Hampir setiap hari mereka bercerita. Apa pun mereka obrolkan. Masalah tugas sekolah, keluarga, hobi, dan yang lainnya. Keduanya merasa nyaman satu sama lain. Sampai pada suatu hari ayahnya Sita membaca chat mereka. Dan runtuhlah dunia Sita saat itu juga. Dia hanya bisa menangis dalam diam. Berat memang, di usia yang masih muda, harus memilih antara orangtua dan kekasih hati. Dia pun memblokir Zidan secara tiba-tiba dan mulai menjauhinya. Sita tahu Zidan marah padanya, tapi Sita juga tidak berusaha menjelaskan. Percuma, begitu menurut Sita. Kalaupun dijelaskan, tidak akan ada jalan keluar. Itu yang ada di pikirannya sebagai anak kelas 5 saat itu. Dia juga tidak bercerita kepada Fara dan Mira. Takut mereka ikut terseret masalahnya.
Flashback off
"Pagi-pagi udah melamun. Seperti biasa." Sang atasan, Bapak Zein, menegurnya.
"Eh bapak sudah datang. Ga ngelamun pak. Lagi memikirkan projek kita selanjutnya."
"Ya sudah. Siapkan bahan untuk meeting dengan perusahaan properti yang akan kita kunjungi nanti setelah makan siang. Beliau sudah menunggu."
"Baik pak."
Siang nanti, Sita akan menemani atasannya untuk melakukan kerja sama dengan salah satu perusahaan properti. Sita sudah terbiasa melakukan hal itu. Atasannya masih mencari seorang asisten, tapi sampai sekarang dia belum menemukannya.
Kalau dia sudah menemukan asisten, ke mana pun dia pergi, Sita tidak harus ikut. Dia cukup standbye di kantor. Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam makan siang. Sita pun pergi ke tempat makan biasa, bersama teman kantornya, Rifa dan Syifa. Mereka kenal sudah 3 tahun, saat Sita mulai bekerja di sana. Mereka berdua berada di divisi marketing.
"Kita mau makan apa hari ini?" tanya Syifa.
"Aku mau makan nasi rames ah, bosen makan ayam terus. Sekali-kali makan nasi campur," Rifa menjawab.
"Aku juga sama kaya Rifa ah. Udah lama ga makan rames."
"Okeylah. Kita makan di tempat biasa ya," kata Syifa.
Mereka pun menuju tempat makan biasa. Tempatnya hanya berjarak 5 menit dari kantor.
"Biasa ama ayam neng," tanya Ceu Lilis, pemilik warung nasi itu.
"Ga ah ceu, kami mau makan nasi rames, ga pake ayam ya, jangan lupa sambelnya," Rifa menjawab.
"Oke neng, ditunggu ya."
Sambil menunggu, mereka pun bercakap-cakap. Mereka tahu Sita akan meeting nanti siang dengan sebuah perusahaan properti.
"Kamu akan meeting dengan perusahaan Pak Redi, Ta?" tanya Rifa.
"Iya, rencananya sih begitu. Aku belum pernah bertemu dengan beliau secara langsung."
"Denger-denger sih dia orangnya baik, tapi tegas juga. Dan kamu tahu ga Ta, itu divisi marketing perusahaan mereka, cakep-cakep loh. Aku pernah bekerja bersama mereka," Syifa menambahkan.
"Ah bener itu Ta, aku ma Syifa pernah bareng mereka, ga lama sih. Tapi cukuplah cuci mata setiap hari. Kamu harus mulai mencari pujaan hatimu Ta. Mungkin kamu akan menemukannya di sana, hehe," seru Rifa.
"Aku tidak tertarik dengan ide kalian. Aku masih fokus bekerja dan mencari nafkah. Belum kepikiran ke arah sana ya."
Kedua temannya hanya menghela napas. Ini bukan pertama kalinya Sita berkata seperti itu. Sita seperti menutup diri. Dan mereka berdua pun ga bisa memaksa.
Setelah selesai makan,
mereka kembali ke kantor.
Sita mulai menyiapkan beberapa berkas yang harus dia bawa nanti ke kantor Pak Redi.
"Sudah siap Ta, kita berangkat sekarang," ajak Pak Zein.
"Baik Pak. Sopir sudah menunggu di lobi."
Mereka pun berangkat. Sita duduk di depan bersama sopir. Sedangkan atasannya di belakang. Tak sampai 20 menit, mereka telah tiba di tujuan. Sita izin dulu ke toilet, sedangkan Pak Zein langsung ke ruang meeting. Saat menuju toilet, tak sengaja karena sedang membaca berkas, dia menabrak seseorang.
"Maaf pak, saya ga sengaja," Sita meminta maaf pada orang yang telah dia tabrak.
"Lain kali hati-hati ya dek." Lalu pandangan keduanya bertemu. Keduanya merasakan familiar satu sama lain.
"Kamu sepertinya tidak asing. Apa kita pernah bertemu. Tunggu, kamu teman anak saya bukan ya?" tanya Pak Robi.
"Bapak juga sepertinya tidak asing. Bapak ayahnya Zidan bukan ya? Soalnya sudah bertahun-tahun ga ketemu. Takut saya salah." Sita menjawab.
"Iya betul. Saya ayahnya
Zidan. Kamu Sita ya? Yang dulu sering belajar bareng di rumah saya. Bersama Fara, Mita, Dafa, dan Gege. Mana mungkin saya lupa. Kalian grup SD yang selalu heboh kalo belajar di rumah saya."
"Iya betul Pak, saya Sita."
Robi memandangi Sita, cukup lama. Sita sudah dewasa sekarang. Penampilannya sangat rapi dan tampak manis dengan hijab hijau.
"Kamu tidak berubah, dari dulu, selalu rapi."
"Bapak bisa aza. Dari dulu memang gaya saya seperti ini Pak. Kalo begitu saya pamit mau ke toilet Pak. Sudah ditunggu atasan."
Kebetulan saat itu Pak Redi sedang menuju ke arah mereka.
"Loh Pak Robi, kok bisa ada di sini?"
"Saya kebetulan lewat sini, mau ke lantai 3 Pak. Ini saya bertemu dengan teman anak saya."
"Kamu ada perlu apa ke kantor ini, Sita?" tanya Robi.
"Saya kebetulan menemani atasan saya meeting dengan Pak Redi."
"Ternyata kamu sekretaris Zein." jawab Redi.
"Ini Pak Redi, Sita. Atasan saya di sini," jelas Robi.
"Oh begitu. Kenalkan saya Sita Pak, kebetulan Pak Robi adalah ayah teman saya."
"Saya Redi. Kebetulan Pak Robi adalah kepala keuangan di sini, mungkin kamu belum tahu. Ayo kita ke ruang meeting sekarang." ajak Redi.
"Kebetulan saya mau ke toilet dulu pak. Saya duluan Pak Redi. Pak Robi," lanjut Sita dengan sopan.
"Oke," jawab Robi.
"Baik, saya tunggu di ruang meeting lantai 7 ya." Redi menambahkan.
"Baik Pak."
Sita pun berlalu ke toilet. Robi berlalu ke lantai 3. Dan Redi langsung ke lantai 7. Di dalam toilet, Sita merenung. Kenapa dia harus bertemu dengan ayahnya Zidan di sini. Dia berharap bisa melupakan Zidan, ternyata dia masih bertemu dengan orang terdekatnya. Apakah aku masih ditakdirkan untuk bersama dengannya? Rasa ini memang masih ada. Tapi ga bagus juga kusimpan terus, pikir Sita. Aku harus bisa berjalan maju. Semangat Sita, dia menyemangati dirinya sendiri.
Sita pun berlalu dari toilet menuju ruang meeting. Sesampainya di sana, sudah menunggu Zein, Redi, dan asistennya Redi, Seni. Mereka pun mulai melakukan projek bersama. Tak terasa rapat pun selesai dan waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Zein dan Sita berpamitan lalu kembali ke kantor.
"Sita, besok temani saya ke sebuah mal. Saya ga biasa datang ke mal sendiri. Rachel besok ulang tahun yang ke-5.
Saya ingin mencari kado buat dia."
"Baik Pak."
Sampailah mereka di kantor. Sita menjalankan kewajibannya terlebih dahulu. Cukup lama dia berdiam di musola kantor. Tak henti memanjatkan doa. Setelah selesai, dia merevisi sebentar laporan meeting tadi. Tak butuh waktu lama, hanya 10 menit lalu selesai. Sita mulai membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang. Ting, notifikasi pesan masuk dari Dafa.
"Aku di lobi ya. Males ke parkiran, hehe."
"Oke. Aku turun sekarang."
Sita bergegas turun ke bawah. Kantornya ada di lantai 5. Dia pun masuk ke dalam lift yang membawanya turun ke lantai dasar. Dia bergegas menuju lobi. Di sana, sudah menunggu sebuah sedan warna hitam metalik milik Dafa.
"Ayo masuk."
"Maaf ya aku telat dikit.
Tadi abis selesai meeting harus merevisi laporannya dulu."
"Ga apa. Aku juga belum lama nunggu kok, kita langsung berangkat ya."
"Oke."