BAB 8

4809 Words
Keesokan harinya, aku terbangun pada jam 4 pagi. Udaranya dingin dan aku menguap selebar-lebarnya. Karena ini masih sangat pagi, aku memutuskan untuk bersantai sejenak di ruang tengah, duduk di sofa dan menyalakan televisi. Acara yang pertama kali muncul di TV adalah sebuah berita. "Seorang siswa SMP telah tewas bunuh diri di kamarnya. Dikabarkan dia tertekan oleh perundungan yang dialaminya di sekolah, dia membuat sebuah surat untuk keluarganya, dan di surat tersebut dijelaskan bahwa dia telah mengalami kekerasan fisik dari teman-teman sekelasnya selama dua tahun penuh, dia juga sering mendapatkan ancaman-ancaman pembunuhan dari mereka. Setelah diselidiki oleh para pihak, ternyata awal dari perundungan itu disebabkan karena—" Aku langsung mematikan televisi, menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ini masih pagi dan beritanya benar-benar parah. Entah kenapa, rasa bersalahku jadi semakin menggeroti pikiranku. Mendengar siswa SMP yang tewas bunuh diri akibat perundungan di sekolahnya, terasa seperti akulah pelaku dari peristiwa tersebut. Bayangan-bayangan wajah dari orang-orang yang pernah kurundung dari SD dan SMP langsung bermunculan di kepalaku seperti layar film. Itu membuat dadaku sesak. Aku langsung berlari ke dapur untuk mengambil air. "Sial!" Setelah kuteguk segelas air sampai habis, aku menggeram. "Kenapa dulu aku sangat bodoh sekali!" "Paul? Kaukah itu?" Tiba-tiba aku mendengar suara mamaku dari jauh, dia segera muncul dengan rambut hitam panjangnya yang berantakan dan piyamanya yang kusut, mendekatiku dan melihat diriku yang sedang berkeringat resah sambil mencengkram gelas yang kosong. "Ada apa? Suaramu terdengar sampai kamar mama, loh." "Tidak ada apa-apa, aku hanya... mengalami mimpi buruk saja." "Ceritakan mimpi burukmu pada mama." "Itu tidak perlu, Ma. Itu tidak penting." Aku meletakkan gelas kosong itu ke meja dapur dan berpaling dari mamaku, tidak ingin dia melihat wajahku yang sedang gelisah. "Ada apa ini? Apa yang terjadi?" Sial, sekarang mami juga datang kemari. Aku lupa. Sepertinya aku belum memberitahukan hal ini pada kalian. Aku punya dua ibu, aku adalah anak kandung mereka dari program bayi tabung. Mereka adalah orangtuaku, dan aku sangat menyayangi dan menghormati mereka. Tapi sifat dari dua ibuku sangat jauh berbeda, mama adalah sosok yang lembut dan sering memanjakanku, sementara mami itu sosok yang sangat tegas dan selalu menegurku. Karena mami sudah hadir, aku tidak bisa terus-menerus memunggungi mereka. Pelan-pelan, aku memutar badanku dan menghadap pada dua ibuku. Aku melihat sosok mami yang berambut hitam pendek dengan sorotan matanya yang tajam menatapku. "T-Tidak ada apa-apa, Mi. Aku hanya—" "Jangan berbohong. Katakan yang sejujurnya pada mami, apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa wajahmu risau begitu?" Ini buruk. Aku tidak bisa menceritakan yang sebenarnya pada mereka. "Aku mengalami mimpi buruk yang parah. Di sana, aku dikejar-kejar oleh makhluk besar yang aneh dan itu membuatku ketakutan. Maaf jika suaraku membangunkan kalian." "Lagi-lagi mimpi buruk," Mami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sekarang basuh mukamu yang berkeringat itu, dan mandi juga sekalian. Matahari sudah mulai muncul. Jangan lupa buat sarapan untuk dirimu sendiri." Setelah itu, mami meninggalkan dapur menuju ruang televisi, dia sekarang sedang duduk di sofa, menonton kartun favoritnya di sana. Sementara mama mendekatiku dan mengusap-usap punggungku. Ia tersenyum padaku dan berbisik dengan lembut. "Jangan khawatir, Paul, mama yakin besok malam tidak akan ada lagi mimpi buruk untukmu. Ya sudah, mama akan membuatkan sarapan enak untukmu. Kamu sekarang mandi saja, ya." Aku merasa tenang saat mendengar ucapan mamaku. "Baik, Ma." Sesampainya di sekolah, aku turun dari sepedaku dan memarkirkannya di tempat khusus sepeda. Aku jadi terbiasa berangkat lebih awal dari siswa-siswi lain, sehingga setiap aku sampai, sekolah masih sepi, belum banyak murid atau guru yang datang. Berjalan di lorong menuju kelas, aku menikmati udara pagi yang sejuk sampai punggungku ditepuk dari belakang oleh seseorang. "Yo!" Aku mendengar suara yang tidak asing dan saat kubalikkan badan, aku melihat sosok Joe Johanes, salah satu anggotaku yang berambut hijau jabrik, ia sedang tersenyum lebar padaku. "Selamat pagi, bro!" Aku menghela napasku, tidak menduga kalau Joe Johanes adalah orang pertama yang kutemui hari ini di sekolah. "Ada apa, Joe?" Aku bertanya dengan menaikan sebelah alisku, terkesan dingin dan bahkan tidak tertarik untuk membalas sapaan paginya. "Haha! Kau ini ketus sekali!" Joe menertawakan sikapku, tanpa peduli kalau aku sedang menggeram kesal padanya. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu, bro! Soal penjelasan yang kau bilang kemarin. Ada yang masih belum kumengerti." "Bagian mana?" tanyaku tanpa basa-basi. "Kau bilang, tujuan organisasi kita adalah menghapuskan segala penindasan, perundungan, dan kekerasan di sekolah, tapi kau tidak menjelaskan cara-caranya pada kami, jadi aku masih belum paham." "Itu akan kujelaskan minggu depan, seperti yang sudah kukatakan, segala pertanyaan hanya boleh dilontarkan di saat pertemuan saja, dan yang paling penting, jangan bersikap seolah-olah kita saling mengenal di luar waktu pertemuan. Jika kau ingin berkomunikasi denganku, pakailah cara yang lebih privasi dan rahasia seperti seorang mata-mata, kau paham?" "Aku tidak paham, bro," jawab Joe dengan polos. "Kenapa kita harus seperti itu, mengapa kita tidak bersikap santai saja, lagipula tidak ada yang akan mengetahui soal itu, semua orang tidak ada yang peduli, bro. Percaya padaku." Tidak ingin berurusan lagi dengannya, aku meninggalkan Joe Johanes begitu saja di lorong dan berjalan cepat ke dalam kelasku. Kulirik sejenak, ternyata Joe masih berdiri di lorong, ia memandangiku sambil mengupil ria di sana. Dasar jorok. Ketika mataku kembali kualihkan ke dalam kelas, aku terkejut saat mendengar suara seorang gadis yang sedang menangis di sana. Kekagetanku meningkat saat mengetahui bahwa Olivia Memento-lah, ketua kelasku, yang sedang menangis tersenggukk-sengguk di mejanya. Sebelum aku mendekati mejanya dan bertanya apa yang terjadi, langkahku terhenti saat menemukan berbagai coretan-coretan kasar dari spidol di papan tulis. Coretan-coretan itu berisi ejekan, hinaan, dan ancaman kepada ketua kelasku. Isinya adalah 'Olivia p*****r!' 'Olivia gadis jalang!' 'Sebaiknya kau mati saja, Olivia!' 'Kami akan memperkosa dan membunuhmu, Olivia!'. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa orang seperti Olivia bisa mengalami hal seperti ini, tapi yang lebih parahnya, coretan-coretan itu menggunakan spidol permanen, sehingga sulit untuk dihapus dari papan tulis. "Olivia?" Aku langsung memanggilnya dan itu cukup mengagetannya. "Katakan padaku, apa yang terjadi?" Gadis itu mengangkat kepalanya dari meja dan aku bisa melihat seluruh mukanya yang basah karena air mata. Bibirnya bergetar, matanya memerah, dia tampak sangat ketakutan saat melihatku. Tapi dia segera menghapus air matanya dengan jemari tangan dan berusaha bersikap tenang di depanku. "Aku tidak menyangka kau datang sepagi ini, Paul." Dia mengalihkan pembicaraan, dan aku tidak suka itu. "Hey! Katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" Bibirnya kembali bergetar. "I-Itu bukan urusanmu. Sekarang, lebih baik kau bantu aku menghapus tulisan-tulisan itu dari papan tulis, aku tidak ingin teman-teman kita mengetahuinya." "Baiklah, tapi kau harus berjanji, ceritakan semua yang terjadi padaku, oke?" Olivia tidak mempedulikan ucapanku, ia lebih fokus mencari cara untuk menghapus coretan-coretan itu dari papan tulis. Aku membantunya, dan sebelum teman-teman sekelas datang, kami berhasil menghapus semuanya dengan bersih. Sepertinya, kasus Olivia akan menjadi kasus pertama yang akan kukerjakan bersama anggota-anggotaku yang lain. Mungkin, aku juga harus memerintahkan salah satu angotaku untuk membuat sebuah kotak surat khusus di internet, untuk orang-orang yang sedang dirundung di sekolah, agar mereka bisa mendapatkan bantuan kemanusiaan dari organisasiku. Baiklah, aku siap menebus dosa-dosaku sekarang. The next day, I woke up at 4 am. The air was cold and I yawned big. Since it was still very early, I decided to relax for a while in the living room, sitting on the sofa and turning on the television. The show that first appeared on TV was a news story. "A middle school student has committed suicide in his room.Reportedly he was depressed by the bullying he experienced at school, he wrote a letter to his family, and in the letter explained that he had been physically abused by his classmates for two whole years, he also received frequent death threats from himthey. their them imagine confabulate invent plan contrive After being investigated by the parties, it turned out that the start of the bullying was caused by—" I immediately turned off the television, took a deep breath and exhaled slowly. It's still early and the news is really bad. I don't know why, but my guilt is getting to me more and more. Listening to a junior high school student who committed suicide as a result of bullying at his school, it felt like I was the perpetrator of the incident. The images of the faces of the people who had been imprisoned from elementary and middle school immediately appeared in my head like a movie screen. It made my chest tight. I immediately ran to the kitchen to get some water. "Unlucky!" After I gulped down the glass of water, I growled. "Why was I so stupid back then!" "Paul? Is that you?" suddenly I heard my mother's voice from far away, she immediately appeared with her long, messy black hair and her rumpled pajamas, approached me and saw myself sweating restlessly clutching an empty glass. "What's wrong? Your voice can be heard as far as mom's room, you know." "It's nothing, I was just... having a bad dream." "Tell me your bad dream." "That's not necessary, Ma. It's not important." I set the empty glass down on the kitchen table and turned away from my mother, not wanting her to see my agitated face. "What is this? what happened?" Damn, now mami's here too. I forget. Looks like I haven't told you this yet. I have two mothers, I am their biological child from the IVF program. They are my parents, and I love and respect them very much. but the nature of the two mothers are very different, mother is a gentle figure and often pampers me, while mami is a very firm person and always reprimands me. Since mami was here, I couldn't keep my back to them all the time. Slowly, I turned around and faced my two mothers. I saw the figure of a mother with short black hair with sharp eyes staring at me. "N-Nothing, Mi. I just—" "Don't lie. Tell the truth to mommy, what really happened to you? why is your face so worried?" This is bad. I can't tell them the truth. "I had a terrible nightmare. There, I was being chased by a strange large creature and it scared me. Sorry if my voice woke you up." "Another nightmare," Mami shook her head. "Now wash your sweaty face, and take a shower too. The sun is starting to come up. Don't forget to make breakfast for yourself." after that, mami left the kitchen to the television room, she is now sitting on the sofa, watching her favorite cartoon there. While my mother approached me and rubbed my back. He smiled at me and whispered softly. "Don't worry, Paul, I'm sure you won't have any more nightmares tomorrow night. Come on, I'll make a nice breakfast for you. You should take a shower now, okay?" I feel calm when I hear my mother's words. "Okay, Mom." when i got to school, i got off my bike and parked it in a special place for bicycles. I got used to leaving earlier than other students, so every time I arrived, the school was still quiet, not many students or teachers had come. walking down the hall to class, I enjoyed the cool morning air until I was patted on the back by someone. "Yo!" I heard a familiar voice and when I turned around, I saw the figure of Joe Johanes, one of my members with spiky green hair, he was smiling broadly at me. "Good morning, bro!" I sighed, not expecting Joe Johanes to be the first person I met today at school. "What's the matter, Joe?" I asked with an eyebrow raised, seeming cold and not even interested in returning his morning greeting. "Haha! You are so curt!" Joe laughed at my attitude, not caring if I was snarling at him. "There's something I want to talk to you about, bro! About the explanation you said yesterday. There's something I still don't understand." "Which part?" I asked bluntly. "You said the goal of our organization is to eliminate all bullying, bullying, and violence in schools, but you didn't explain the methods to us, so I still don't understand." "I'll explain that next week, as I said, all questions should only be asked during the meeting, and most importantly, don't act as if we know each other outside of meeting timeif you want to communicate with me, use a more private and secret way like a spy, you understand?" "I don't get it, bro," Joe answered innocently. "Why do we have to be like that, why don't we just take it easy, after all no one will know about it, no one will care, bro. Trust me." Not wanting to deal with him anymore, I just left Joe Johanes in the hallway and walked briskly to my class. I glanced for a moment, it turned out that Joe was still standing in the hallway, he was looking at me while picking his nose happily there. Dirty. when I turned my eyes back into the classroom, I was surprised to hear the voice of a girl who was crying there. My surprise increased when I found out that it was Olivia Memento, my class president, who was crying sobbing at her desk. before I approach his desk and ask what's going on, I stop in my tracks when I find various rough scribbles from markers on the blackboard. The scribbles contained ridicule, insults, and threats to my class president. It said 'Olivia w***e!' 'Olivia b***h!' 'You'd better die, Olivia!' 'We will r**e and kill you, Olivia!' I really don't understand why someone like Olivia could go through something like this, but what's worse, the doodles use permanent marker, making it hard to erase from the blackboard. "Olivia?" I immediately called him and it was quite a shock to him. "Tell me, what happened?" The girl lifted her head from the table and I could see her whole face wet with tears. Her lips trembled, her eyes reddened, she looked very frightened when she saw me. but she quickly wiped her tears with her fingers and tried to be calm in front of me. "I didn't expect you to come so early, Paul." He changes the subject, and I don't like that. "Hey! Tell me, what really happened?" Her lips trembled again. "Th-That's none of your business. Now, you better help me erase those writings from the blackboard, I don't want our friends to know about it." "Okay, but you have to promise, tell me everything that happened, okay?" Olivia didn't care what I said, she was more focused on finding a way to erase the scribbles from the blackboard. I helped him, and before the classmates came, we managed to wipe everything clean. I think Olivia's case will be the first case I'll be working on with my other members. .maybe, I should also order one of my members to create a special mailbox on the internet, for people who are being bullied at school, so they can get humanitarian assistance from my organization. Alright, I'm ready to atone for my sins now. Suasana kantin sudah sepi, jam makan siang sebentar lagi akan berakhir. Aku bersama Olivia sedang duduk di meja kantin yang kosong, kini gadis itu telah bersedia menceritakan semua masalahnya padaku, tentunya setelah kubujuk rayu berulang-kali padanya. Sebenarnya aku merasa bersalah memaksanya untuk cerita seperti ini, karena ada sebagian orang yang tidak nyaman menceritakan masalahnya pada orang lain, tapi karena aku melihat kejadiannya dengan mataku sendiri, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. "Sebelum itu, apa kau benar baik-baik saja?" tanyaku padanya, karena aku merasa Olivia sangat tertekan, dalam hal fisik dan mental. "Aku baik-baik saja." Olivia tersenyum tipis padaku, menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya, meski bibirnya kering sekarang. "Oke, jadi bisakah kau ceritakan semuanya sekarang?" tanyaku langsung ke intinya. Hening sejenak, sebelum akhirnya Olivia mulai membuka mulutnya. "Sebenarnya apa yang mereka tuliskan di papan tulis tadi pagi, mereka tidak benar-benar salah soal itu." Aku mengernyitkan alis, tidak paham dari maksud yang dikatakannya. "Bisakah kau lebih spesifik? Aku tidak—" "Aku ini seorang p*****r, Crowder," Olivia memelototiku dengan tajam, terlihat tidak bergeming, tapi air matanya menumpuk di kelopak matanya. "Ketua kelasmu ini benar-benar seorang p*****r, Paul Crowder." "Apa?" Napasku terhenti sejenak, sebelum pikiranku mulai kembali normal. "Jadi hanya karena itu kau dirundung habis-habisan oleh orang lain? Hanya karena kau seorang p*****r? Persetan dengan mereka, aku yakin kau punya alasan sendiri sampai memilih jalan itu. Sekarang katakan padaku, siapa saja orang yang merundungmu?" Dengan mengelap air matanya yang sudah menetes-netes di pipi, Olivia menjawab pertanyaanku dengan suara yang parau. "Aku tidak tahu. Aku juga kaget. Aku tidak pernah membahas itu dengan siapapun di sekolah ini." "Tapi kau pernah membahasnya dengan orang lain selain di sekolah ini, bukan?" Aku mulai menyelidiki pernyataan dari Olivia dan menemukan sedikit celah di sana. "Sebutkan siapa saja orang yang pernah kau ajak bicara soal pekerjaanmu. Aku akan senang jika kau mau menulis daftar namanya, jika kau tidak keberatan." "Kurasa tidak perlu," ucap Olivia, yang jelas membuatku sedikit marah mendengarnya. "Kau tidak perlu bertindak sejauh itu, lagipula, jika aku menulis daftar namanya, kau mau apa? Aku tidak mau masalah ini jadi semakin serius. Biarkan saja mereka, aku yang akan mengurusnya sendiri. Itu bukan urusanmu, Crowder." Aku mendecih. "Baik, aku mengerti," Menahan kekesalanku, aku berusaha mencari cara lain. "Kau tidak ingin aku ikut campur urusanmu, bukan?" Olivia hanya diam. "Kalau begitu, kita alihkan topik ini ke sejak kapan mereka melakukan itu padamu? Aku tidak akan ikut campur, aku hanya bertanya, oke?" Aku mencoba untuk fokus ke titik yang lain, agar setidaknya aku menemukan beberapa petunjuk. "Tadi pagi adalah pertama kalinya mereka melakukannya secara langsung," jawab Olivia dengan mukanya yang terlihat tegang. "Aku telah mendapatkan ancaman-ancaman serupa dari seminggu yang lalu, lewat pesan singkat di ponselku. Aku tidak bisa mengetahui atau melacak siapa pengirimnya, karena mereka memakai fitur anonim." "Fitur anonim, ya," Aku mengangguk-anggukkan kepalaku, mencoba berpikir keras. "Apakah ancaman-ancaman yang mereka berikan padamu, nadanya sama dengan apa yang pernah kau bicarakan dengan orang lain soal pekerjaanmu itu?" Olivia memejamkan matanya sejenak, tampak sedang mengingat sesuatu di kepalanya. "Ya, terkadang, ada beberapa ejekan atau hinaan yang sama persis dengan apa yang baru saja kubahas dengan seseorang sebelumnya, tapi aku tidak yakin soal itu." "Contohnya seperti apa?" Aku memancing Olivia untuk mengungkapkan masalahnya lebih dalam. Gadis itu terdiam. Olivia kelihatan agak ragu menceritakan semua detailnya padaku. "Misalnya seperti, semalam aku membicarakan soal klienku yang aneh-aneh, kemudian keesokan harinya, pesan ancaman langsung kuterima dengan kata-kata yang seolah-olah dia mendengar semua yang kubicarakan waktu malam bersama rekan-rekan kerjaku. Itu sangat menyeramkan." "Oke, tapi apakah kau pernah berpikir bahwa pelakunya adalah seseorang diantara rekan kerjamu?" Olivia menggelengkan kepalanya. "Tidak, itu tidak mungkin. Mereka bukan orang yang seperti itu." Aku menganggukkan kepala. "Anggap saja benar, pelakunya bukan salah satu dari mereka. Lalu, apakah ada lagi seseorang yang mungkin kau curigai?" Baru saja aku bertanya lagi, bel sekolah langsung berbunyi dengan keras, menandakan waktu makan siang benar-benar sudah habis. Aku dan Olivia terpaksa menghentikan pembicaraan, dan berjalan kembali ke kelas. Aku belum puas, informasinya masih sedikit, aku ingin mengorek lebih dalam lagi. Kulihat, Olivia juga seperti masih ingin mengungkapkan hal-hal lain terkait masalahnya padaku, tapi sayangnya terhimpit oleh jam pelajaran. Di sore hari, ketika jam sekolah usai, aku mencoba menghampiri Olivia di depan perpustakaan, saat gadis itu sedang berbincang dengan beberapa temannya. "Hey, apa kau punya waktu sebentar? Aku ingin kita melanjutkan—" "Maaf, Crowder, tidak bisa sekarang," Olivia tersenyum dengan menggelengkan kepalanya padaku. "Aku harus rapat OSIS." Pada akhirnya, kami tidak lagi punya kesempatan untuk membicarakannya, bukan hanya hari itu, tapi juga keesokan dan keesokan harinya, Olivia tampak menghindar dan menjaga jarak dariku. Sekalipun dia berbicara, hanya soal urusan-urusan kelas dan semacamnya. Itu membuatku semakin kesal karena tidak bisa mendapatkan informasi lain darinya. Sampai akhirnya, tibalah hari di mana aku berkumpul dengan anggota-anggota organisasiku. Kami sepakat untuk selalu memulai pertemuan dan rapat hanya di Hari Jumat, seusai pulang sekolah. Hanya sekali dalam seminggu. Di luar itu, aku memerintahkan mereka untuk pura-pura tidak saling mengenal. Seperti minggu kemarin, kami kembali bertemu di belakang sekolah, tepatnya di ruang kelas antah-berantah yang tidak digunakan lagi. Aku senang melihat mereka kembali hadir di pertemuan ini, dengan jumlah yang lengkap, tidak ada seorangpun yang bolos hari ini. "Jadi, apa yang akan kita bahas hari ini?" tanya Nicholas Smith dengan menekan kaca matanya. Dia melirik tajam padaku, seolah-olah tidak sabar pada sesuatu yang akan kubahas di pertemuan resmi pertama mereka. "Baiklah, aku akan langsung saja," Saat aku bersuara, kefokusan mereka dalam memperhatikanku jadi semakin serius. "Ada kasus pertama yang akan kuberikan pada kalian, ini mengenai seorang siswi yang dirundung karena pekerjaan paruh waktunya adalah menjadi seorang pelacur." "Hoooo?" Eleanor Romanes tersenyum lebar saat mendengar kata 'p*****r' yang keluar dari mulutku. "Ternyata ada yang lebih binal dariku, ya?" Sementara anggota-anggotaku yang lain terkejut mendengar kasus tersebut. "Tunggu dulu," Tampaknya Nicholas Smith, anggotaku yang satu ini, akan melemparkan sebuah pertanyaan sinis padaku. "Bukankah itu melanggar hukum?" Aku menaikan sebelah alisku. "Aku tahu arah pertanyaanmu. Kau membahas soal legalitas usia dari siswi tersebut yang terlibat dalam bisnis prostitusi bukan?" "Tentu saja," Kali ini, nada bicara Nicholas Smith lebih kencang dari biasanya. "Kita masih di bawah umur. Melakukan pekerjaan orang dewasa seperti itu, sangat melanggar hukum. Lupakan soal perundungan, kasusnya akan sangat rumit jika pihak luar tahu dan ikut campur di dalamnya." Aku terkekeh mendengar penjelasan dari si rambut perak berkaca mata itu. "Jadi intinya kau ingin bilang apa, Smith?" "Intinya," Nicholas Smith memelototiku dengan tatapan matanya yang sangat tajam. "Aku tidak ingin kita ikut campur ke dalam masalah seperti itu." The cafeteria is quiet, lunch time will soon be over. Me and Olivia were sitting at an empty cafeteria table, now the girl is willing to tell me all her problems, of course after I persuaded her repeatedly. I actually feel guilty forcing him to tell a story like this, because there are some people who are uncomfortable telling their problems to others, but since I saw what happened with my own eyes, I couldn't just ignore it. "Before that, are you really okay?" I asked her, because I felt that Olivia was very stressed, both physically and mentally. "I'm fine." Olivia smiled faintly at me, indicating that there was nothing to worry about her, even though her lips were dry now. "Okay, so can you tell me everything now?" I asked straight to the point. There was a moment of silence, before Olivia finally opened her mouth. "Actually what they wrote on the blackboard this morning, they weren't really wrong about that." I furrowed my brows, not understanding what he meant. "Can you be more specific? I don't—" "I'm a w***e, Crowder," Olivia glared at me, looking unmoved, but tears welling up in her eyes. "This headmaster of yours really is a w***e, Paul Crowder." "What?" My breath stopped for a moment, before my thoughts began to return to normal. "So just because of that you were bullied all over by other people? Just because you're a p********e? to hell with them, I'm sure you have your own reasons for choosing that path. Now tell me, who were the people who bullied you?" Wiping away the tears that were already dripping down her cheeks, Olivia answered my question in a hoarse voice. "I don't know. I was shocked too. I never discussed that with anyone in this school." "But you've discussed it with anyone other than this school, haven't you?" I started investigating Olivia's statement and found a small gap there. "Name any people you've talked to about your jobI'd be happy if you'd write down a list of names, if you don't mind." "I don't think so," Olivia said, which obviously made me a little angry to hear that. "You don't have to go that far, after all, if I wrote a list of names, what would you wantI don't want this problem to get any more serious. Leave them alone, I'll take care of it myself. It's none of your business, Crowder." I squeaked. "Fine, I see," Holding back my annoyance, I tried to find another way. "You don't want me to meddle in your business, do you?" Olivia was silent. "Then let's switch this topic to when did they do that to you? I won't interfere, I'm just asking, okay?" I try to focus on another point, so that I can at least find some clues. "This morning was the first time they had done it in person," Olivia replied with a tense look on her face. "I've been getting similar threats from a week ago, via text messages on my cell phoneI can't find out or track who the sender is, because they use the anonymous feature." "Anonymous feature, huh," I nodded my head, trying to think hard. "Are the threats they're giving you the same tone as what you've been talking to other people about your job?" Olivia closed her eyes for a moment, seeming to be remembering something in her head. "Yes, sometimes, there are some taunts or insults that exactly match what I just discussed with someone before, but I'm not sure about that." "What is the example like?" I provoked Olivia to reveal the problem more deeply. The girl fell silent. Olivia looks a little hesitant to tell me all the details."It's like, last night I was talking about my weird client, then the next day, I received an immediate threatening message with words as if he overheard everything I talked about at night with my co-workers. It was so scary." "Okay, but have you ever thought that the culprit was someone among your co-workers?" Olivia shook her head. "No, that's impossible. They're not that kind of person." I nodded my head. "Let's just say it's true, the culprit is not one of them. Then, is there anyone else you might suspect?" Just as I asked again, the school bell immediately rang loudly, indicating that lunch time was really over. Olivia and I were forced to stop talking, and walked back to class. I'm not satisfied, the information is still a bit, I want to dig deeper. I see, Olivia also seems to still want to reveal other things related to her problem to me, but unfortunately is squeezed by class time. in the afternoon, when school hours were over, I tried to approach Olivia in front of the library, while the girl was talking to some of her friends. "Hey, do you have a minute? I want us to continue—" "Sorry, Crowder, can't now," Olivia smiled shaking her head at me. "I have a student council meeting." in the end, we no longer had a chance to talk about it, not only that day, but also the next and the next day, Olivia seemed to be avoiding and keeping her distance from me. Even if he spoke, it was only about class matters and such. it pissed me off even more that I couldn't get any more information out of him. Until finally, the day came where I gathered with the members of my organization. We agreed to always start meetings and meetings only on Fridays, after school. Only once a week. beyond that, I ordered them to pretend not to know each other. Like last week, we met again at the back of the school, in a classroom in the middle of nowhere that was no longer used. I'm glad to see them back at this meeting, in full numbers, no one missed today. "So, what are we going to talk about today?" asked Nicholas Smith, pressing his glasses. he glanced at me intently, as if impatient for something I was going to discuss at their first official meeting. "Alright, I'll get straight to it," As I spoke, their focus on paying attention to me grew even more serious. "There's the first case I'm going to give you guys, it's about a girl who was bullied because her part-time job was being a prostitute." "Hoooo?" Eleanor Romanes smiled widely when she heard the word 'w***e' that came out of my mouth. "It turns out that there are more mischievous than me, huh?" While my other members were shocked to hear the case. "Wait a minute," It seemed that Nicholas Smith, my member on this one, was about to throw a cynical question at me. "Isn't that against the law?" I raised an eyebrow. "I know where your question is going. You're discussing the legal age of the student involved in the p**********n business, right?" "Of course," This time, Nicholas Smith's tone was louder than usual. "We're still underagedoing adult work like that, it's very against the law. Forget about bullying, the case will be very complicated if outsiders find out and interfere in it." I chuckled hearing the explanation from the silver haired bespectacled. "So basically what do you want to say, Smith?" "The point is," Nicholas Smith glared at me with his piercing eyes. "I don't want us to meddle into such matters."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD