BAB 10

4984 Words
Saat ini, Olivia sudah ada di dalam kamarku, sedang duduk di atas kasur dengan merapikan rambut hitam panjangnya yang agak berantakan. Alasan kenapa dia bisa ada di sini karena aku memutuskan untuk membawanya pulang, aku melihat dia sangat ketakutan untuk kembali ke rumahnya dan dia pasti membutuhkan tempat yang aman untuk beristirahat dengan tenang. Jangan bahas pendapat kedua orangtuaku, mereka tentu saja keberatan mengetahui putranya membawa gadis asing ke dalam kamar, tapi aku berhasil meyakinkan mereka untuk tidak perlu cemas, dan menjelaskan situasi yang dialami oleh Olivia. Pada akhirnya mereka ikut bersimpati dan mengizinkan Olivia untuk menginap. Aku duduk di lantai, menyenderkan punggungku ke tembok, sambil memandangi kehadiran ketua kelasku yang ada di dalam kamarku. Sudah hampir 20 menit kami berada di dalam ruangan yang sama tapi belum saling berbicara sama sekali, aku tidak tahu mengapa dia belum mengatakan apapun, sedangkan alasanku tidak bersuara karena aku ingin memberikannya ketenangan sebab dia pasti membutuhkannya. "Crowder," Akhirnya Olivia mengeluarkan sebuah suara, dia memanggil nama belakangku. "Terima kasih karena telah memberikan tempat untukku beristirahat, aku tidak tahu harus bilang apa selain berterima kasih sebanyak-banyaknya. Kau menolongku, kau memahami situasiku, aku beruntung bisa sekelas denganmu, Paul Crowder." Aku hanya memasang wajah datar saat mendengar segala ucapannya. "Lupakan soal itu, sekarang bisakah kau berikan alasan mengapa belakangan ini kau seperti menghindariku? Apakah kau sedang menjaga jarak atau apa? Padahal aku hanya ingin kita kembali membahas masalahmu, aku ingin memecahkannya dan kau malah mempersulit semuanya." Aku menggaruk bagian belakang kepalaku, sedikit menjambak helaian rambut hitam pendekku karena saking kesalnya mengingat hari-hari kemarin di sekolah saat Olivia menolak permintaanku berkali-kali untuk berbicara dengannya. Lalu situasinya kembali hening, sepertinya ketua kelasku bingung harus mengatakan apa karena mungkin alasannya lebih rumit dari yang kusadari. "Aku minta maaf, aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu, aku hanya merasa tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan soal itu." "Omong kosong," balasku dengan menatap tajam pada matanya. "Jelas masih banyak yang ingin kau bicarakan denganku, tapi ada sesuatu yang menghalangimu. Sampai akhirnya, teror itu kembali datang, lalu kau ketakutan dan terpaksa meminta bantuanku." Aku melihat bibir Olivia bergetar, dia seperti mau menangis sekarang. Tidak ingin membuatnya semakin tertekan, aku beranjak bangun dari posisi dudukku dan berjalan menuju pintu kamar, berniat untuk keluar, memberikannya ruang untuk merenungkan masalahnya sendirian, tapi saat tanganku akan menarik kenop pintu, ia kembali berbicara. "Kau benar, Crowder," ucap Olivia dengan suara yang sendu. "Sebenarnya masih banyak yang ingin kubicarakan. Tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin orang lain ikut campur dengan masalahku, itulah alasan kenapa aku memutuskan untuk menjaga jarak dan menjauhimu belakangan ini." Bola mataku melirik sedikit ke posisi Olivia berada. "Lalu bagaimana dengan sekarang? Apa kau masih ingin tetap seperti itu?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, justru sebaliknya. Aku menyadari bahwa aku tidak mampu menghadapi masalah ini sendirian, semakin lama rasanya semakin menakutkan. Aku merasa mereka tidak akan berhenti menerorku. Aku bisa gila jika terus mengalami hal seperti ini." Aku tersenyum dan membalikkan badan sehingga niatku untuk keluar dari kamar ditunda untuk sementara, Olivia sudah mau untuk kembali membahas masalahnya denganku, dan ini akan jadi informasi yang sangat bagus untuk kuberikan pada organisasiku nanti. "Oke," Sekarang aku duduk saling berhadapan dengannya di atas kasur, kami saling menatap dengan serius. "Aku tahu masalahmu semakin serius dan aku tidak ingin bertele-tele, karena ini sudah malam. Aku ingin kau tulis nama-nama orang selain rekan-rekan kerjamu, yang pernah kau ajak bicara soal pekerjaanmu?" Aku memberikan buku dan pensil padanya. Pada awalnya, Olivia terdiam sejenak dalam beberapa detik, ia seperti sedang mengingat keras siapa saja orang yang pernah diajaknya bicara soal pekerjaannya, kemudian dia mulai menuliskan beberapa huruf di buku yang kuberikan padanya. Aku penasaran berapa nama yang dia tulis di sana, tapi aku melihat dia sepertinya sedang kesulitan mengeja huruf-hurufnya dengan benar. Dalam 5 menit, dia telah selesai melaksanakan perintahku. "Kemari, biar kulihat." pintaku, dan direspon olehnya dengan mengembalikan buku itu padaku. Aku langsung mengecek hasilnya dan cukup terkejut saat menyadari bahwa hanya satu nama saja yang dia tulis di sana. "Hanya satu, kau serius?" Olivia menganggukkan kepalanya. "Ya, seingatku, selain dengan rekan-rekan kerjaku yang seprofesi denganku, aku hanya pernah membahasnya dengan seseorang beberapa bulan yang lalu, dan orang itu adalah Bobby, mantan pacarku." Oke. Ini tidak seperti yang kubayangkan, kupikir aku akan melihat beberapa nama yang ia tulis di buku ini, tapi ternyata hanya satu nama saja. Sebenarnya itu bagus, karena penyelidikanku jadi semakin mudah, tidak memakan waktu banyak karena hanya mencari informasi satu orang saja. Namun, entah kenapa, ada hal-hal yang masih janggal di sini. "Lalu kenapa kau hanya menulis nama depannya saja? Aku ingin nama lengkapnya, beserta segala informasi yang kau tahu soal orang itu, seperti penampilannya, usianya, alamat rumahnya, atau—" "Maaf, tapi hanya itu yang kutahu dari mantan pacarku," Olivia memotong perkataanku dengan raut muka yang gelisah. "Aku berhubungan dengan Bobby hanya sebulan, dan kami bahkan belum pernah melakukan panggilan video, atau bertemu secara langsung, jadi aku belum tahu seperti apa wajahnya, dan dia juga sebaliknya," Di bagian ini aku sangat kaget, itu artinya selama itu mereka hanya melakukan hubungan jarak jauh yang bahkan tidak mengenal wajah pacar masing-masing. "Tapi aku mengakhiri hubungan itu secara sepihak karena dia mulai aneh dan menyebalkan." Aku mengernyitkan keningku, terheran. "Bisa kau jelaskan lebih detail hal aneh dan menyebalkan apa darinya?" Olivia menggigit bibir bawahnya, sepertinya dia agak ragu untuk membeberkannya, tapi karena dia tahu informasi itu penting untuk memecahkan masalahnya, mau tidak mau ia harus mengatakannya padaku. "Setiap hari dia mengirimiku foto penisnya, dia akan marah jika aku tidak memberikan tanggapan pada foto-foto yang dia kirimkan. Dia juga sering memaksaku untuk mengirim foto-foto telanjang, tiap aku menolak, dia akan melakukan spam dengan mengirim pesan atau meneleponku berulang kali tanpa henti. Kehidupanku mulai terganggu dan aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan beracun itu dan mulai memblokir semua akun sosial medianya." Olivia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya kemudian ia melanjutkan kata-katanya. "Aku tidak tahu kalau dia sangat m***m, pemarah dan egois, padahal saat kami pertama kali bertemu di sosial media, dia sangat ramah, lembut, dan sopan. Aku sangat menyesal pernah berhubungan dengan orang seperti itu. Dia menjijikan." Masih terasa ada yang janggal, aku kembali bertanya. "Ya, kau benar, dia sangat menjijikan, aku bahkan ingin menghajarnya. Tapi apakah kau pernah mengabulkan permintaannya, seperti mengirim foto-foto telanjangmu padanya?" Dengan cepat, Olivia menjawab. "Tidak!" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Satupun tidak pernah, itulah kenapa dia selalu marah padaku." "Bagus," ucapku dengan tersenyum tipis. "Lalu bagaimana tanggapannya saat dia mengetahui bahwa kau bekerja sebagai pekerja seks?" "Itulah salah satu penyebab kenapa aku putus dengannya, dia mulai berani menghina pekerjaanku padahal aku sudah mengatakan padanya bahwa alasanku bekerja seperti itu karena...," Air matanya langsung menetes. "...harus membiayai pengobatan ayahku yang sedang dirawat di rumah sakit." Di bagian ini aku sangat terkejut, karena aku juga baru mengetahui alasan yang sebenarnya dari Olivia yang memilih untuk melakukan pekerjaan semacam itu. Ternyata begitu, ya. Aku benar-benar terdiam sekarang, tidak tahu harus bilang apa, terutama saat gadis itu mulai menundukkan kepalanya, menangis tersengguk-sengguk di depanku. "Maaf, Crowder, aku jadi membasahi sepraimu." lirihnya dengan mengelap air matanya dan mulai menegakkan kembali kepalanya. Tidak nyaman berada di situasi yang sendu seperti ini, aku langsung saja memberanikan diri untuk menenangkannya. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu, tapi sekarang kau tidak perlu takut, kau tidak sendirian lagi. Ada aku di sini bersamamu," ucapku dengan suara yang pelan. Olivia tersenyum melihatku berkata demikian. "Ngomong-ngomong, apakah kau pernah berpikir bahwa semua teror yang kau alami ini, berasal dari mantan pacarmu?" Dengan suara yang gemetar, Olivia menjawab. "Sebenarnya aku juga berpikir begitu." Currently, Olivia is in my room, sitting on the bed straightening her long black hair which is a bit messy. the reason why he is here is because I decided to take him home, I saw he was very scared to go back to his house and he definitely needed a safe place to rest in peace. let's not talk about my parents' opinion, they certainly objected knowing their son had brought a strange girl into the room, but I managed to convince them not to worry, and explained Olivia's situation. in the end they sympathized and allowed Olivia to stay. I sat on the floor, leaning my back against the wall, looking at the presence of my class president in my room. it's been almost 20 minutes we've been in the same room but haven't spoken to each other at all, I don't know why he hasn't said anything, while the reason I'm silent is because I want to give him peace because he definitely needs it. "Crowder," Olivia finally let out a voice, she called my last name. "Thank you for giving me a place to rest, I don't know what to say other than thank you very muchYou helped me, you understood my situation, I was lucky to be in your class, Paul Crowder." I just put on a flat face when I heard everything he said. "Forget about it, now can you give a reason why you've been avoiding me latelyare you keeping your distance or what? Even though I just want us to go back to discussing your problem, I want to solve it and you are making things difficult." I scratched the back of my head, slightly tugging at the strands of my short black hair because I was so annoyed remembering yesterday at school when Olivia refused my repeated requests to talk to her. then the situation was quiet again, it seems my class president is confused what to say because maybe the reason is more complicated than I realized. "I'm sorry, I didn't mean to hurt your feelings, I just feel like there's nothing more we can talk about about it." "Nonsense," I replied, staring intently into his eyes. "Obviously there's a lot you want to talk to me about, but something's holding you back. Until finally, the terror came back, and you were scared and had to ask for my help." I saw Olivia's lips trembled, she looked like she was about to cry now.Not wanting to make him more depressed, I got up from my sitting position and walked towards the bedroom door, intending to leave, giving him space to think about his problems alone, but just as my hand was about to tug on the doorknob, he spoke again. "You're right, Crowder," Olivia said in a sad voice. "Actually, there's still a lot I want to talk about. But on the other hand, I also don't want other people to interfere with my problems, that's the reason why I've decided to keep my distance and stay away from you lately." My eyeballs glanced slightly at where Olivia was. "Then what about now? Do you still want to stay like that?" He shook his head. "No, quite the opposite. I realized that I couldn't face this problem alone, the longer it felt the more scary it feltI had a feeling they wouldn't stop terrorizing me. I'm going to go crazy if I keep going through things like this." I smiled and turned around so that my intention to leave the room was postponed for a while, Olivia was willing to go back to discussing the matter with me, and this would be very good information to share with my organization later. "Okay," Now that I'm sitting across from him on the bed, we look at each other seriously. "I know your problem is getting serious and I don't want to beat around the bush, because it's getting lateI want you to write down the names of people other than your co-workers you've talked to about your job?" I handed him the book and pencil. at first, Olivia was silent for a few seconds, she seemed to be remembering hard who she had spoken to about her work, then she started to write down a few letters in the book I gave her. I wonder how many names he wrote there, but I noticed he seemed to be having a hard time spelling the letters correctly. Within 5 minutes, he had finished carrying out my orders. "Come, let me see." I asked, and he responded by returning the book to me. I immediately checked the results and was quite surprised to realize that only one name was written there. "Only one, are you serious?" Olivia nodded her head. "Yeah, as I recall, apart from my coworkers who are in the same profession as me, I only ever discussed it with someone a few months ago, and that person was Bobby, my ex-girlfriend." Okay. this is not what i imagined, i thought i would see some of the names he wrote in this book, but it turned out to be only one name. It's actually good, because my investigation is getting easier, it doesn't take much time because it's only looking for one person's information. however, for some reason, there are things that are still odd here. "Then why did you only write down his first name? I want his full name, along with any information you know about the person, such as his appearance, age, home address, or—" "Sorry, but that's all I know from my ex-boyfriend," Olivia cut me off with a worried look on her face. "I've only been in touch with Bobby for only a month, and we haven't even had a video call, or met in person, so I don't know what he looks like yet, and he's the other way around," At this point I was really shocked, that means they've only been doing this for a while. long distance relationshipwho don't even know each other's faces."But I ended the relationship unilaterally because he was starting to get weird and annoying." I furrowed my brows, surprised. "Can you explain in more detail what strange and annoying thing about him?" Olivia bit her lower lip, she seemed a bit hesitant to reveal it, but since she knew the information was important to solve her problem, she couldn't help but tell me. "Every day he sends me photos of his p***s, he will be angry if I don't respond to the photos he sends. He also often forces me to send nude photos, every time I refuse, he will spam by texting or calling me repeatedly no stopping. My life started to get disrupted and I decided to end this toxic relationship and started blocking all of his social media accounts." Olivia paused for a moment to catch her breath then she continued her words. "I didn't know he was so perverted, grumpy and selfish, even though when we first met on social media, he was very friendly, gentle, and polite. I'm so sorry I ever had anything to do with someone like that. He's disgusting." Still feels something odd, I asked again. "Yeah, you're right, he's so disgusting, I even wanted to beat him up. But have you ever granted his wish, like sending him your nude photos?" Quickly, Olivia answered. "Not!" He shook his head. "None ever, that's why he's always mad at me." "Good," I said with a faint smile. "Then how did he react when he found out that you worked as a s*x worker?" "That's one of the reasons why I broke up with him, he started to dare to insult my work even though I told him that the reason I worked like that was because ..." Her tears immediately fell. "...have to pay for the treatment of my father who is being treated at the hospital." at this part I was very surprised, because I also just found out the real reason Olivia chose to do such work. Turns out, yes. I'm really speechless now, don't know what to say, especially when the girl starts to lower her head, sobbing sobbing in front of me. "Sorry, Crowder, I got your sheets wet." she whispered as she wiped her tears and started to raise her head again. uncomfortable being in a sad situation like this, I immediately ventured to calm him down. "I'm sorry for what happened to you, but now you don't have to be afraid, you're not alone anymore. I'm here with you," I said in a low voice. Olivia smiled seeing me say that. "By the way, did you ever think that all this terror you're going through comes from your ex-girlfriend?" With a trembling voice, Olivia answered. "Actually I thought so too." Semenjak malam itu, Olivia tidak lagi ragu untuk memberikan segala informasi terkait masalahnya padaku, aku senang karena itu sangat membantu organisasiku dalam menyelidiki kasus tersebut. Kami membicarakan hal itu dari jam 10 malam sampai jam 2 dini hari, aku bahkan bisa melanjutkannya sampai pagi terang jika mami tidak menggedor-gedor pintu kamar menyuruh kami untuk segera tidur. Aku tertidur di sofa ruang televisi, sementara Olivia terlelap di kasur kamarku. Ketika cahaya matahari muncul, dengan rasa kantuk yang masih berat, aku memaksakan diri untuk bangun dan segera bersiap-siap untuk pergi sekolah. Kulihat, kamarku masih terkunci, sepertinya Olivia belum bangun. Aku mengabaikannya dan langsung berangkat setelah sarapan. Di kelas, aku memutuskan untuk melanjutkan tidurku. Namun, baru saja kesadaranku hendak melayang ke alam mimpi, kupingku mendengar suara langkah kaki seseorang yang mendekati mejaku. Saat aku sedikit membuka kelopak mata untuk memastikan, aku kaget saat sosok tersebut ternyata Violetta Beganville, gadis lugu nan pemalu berambut ungu panjang, yang juga merupakan salah satu anggota dari organisasi rahasiaku. Aku tidak menyangka hari ini dia berani mendekatiku secara langsung di kelas. "Ada apa, Beganville?" tanyaku tanpa basa-basi, sambil menahan rasa kantukku yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. Dengan suara yang sangat pelan, Violetta Beganville terlihat sedang berbicara, mulutnya bergerak tapi aku sama sekali tidak bisa mendengarnya karena suasana kelas yang cukup ramai. "Bisakah kau keraskan sedikit suaramu? Aku tidak bisa mendengarnya." Menyadari hal itu, gadis itu terdiam sambil menundukkan kepalanya, membuat untaian-untaian rambut ungunya berjatuhan dari pundak. Namun, dia kembali menegakkan kepala dan melangkahkan kakinya, semakin mendekatiku. Aku agak menjauh saat mukanya berada tepat di depan wajahku. "Apa yang kau lakukan? Kau tidak perlu sedekat ini." Violetta Beganville menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu dia memaksakan diri untuk terus mendekatkan wajahnya padaku, sampai akhirnya dia berada sangat-sangat-sangat dekat, bahkan sekarang aku bisa menghirup aroma parfum dari badannya dan wangi sampo dari rambutnya. Dia segera mendekatkan mulutnya pada telingaku dan membisikkan sesuatu di sana. "Aku melihatmu kemarin dengan Olivia, keluar dari sekolah di sore hari, apakah ada sesuatu yang terjadi? Kenapa dia belum datang hari ini? Apakah dia baik-baik saja? Aku khawatir sesuatu yang—" "Baik! Baik! Aku mengerti!" Aku langsung menjauhkan telingaku dari mulut Violetta Beganville, saat semua orang di kelas mulai memusatkan perhatiannya pada kami, mereka sepertinya menganggap aku dan gadis berambut ungu ini sedang melakukan hal m***m di sini. "Aku akan menjelaskannya nanti di grup, jadi tunggu saja dan kau bisa kembali ke kursimu, Beganville." Senang mendengar responku, Violetta Beganville tersenyum simpul dan menganggukkan kepalanya, lalu dia membalikkan badan untuk kembali pulang ke tempat duduknya. Setelah dia sudah benar-benar duduk di kursinya, aku menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Aku tidak tahu kalau ternyata, dibalik keheningannya, Violetta Beganville seorang gadis yang agresif dan cerewet. Jika gadis itu punya suara yang sedikit lebih keras, mungkin dia akan jadi orang yang berisik dan menyebalkan. Sejujurnya aku masih kaget dengan kenyataan yang baru saja kulihat dari sisi lain Violetta Beganville, tapi aku berusaha melupakan hal sepele itu dan segera mengaktifkan ponselku untuk memberikan segala informasi yang kudapat dari Olivia pada seluruh anggota organisasiku di grup sosial media. Aku juga mengirim beberapa informasi lain, seperti beberapa gambar berisi pesan-pesan ancaman via anonim, dan pesan-pesan pribadi dari Bobby, mantan pacar Olivia, agar Angela Ribella, si gadis hacker berambut pirang, bisa beraksi untuk menyelidiki lebih lanjut terkait siapa sebenarnya lelaki yang pernah berhubungan dengan ketua kelasku dan apakah itu ada kaitannya dengan pesan-pesan teror tersebut. "Sekarang aku bisa istirahat dengan tenang." ucapku dengan menguap lebar lalu kembali melanjutkan tidurku yang sempat tertunda. Hari ini aku tidak begitu fokus memperhatikan pelajaran karena rasa kantuk yang luar biasa, tapi saat waktu makan siang datang, aku tidak lagi mengantuk karena aku telah menerima beberapa pesan dari Angela Ribella di grup bahwa dia menemukan sesuatu yang penting. Saat aku dan anggotaku yang lain bertanya hal penting apa, Angela Ribella mengungkapkan di grup bahwa pelaku yang selama ini meneror Olivia, ternyata memang Bobby, mantan pacar dari ketua kelasku sendiri. Tentu saja dia tidak sekedar memberitahu saja, Angela Ribella juga memberikan sejumlah bukti seperti gambar lokasi yang menemukan bahwa pesan-pesan ancaman itu berasal dari lokasi yang sama dengan beberapa pesan yang dikirim oleh Bobby. Ia juga menunjukkan riwayat hidup dari Bobby, dari kartu identitasnya, kartu keluarganya, hingga ke hal-hal penting lainnya. Bisa disimpulkan bahwa mantan pacar Olivia berusia 21 tahun dengan nama lengkap Bobby Finn, tinggal sendirian di sebuah apartemen lantai 3 di tepi pantai selatan San Fransisco. Bobby diketahui pernah bekerja di toko kue 3 tahun yang lalu, tapi sekarang dia tidak jelas bekerja sebagai apa. Anggota-anggotaku banyak yang tercengang saat menerima informasi itu, tapi aku tidak begitu kaget karena aku sudah menduganya sejak awal, tepatnya saat Olivia mulai bercerita soal mantan pacarnya yang beracun itu. Tapi serius, aku sangat kagum pada cepatnya Angela Ribella mendapatkan bukti-bukti tersebut, padahal kami masih berada di jam sekolah. Saat aku sedang serius membaca pesan-pesan dari grup, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku tersentak saat mengetahui Olivia-lah yang melakukannya, dia kini sedang berdiri di belakang kursiku dan memasang wajah cemberut. "Apa?" tanyaku dengan kesal, dia mengganggu waktu seriusku. "Beraninya kau, Crowder," ucap Olivia dengan memicingkan matanya padaku. "Kau meninggalkanku tadi pagi, aku jadi berangkat siang dan dihukum oleh OSIS, padahal aku sendiri anggota OSIS! Ah, itu memalukan!" "Kau bukan tanggung jawabku, belajarlah mandiri di rumah orang lain." Tegasku tanpa basa-basi. "Kau kejam sekali, ya." Olivia sedikit tertawa mendengarnya. "Tapi sekali lagi, terima kasih banyak, Crowder. Karena telah memperbolehkanku menginap di rumahmu. Kau adalah pahlawanku." Saat mengatakan itu, Olivia mencubit bagian belakang leherku dan berlalu begitu saja dari mejaku tanpa permisi. Dasar pengganggu. Baru saja perhatianku teralihkan sebentar, mataku terbelalak saat membaca pesan-pesan baru yang dikirim oleh Angela Ribella di grup. Gadis itu menjelaskan bahwa laptopnya, yang merupakan alat yang dia gunakan barusan untuk meretas identitas asli dari Bobby, layarnya jadi merah total, ia juga mengirim bukti foto layar laptopnya. Aku tidak mengerti mengapa bisa begitu. Angela menduga kalau laptopnya telah terkena virus kiriman dari seseorang, dan dia bilang dirinya sedang berusaha mencari cara untuk memulihkannya lewat alat-alat lain. Aku berseru di grup, melarang Angela untuk tidak bertindak lebih jauh karena itu bisa berakibat fatal, tapi sayangnya dia sudah tidak membalas lagi, yang ada hanyalah respon dari beberapa anggotaku yang lain, sekarang kami semua khawatir pada keadaan si gadis pirang itu. Eleanor Romanes, si gadis berambut merah, yang sekelas dengan Angela Ribella, menerangkan bahwa saat ini si gadis hacker sedang pergi keluar kelas, berniat meminta bantuan pada orang-orang yang juga ahli teknologi di sekolah. Saat ditanya kira-kira Angela pergi kemana, Eleanor menjawab bahwa dia tidak tahu. Apa yang terjadi pada Angela Ribella, salah satu anggota organisasiku, membuat kami semua panik. Aku tidak begitu pandai soal teknologi, tapi aku tahu persis resiko yang terjadi jika komputer, laptop, atau ponsel kita terkena virus, itu bisa menyebabkan sesuatu yang mengerikan. Terutama jika virus itu berasal dari kiriman orang lain. Violetta Beganville memandangiku dari tempat duduknya, dan aku berusaha mengabaikan tatapan matanya. Pandanganku saat ini sedang kualihkan ke aktivitas teman-temanku yang ada di kelas, mereka sedang mengobrol dan tertawa. Aku melakukan itu agar pikiranku tetap tenang. Namun, ternyata itu salah. Ketika perhatianku terfokus pada orang-orang di kelas, aku mengabaikan sesuatu yang sedang terjadi pada ponselku. Saat pandanganku dikembalikan ke layar ponsel, mataku membelalak karena semuanya jadi merah total. Itu persis seperti apa yang terjadi pada laptopnya Angela Ribella. Dari posisi duduknya, Violetta Beganville tiba-tiba melemparkan ponselnya ke meja dan menjerit, membuat seisi kelas kaget, sementara napasku jadi terengah-engah sebab aku yakin gadis itu juga mengalami hal yang sama denganku. Tidak, mungkin bukan cuma kami berdua. Semua anggota organisasiku pasti juga mengalami hal yang sama sekarang. Pada akhirnya, bukan hanya Angela Ribella saja yang kena, tapi satu grup diserang. Since that night, Olivia no longer hesitates to give me any information related to her problem, I'm happy because it really helps my organization in investigating the case. we talked about it from 10 pm to 2 am, i could even continue it till the morning light if mami didn't bang on the bedroom door telling us to go to sleep. I fell asleep on the television room sofa, while Olivia fell asleep on my bedroom bed. when the sun came out, with still heavy drowsiness, I forced myself to get up and immediately get ready to go to school. I see, my room is still locked, it seems Olivia hasn't woken up yet. I ignored him and left immediately after breakfast. in class, I decided to continue my sleep. However, just as I was about to drift off to dreamland, my ears heard the sound of someone's footsteps approaching my desk. When I slightly opened my eyelids to confirm, I was surprised to find that it was Violetta Beganville, a shy, innocent girl with long purple hair, who is also a member of my secret organization. I didn't expect him to dare to approach me directly in class today. "What's the matter, Beganville?" I asked without further ado, holding back my sleepiness which was getting more and more worrying. in a very low voice, Violetta Beganville seemed to be talking, her mouth moved but I couldn't hear it at all because the class was quite busy. "Can you raise your voice a little? I can't hear it." Realizing that, the girl fell silent while lowering her head, making strands of her purple hair fall from her shoulders. However, he straightened his head again and stepped on his feet, getting closer to me. I was a bit away when his face was right in front of mine. "What are you doing? You don't need to be this close." Violetta Beganville shook her head, then she forced herself to keep her face close to mine, until finally she was so, so, so close, that now I can smell the perfume from her body and the smell of shampoo from her hair. he immediately brought his mouth close to my ear and whispered something there. "I saw you yesterday with Olivia, getting out of school in the afternoon, did something happen? Why hasn't she come today? Is she okay? I'm worried about something—" "Fine! I understand!" I immediately took my ear away from Violetta Beganville's mouth, when everyone in the class started to focus on us, they seemed to think that this purple haired girl and I were doing some perverted thing here"I'll explain later in the group, so just wait and you can go back to your seats, Beganville." Delighted at my response, Violetta Beganville smiled and nodded her head, then turned around to return to her seat. after he was completely seated in his chair, I took a deep breath and exhaled slowly. I didn't know that, behind her silence, Violetta Beganville was an aggressive and chatty girl. if the girl had a slightly louder voice, maybe she would be a loud and annoying person. .Honestly, I'm still shocked by the fact that I just saw Violetta Beganville from the other side, but I tried to forget about that trivial thing and immediately activated my cell phone to share all the information I got from Olivia to all members of my organization on social media groups. I also sent some other information, such as some pictures containing anonymous threatening messages, and private messages from Bobby, Olivia's ex-boyfriend, so that Angela Ribella, the blonde haired hacker girl, could step in to investigate further about who this guy really is. whichhad contact with my class president and whether it had anything to do with the messages of terror. ."Now I can rest in peace." I said with a big yawn and then went back to continue my sleep that had been delayed. today I wasn't paying much attention to the lesson due to extreme sleepiness, but when lunch time came, I was no longer sleepy because I had received several messages from Angela Ribella in the group that she found something important. when my other members and I asked what was important, Angela Ribella revealed in the group that the perpetrator who had been terrorizing Olivia, turned out to be Bobby, the ex-boyfriend of my own class president. Of course he didn't just tell him, Angela Ribella also provided a number of evidences such as location pictures which found that the threatening messages came from the same location as some of the messages that were sent by Bobby. he also shows Bobby's life history, from his ID card, family card, to other important things. .It can be concluded that Olivia's ex-boyfriend, 21 years old, whose full name is Bobby Finn, lives alone in a 3rd floor apartment on the south coast of San Francisco. Bobby is known to have worked in a cake shop 3 years ago, but now he is not clear what kind of job. Many of my members were taken aback when they received the information, but I wasn't that surprised because I had expected it from the start, precisely when Olivia started talking about her toxic ex-boyfriend. but seriously, I was amazed at how quickly Angela Ribella got the evidence, even though we were still in school hours. While I was seriously reading the messages from the group, someone tapped me on the shoulder from behind. I gasped when I found out Olivia was the one who did it, she was now standing behind my chair and had a scowl on her face. "What?" I asked annoyed, he was interrupting my serious time. "How dare you, Crowder," Olivia said squinting at me. "You left me this morning, so I left this afternoon and was punished by the student council, even though I'm a student council member myself! Ah, that's embarrassing!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD