BAB 3

1047 Words
Terlahir memiliki otak yang cerdas memang sangat menyenangkan, bisa memahami sesuatu yang baru dengan cepat dan dapat meraih peringkat tertinggi di antara orang-orang seusiamu. Tentu saja, itu adalah pencapaian-pencapaian yang sangat hebat dan luar biasa dan dapat membuatmu merasa bangga atas dirimu sendiri. Tetapi terkadang, ada sesuatu yang membuatmu merasa bosan pada hal-hal tersebut. Contohnya aku, seorang pria berusia 21 tahun berkebangsaan Jerman yang bernama Camilo, merasa jenuh dengan semua pencapaian yang telah kugapai. Entahlah, rasanya sangat aneh. Pada pertengahan bulan Oktober, aku bersama keluargaku merayakan prestasiku yang telah menjadi juara umum di perlombaan fisika internasional, mengalahkan banyak peserta lain dari berbagai negara. Mereka memilih sebuah kafe mewah di Berlin untuk merayakan keberhasilanku. Aku senang dan terharu, tentu saja, tapi terkadang mereka, yang merupakan seluruh anggota keluargaku, terlalu membangga-banggakanku dan merendahkan anak-anak lain yang seusia denganku karena tidak mampu menjadi sepertiku. Jujur, aku tidak menyukainya jika semua anggota keluargaku bersikap demikian dan itu selalu dilakukan berulang-ulang, membuatku jadi muak dan bosan. Bukannya merasa senang atas apa yang mereka ucapkan dengan merendahkan orang lain, aku jadi sangat kecewa pada sudut pandang yang mereka ambil atas semua pencapaianku. Mungkin, jika aku tidak seperti ini, mereka tidak akan menyukaiku dan merendahkanku. Itu sangat kejam dan jahat, menurutku. “Jadi, Camilo, bagaimana kejadiannya? Apakah mereka semua tersadar pada betapa bodohnya otak mereka karena telah dikalahkan olehmu?” Dan pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan selalu muncul di sela tawa dan canda ria, aku selalu tidak menanggapi pertanyaan itu dan memilih hanya menyunggingkan senyuman palsuku. Mendengar sebuah pertanyaan yang dibaluti dengan kata-kata hinaan membuatku sangat mual. Esoknya, ketika aku tiba di kampus, banyak sekali mahasiswa dan mahasiswi yang mengerubungiku seolah-olah aku ini gula yang dikerubungi ratusan semut merah. Mereka semua, para mahasiswa, tampak begitu semangat dan energik memberikan kesan betapa bangganya aku yang merupakan salah satu mahasiswa di kampus ini berhasil memenangkan perlombaan di ajang internasional. Aku tersenyum dan mulai berlagak seperti seorang selebriti yang sedang dikerubungi oleh ratusan wartawan, aku hanya menjawab seadanya pada ratusan pertanyaan yang mereka lemparkan sembari berusaha untuk terus melangkahkan kakiku menuju kelas yang sedang kutuju, tentu saja mereka mengikutiku ke mana pun aku pergi sampai akhirnya aku memilih pergi ke toilet saja, dan saat itulah mereka semua tersadar dan memberikanku ruang privasi. “Wow! Aku setoilet dengan Camilo!” seru seorang mahasiswa laki-laki yang baru saja selesai mengurusi urusannya di toilet dan hendak keluar dari sana, dia kelihatan kaget saat melihat wajahku dan aku hanya memberikan senyuman kecil pada orang itu. Setelah itu, aku buru-buru masuk ke dalam ruang kloset dan mengunci pintunya agar tidak ada lagi yang menggangguku. Beginilah yang terjadi jika aku berhasil memenangkan sebuah perlombaan, keluargaku dan juga warga kampus tempatku belajar, selalu heboh dan mengganggu aktivitas normalku. Terkadang aku ingin sekali hidup seperti orang-orang biasa yang jauh dari kebisingan dan pusat perhatian, tapi itu sangat sulit, terutama jika wajahmu dan segala hal tentang dirimu, telah dikenal oleh banyak orang. Bahkan, kalaupun menyamar menjadi orang lain, cepat atau lambat akan ketahuan karena mereka juga hafal dari gerak jalanmu bahkan berbagai hal sepele yang melekat dari sikapmu. Mengerikan sekali, bukan? Itulah kenapa aku terkadang heran pada orang-orang yang ingin hidup menjadi diriku agar dikenal dan dikerubungi banyak orang bak selebriti, maksudku, apa yang menyenangkan dari kehidupan yang seperti itu? Aku saja tidak ingin menjadi seperti ini, tapi aku sudah terlanjur tenggelam, tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah menerima keadaan. Namun, meskipun aku selalu menjadi pusat perhatian, aku sama sekali tidak tertarik memiliki pengawal atau semacamnya, selain buang-buang uang, kehadiran pengawal juga sama sekali tidak membuatku merasa lebih aman. Aku memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi, jadi tanpa memiliki pengawalpun, aku mampu untuk melindungi diriku sendiri dari berbagai tindakan kriminal. Aku tidak bermaksud bahwa aku memiliki keahlian bela diri yang hebat atau hal-hal seperti itu, tidak, itu salah besar. Aku sangat lemah, tubuhku kurus dan tidak memiliki kemampuan bela diri. Yang kumaksudkan dengan  memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi adalah kepekaanku yang luar biasa. Dulu, aku pernah nyaris tertembak oleh seorang sniper yang bersembunyi di puncak suatu gedung, tapi aku selamat karena aku langsung berjongkok saat perasaanku mengatakan bahwa aku harus mengubah posisi berdiriku saat itu, dan ternyata benar, setelah aku menjongkokkan badan, suara tembakan melesat terdengar sangat keras dan tembok bangunan di sampingku, yang sebelumnya sejajar dengan kepalaku, pecah dan hancur oleh peluru kecil yang begitu kencang dan tajam. Sebenarnya bukan hanya itu, banyak sekali kejadian-kejadian berbahaya yang nyaris menimpa diriku, dan sebagian besar itu dilakukan oleh orang-orang yang membenciku, dan aku selalu berhasil selamat oleh kepekaan tubuhku yang sangat tinggi, karena itulah, aku menolak mentah-mentah saat keluargaku memintaku menyewa pengawal untuk menjaga keamananku. “Baiklah, kita mulai saja tesnya hari ini.” Di pagi hari yang mendung di bulan Oktober, seorang dosen biologi memulai tesnya yang dilakukan secara online menggunakan laptop yang dibawa oleh masing-masing mahasiswa. Ketika tesnya berlangsung, aku selalu selesai paling awal, tapi karena orang-orang masih belum selesai, aku selalu berdiam sejenak menunggu mereka agar aku tidak terkesan sombong atas kecerdasanku. Namun, sikapku yang demikian terkadang bisa langsung terbaca oleh Sang Dosen dan beliau selalu memaksaku untuk keluar kelas dan tidak perlu menunggu mahasiswa lain. Ketika waktu istirahat tiba, aku selalu mengurung diri di perpustakaan, selain karena di sini banyak sekali buku yang dapat k****a, aku juga bisa terhindar dan terlindungi dari orang-orang yang hendak mengerubungiku lagi, bahkan meskipun mereka nekat datang kemaripun dan menimbulkan kerusuhan, penjaga perpustakaan pasti akan mengusir mereka semua dan pada akhirnya aku akan terselamatkan. Itula kenapa perpustakaan adalah tempat amanku di kampus, selain toilet tentunya, tapi akan sangat bodoh jika aku lebih memilih menghabiskan waktuku di ruang kloset. Kebiasaanku ketika aku pulang ke rumah, setelah seharian sibuk di kampus, yaitu segera masuk ke kamar dan mengunci pintunya, mengurung diriku sendiri agar terhindar dari berbagai pertanyaan aneh dan menyebalkan dari anggota keluargaku. Mungkin kalian pikir aku menghabiskan waktuku di kamar dengan membaca berbagai buku pengetahuan yang rumit atau menonton film-film dokumenter yang membosankan. Tidak, di bagian ini, hidupku sama seperti orang-orang lainnya, aku membaca buku komik, dan menonton serial-serial remaja yang mengharukan. Hanya saja, aku tidak begitu suka mempublikasikan kesukaanku ke media sosial atau pada teman-teman dekatku, karena aku masih belum siap untuk bersikap terbuka. Aku masih nyaman dianggap sebagai orang yang tertutup karena dengan itu, kehidupan privasiku bisa tetap aman dan tidak ada seorangpun yang peduli pada hal tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD