnya memelas. Sangat berbeda dengan beberapa detik yang lalu. Di mana mulutnya masih bisa mengejek dan menujukkan wajah yang menyebalkan pada sang kakak. “Kau sudah berjanji membelikan aku siomay sama bakso. Juga beberes rumah dan memasak. Oke silakan pergi!” ucap Robi. Dia sudah puas dengan kedua jeweran yang dia senyumnya mengembang. Menunjukkan rasa puas yang ada dalam dirinya. “Dasar menyebalkan. Pantas saja kau masih jomlo sampai sekarang! Enggak akan ada cewek yang mau sama kamu!” teriak Priska. Saat dia akhirnya berada di ambang pintu dan hendak keluar dari rumah. “Hey, kau pun juga jomlo!” balas Robi dengan suara tidak kalah kencangnya. Tapi, Priska tak peduli dengan teriakan itu. Dia harus segera pergi ke kampus dan menemui sang pria tampan. Dia menghidupkan motornya. Mulai menjalankan motor itu dengan kecepatan perlahan. Namun, setelah dia keluar dari kompleks perumahan tempat dia tinggal. Dia menaikkan kecepatnnya hingga hampir delapan puluh kilometer per jam. Biasanya, Robi akan mengomel padanya jika dia melakukan itu. Sebab, di mata Robi, cewek itu tidak boleh petakilan. Dia harus menawan dan anggun. Naik motor itu tidak lebih dari enam puluh kilometer per jam. Agar tampilannya tetap cantik dan tidak awut-awutan. Tidak seperti Priska yang selalu terlihat berantakan setelah melepas helmnya.   Suasana kampus cenderung sepi. Karena banyak mahasiswa yang sedang berada di kantin atau bahkan warung di depan kampus. Mereka kebanyakan sedang berdiam di dalam sebuah ruangan dingin bernamakan swalayan. Membeli beberapa makanan dan minuman untuk mereka bawa kembali ke kelas. Dan di sanalah dia sekarang. Mencari kelas di mana sang Dosen tampan itu akan mengajar. “Hey, Sabrina!” teriaknya. Saat kedua netranya menangkap sosok yang sudah dia cari sedari tadi. Dia melambai ke arah Sabrina yang baru saja menoleh karena panggilannya. Dia tersenyum lebar dengan penuh semangat. Dia berjalan menghampiri sabrina. “Ada apa, Kak?” tanya dia dengan polosnya. Dia sama sekali tidak sadar dengan tjuan Priska datang ke sana. Yaitu, untuk menyusup di dalam kelas di mana sang Dosen tampan akan segera mengajar. “Mau ikut kelaslah!” jawab Priska enteng. “Bukannya Kakak enggak suka statistika ya?” celetuk Risa. Salah seorang mahasiswa yang juga dekat dengannya. Priska menoleh ke arahnya. Lalu menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya. Sambil mengerucutkan bibirnya. Sebuah tanda agar Risa tetap diam dan tidak melanjutkan pertanyaannya. Mereka mengobrol sebentar. Hingga akhirnya jam menunjukkan pukul satu siang tepat. bersamaan dengan itu, seorang pria tampan masuk ke dalam ruangan. Dia menyapa semua mahasiswa ddengan senyuman indahnya. Banyak mata yang terpesona dengan keindahan ciptaan Tuhan yang sedang ada di depan mereka. Termasuk Priska, dia bahkan tidak berkedip sejak Damar masuk ke dalam ruang kelas tersebut. Dia terus memandanginya dengan tatapan terpesona. Ke mana arah langkah Damar. Ke situlah matanya bergerak. “Kau bukan anak kelas ini ya?” ucap Damar. Saat dia menyadari ada sosok yang sebelumnya dia lihat sedang berada di luar kelas tempo hari. Priska masih saja memandanginya dengan senyuman di wajahnya. Sangat jelas menunjukkan bahwa pikirannya sedang tidak bersama dengan dirinya yang ada di dalam ruang kelas saat itu. Sabrina yang menyadari hal itu pun menyenggol lengan Priska. “Kak, itu!” ucapnya. Dia menunjuk ke arah Damar yang sedang berdiri dan mentap ke arah Priska. “Eh, apa?” tanya Priska. Dia baru saja kembali dari lamunannya yang ada di atas awan. Dia dipaksa kembali oleh senggolan Sabrina di lengannya. “Itu!” ulang Sabrina. Dia menunjuk ke arah depan. Arah pandang Priska mengikuti tangan itu. Hingga akhinrya dia mendapati pria tampan itu sedang menatapnya dengan serius. “Selamat datang kembali di kehidupan nyata!” ucapan Damar sontak membuat beberapa mahasiswa tertawa. Awalnya, Priska merasa kesal. Tapi, pada akhirnya dia memilih untuk membalikkan keadaan. Bukan Priska namanya, kalau dia tidak bisa melakukan hal itu. Terlebih, untuk membalas ucapan Damar yang membuat dia menjadi bahan tertawaan anak lain di kelas itu. “Terima kasih telah menyambut kehadiranku di dunia nyata, duhai pria tampan!” balasnya dengan senyuman nakal dan kerlingan mata yang genit. Seisi ruangan menjadi gaduh seketika. Mereka terbahak-bahak dalam beberapa saat. Tapi, kemudian langsung terdiam. Setelah Damar menatap ke arah mereka dengan serius. Damar sama sekali tidak menyangka. Ucapannya akan mendapatkan sebuah baalsan seperti itu dari seorang mahasiswi. Dia tiak pernah mendapati seorang murid yang sangat pandai dengan mulutnya seperti Priska. Biasanya, para mahasiswa yang berurusan dengannya hanya akan diam setelah dia menegurnya. Paling pol mereka minta maaf pada dirinya. Tapi, kali ini dia mendapatkan balasan yang berbeda. Mahasiswi itu sangat berani. Sikapnya sama sekali jauh dari tipe wnita idaman siapa pun di dunia ini. “Keluar!” Priska terhenyak. Dia di usir! Ya, itu adalah resiko terburuk yang harus dia terima. Setelah melakukan penyusupan ke dalam kelas orang lain. Dia mencebik dan tersenyum datar. Dia pun dengan terpaksa keluar dari ruangan itu tanpa perlawanan. Sial! Aku belum mendapatkan fotonya! Bagaimana dia bisa secepat itu menemukan aku sih? Aku kan tidak mencolok!   Dia menyebutkan itu di dalam hatinya. Padahal selama dia ada di dalam kelas itu. Dia menatap sang Dosen sedari tadi tanpa berkedip. Dia juga tidak ada di dalam daftar nama yang sedari tadi dipanggil satu per satu oleh Damar. Jelas Damar tahu, kalau dia tidak ada di dalam daftar itu. Dia bahkan tidak mengangkat tangan hingga semua nama sudah diapnggil oleh sang Dosen.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD