Penyamaran.

1126 Words
Keesokan harinya Ellena masuk ke dalam kantor dengan penampilan yang membuat semua orang terpana. Jika sebelumnya ia sering memakai pakaian layaknya wanita tomboy, kini tubuhnya yang tinggi dan langsing itu terbalut dres hitam ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi. Jonathan yang merupakan teman di tim penyamaran itu pun tak kalah penampilan. Ia sangat tampan dengan jas hitam dan rambut cokelat yang tersisir rapi. "Kau cantik sekali, Elle," puji Jonathan. Ellena tersipu malu. Ia sangat senang mendapat pujian dari Jonathan. Apalagi pria itu adalah polisi senior yang diidolakannya. "Terima kasih." "Elle, kau bawa ini, ya?" Inezh menyodorkan sebuah lipstik yang tempatnya berbahan emas. Ellena menolak. "Terima kasih, Nezh. Tapi aku punya lipstik sendiri." Inezh tersenyum. "Itu bukan lipstik biasa, Elle," katanya seraya membuka tutup benda itu yang kilaunya terpancar membuat Ellena terkejut. "Ternyata pisau, aku pikir itu lipstik." Ia terkikik. Inezh tertawa. "Kau harus menyimpannya untuk berjaga-jaga." "Baiklah." Ellena pun mengambil benda itu dan membiarkan Inezh mulai memasangkan alat komunikasi juga penyadap suara. Ia bahkan pasrah saja saat tangan Inezh menyentuh buah dadanya saat memasukan alat penyadap suara di bagian bra-nya. "Selesai," kata Inezh, "Kau harus berhasil, Elle. Berhasil atau tidak kami semuanya bergantung padamu." Ellena tak menyangka jika keberhasilan penyelidikan ini tergantung padanya, padahal ia sendiri hanya penyidik baru yang belum berpengalaman sama sekali. Ellena sebenarnya tidak sama sekali berkeinginan menjadi polisi. Cita-citanya ingin menjadi seorang dokter spesialis bedah. Tapi karena kematikan sang ibu yang menurutnya tidak wajar, Ellena akhirnya mengubur impiannya menjadi spesialis dan masuk ke akademi kepolisian. Ia pun lolos dan masuk sebagai tim penyidik di kantor kepolisian New York beberapa bulan yang lalu. Dan sekarang Ellena tidak yakin jika penyelidikan ini akan berhasil. Namun, mengingat sikap Alexandro yang sering bergonta-ganti pasangan dengan artis papan atas membuat dirinya terpicu untuk menantang pria itu. "Aku harus bisa. Aku harus bisa mendapatkan informasi darinya." *** Di dalam kamar hotel berbintang Alexandro kini menyeringai dengan tatapannya yang tajam. Sebelah tangannya ada sebuah kertas yang terpajang foto beserta data lengkapnya. "Ellena Stein. Ternyata kau adalah orang yang bertemu denganku tadi pagi, ya," Ia berdecak lalu berkata, "Aku tak menyangka, ternyata kau wanita yang sangat berani." Tok! Tok! Alexandro menoleh. "Masuk!" Tak berapa lama pintu kamar hotel itu pun terbuka dan sosok pria berjas hitam masuk dengan rambut cokelatnya yang rapi. "Bos, acara akan segera di mulai." Alexandro meletakkan foto sekaligus data Ellena di atas meja kemudian mengambil jas hitam dari dalam lemari. "Bos, katanya penyidik itu akan hadir juga di pesta ini." Seringai Alexandro semakin tajam. "Aku memang yang menyuruh mereka agar memberi undangan untum kepolisian New York," Alex menyeringai, "Aku tak menyangka jika mereka mengutus dia. Memang sesuatu yang bukan hanya sekedar kebetulan," kata Alexandro kemudian bergerak keluar dari kamar yang memang sudah dipesannya. Memesan satu kamar hotel sebelum pergi ke pesta memang sudah rencananya untuk tujuan yang kali ini harus ia capai. Namun jika sebelum-sebelumnya ia memesan kamar untuk bercinta dengan teman tidurnya, kali ini kamar itu akan ia gunakan untuk wanita incarannya yang tak lain adalah Ellena Stein, wanita yang sudah berani menantangnya. Dan jika biasanya ia selalu pergi ke pesta membawa pasangan, kali ini Alexandro berjalan sendirian demi melancarkan misinya. "Selamat datang, Mr. Harvest," sapa pria paruh baya saat Alexandro keluar dari lift yang ada di lantai lima belas itu. "Selamat ulang tahun, Mr. Lambe," balasnya seraya menepuk punggung lelaki itu. "Ayo masuk, Mr. Harvest. Semoga Anda bisa menikmati pestanya." Alexandro pun hendak masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi orang-orang dari kalangan atas. Namun seorang wanita yang merupakan pendola tamu pesta itu langsung menghampirinya untuk menyodorkan sebuah masque berwarna hitam. Ia pun mengambil dan langsung memakainya dan menghambur masuk, membuat semua mata langsung tertuju padanya. Aura maskulin dan wibawanya memang selalu bisa menarik perhatian semua orang meski wajahnya sudah mengenakan topeng. Mata Alexandro tiba-tiba menatap sosok gadis yang sedang berdansa dengan seorang pria sambil tertawa. Entah kenapa saat menatap gadis itu ia merasa hatinya tersentuh. Alexandro menatap tajam dan tanpa sengaja tatapan gadis itu beradu dengannya. Sikap kikuk gadis itu saat melihat Alexandro, membuat pria itu yakin kalau dialah orang yang diincarnya. "Akhirnya aku menemukanmu, nona Stein," lirih Alex. "Halo, Mr. Harvest. Aku pikir Anda tidak akan datang." Alexandro menahan tawa saat menoleh dan melihat pria tua yang berkepala plontos mengenakan masque. "Aku tak menyangka, ternyata pria tua seperti Anda sangat menggelikan ketika memakai topeng," jujur Alex. Lelaki itu tertawa. "Candamu memang sangat tidak enak, Mr. Harvest," katanya pelan, "Tapi aku akui, hanya Anda-lah lelaki yang paling tampan di pesta ini. Oh iya, tentang kabar duka kemarin, aku turut berduka cita, Mr. Harvest." "Terima kasih," jawab Alex. "Memang ada waktunya bagi Anda pergi ke pesta sendirian untuk menghilangkan kesedihan di saat kehilangan orang yang Anda cintai." "Kehilangan? Benar-benar menggelikkan," jawab Alex dalam hati. Ia pun menatap lelaki itu dan berkata, "Anda benar. Sekali-kali aku memang harus berjalan sendirian." "Oh iya, Mr. Harvest. Saya dengar bisnis Anda semakin terkenal di seluruh Eropa, ya? Wah, Anda memang hebat sekali." "Terima kasih. Rencana bulan depan aku akan mulai membangun bisnis lebih besar lagi di sana," katanya seraya mengalihkan pandangan ke arah gadis yang tadi. Dan saat Alexandro menatapnya, tak sengaja tatapan mereka kembali bertaut. Alexandro menyeringai dan hal itu membuat gadis itu langsung membuang muka. Gadis itu adalah Ellena, ia kini terpaku saat Alexandro tersenyum padanya. "Dia ada di sini," bisiknya pada Jonathan. "Benarkah?" "Iya, tapi dia sedang berbicara dengan seseorang di dekat meja minuman." "Baiklah, kalau begitu kau berpura-puralah untuk mengambil minuman. Aku akan ke kamar mandi dulu. Jika ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman, kau langsung berteriak saja." Ellena pun mulai bergerak menghampiri meja minuman di mana berbagai macam minuman tersedia di sana. Ia berjalan begitu anggun seakan tak melihat Alexandro, padahal sebelumnya mereka sudah saling melirik. Ia kemudian mengambil posisi dan berdiri dengan jarak sekitar tiga langkah dari tubuh Alexandro. Berpura-pura seakan tidak tahu mana minuman yang mengandung alkohol, Ellena pun meraih gelas koktail sebagai pilihannya. Seakan benar-benar nyaman karena begitu banyak minuman dan makanan di meja tersebut, Ellena masih berpura-pura untuk memilih minuman selanjutnya. Zet! Tiba-tiba sebuah tangan yang kokoh tampak terulur ke arahnya dengan gelas berkaki yang berisikan minuman berwarna bening. Ellena menoleh dan langsung terkejut saat melihat sosok yang menyodorkan gelas itu yang ternyata Alexandro. Ia tersentak mundur karena terpesona oleh ketampanan dari seorang pria bernama Alexandro Harvest. "Ini minuman yang sangat enak. Anda harus mencobanya," kata Alexandro. Karena tak ingin pria yang merupakan targetnya itu curiga, Ellena terpaksa meraih minuman itu dari tangan Alex. "Terima kasih." Ellena tahu kalau minuman itu mengandung alkohol. Tapi demi tugas negara, ia pun segera menelan habis isi dari gelas itu. Zet! Ternyata pikirannya salah. Minuman itu rasanya manis dan tidak mengandung alkohol, padahal Ellena sempat takut kalau Alexandro akan memberikannya minuman yang beralkohol. Sebab itu sangat berisiko baginya dan penyelidikan malam ini. Continued___
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD