01. Apa?!

1316 Words
Penulis tidak perlu banyak bicara saat jatuh cinta, cukup dengan merangkainya menjadi sebuah karya. ---- "APA?!" Ayu membulatkan bola matanya sempurna ketika membaca balasan private message dari sang author favorit. @sun.d : Maaf, tapi saya laki-laki. Ayu hanya bisa menggelengkan kepalanya tak percaya. Jadi, selama ini author yang hampir semua ceritanya ia baca dan ia sukai ternyata seorang laki-laki? Jadi, selama setahun ini ia salah sangka? Bagaimana bisa? Oh, lagi pula bukan sepenuhnya salah Ayu, author dengan akun @sun.d itupun tidak mencantumkan foto asli atau akun sosial media yang lain yang menunjukkan jati dirinya. Sebelum membalas kembali pesannya, Ayu menuliskan sesuatu di notes ponselnya. Beberapa fakta yang baru diketahui tentang akun tersebut. @i__u : Aduh sorry, Mas. Saya kira perempuan. Salah Masnya juga sih kenapa user name nya kayak perempuan. Jadi saya salah sangka deh. @sun.d : Jadi salah saya nih, Mbak Ayu? Ayu hampir saja menjatuhkan ponselnya begitu membaca balasan dari sang author favorit. Lalu bagaimana lelaki itu tahu jika namanya Ayu? Jujur saja, meski Ayu mengagumi karya-karyanya, baru kali ini ia berani mengirimkan pesan pada pemilik akun @sun.d itu. @i__u : Mas kok tau nama saya Ayu? @sun.d : @i__u itu maksudnya Ayu kan? @i__u : Ih ketebak ): @sun.d : Itu mudah saja, hanya Mbak sendiri yang kurang peka. Misalnya nama saya, padahal sudah jelas namanya laki-laki, tapi masih dipanggil Mbak. Kali ini senyuman tercetak di bibir Ayu. Ternyata penulis favoritnya sangatlah ramah meski hanya bertukar pesan lewat private message. Gadis itu mengetuk-ngetuk dahinya memikirkan nama asli sang author. @i__u : Ah I see. Nama Masnya pasti Sandi kan? @sun.d : Ya Allah, Mbak Ayu ini ke mana saja? @i__u : Ahaha gak peka! Tapi ini betulan cowok kan? Bukan fake? @sun.d : Kalau Mbak tidak percaya, lusa minggu datang ke toko buku A. Itu workshop perdana saya. @i__u : Oke! @sun.d : Ah iya, ini nomor w******p saya. 0812xxxxxxxx. Nanti saya kirim format registrasinya. "Woy demi apa?!" teriak Ayu histeris lagi. Bagaimana tidak? Bukannya ia yang meminta nomor, tapi malah Sandi-Sandi itu yang memberikannya terlebih dahulu. Ayu senang bukan main. Ia sampai melompat-lompat di atas tempat tidur sambil bernyanyi tidak jelas. "Ayu, kamu sehat, Nak? Jangan karena nganggur kamu jadi stress begini ya. Ibu jadi khawatir deh." Ayu menghentikan aksi hebohnya setelah ditegur sang ibu yang tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa permisi. Sudah kebiasaan Ayu tidak pernah mengunci pintu kamarnya. "Ayu gak kenapa-napa kok, Bu. Cuma seneng aja dapat nomor author favorit Ayu." "Masih mainan aplikasi itu? Kamu yakin gak kalau itu orangnya beneran? Maksud ibu gak nipu identitas." "Bu, Ayu malah dikasih nomornya buat registrasi workshop dia nanti minggu. Ih Ayu gak nyangka deh, Bu." Ayu masih dalam mode bahagia. Delima sang ibu menggeleng pasrah melihat tingkah putri bungsunya yang absurd karena kebanyakan mengkhayal. "Yang dikasih nomornya pasti semua peserta workshop, Yu. Jangan geer dulu." Ucapan Delima seakan menyambar Ayu seperti petir yang tiba-tiba datang. Padahal, matahari sedang terik-teriknya. "Ah, Ibu nih suka matahin harapan Ayu aja." Gadis dua puluh dua tahun itu memajukan bibirnya tanda merajuk. Delima yang geli melihat tingkah putrinya yang tidak lagi kecil itu langsung menarik hidung sang putri dengan gemas. "Ayo makan. Ibu masak capcay kesukaan kamu." Niat Ayu semakin marah pada Delima pun tidak jadi, demi mendengar capcay kesukaan, gengsi Ayu kembali turun sampai ke dasar bumi. **** Ayu masih terpikir ucapan ibunya. Ia hanya mengirim pesan seadanya pada Sandi untuk memberitahu jika itu nomornya. Setelah Sandi mengirim format pendaftaran, Ayu hanya membalas dengan isian form tanpa membalas apa-apa lagi. "Mungkin benar kata Ibu. Mas Sandi pasti kasih nomornya ke semua orang yang bakal ikut workshop. Jangan geer, Yu." Gadis itu menaruh ponselnya di samping tempat tidurnya tanpa berharap ada balasan apapun dari Sandi. Karena ia sadar, berharap sesuatu yang mustahil itu hanya akan menyakiti perasaan sendiri. Beberapa menit kemudian ponsel Ayu berbunyi namun gadis itu tak acuh saja. Siapa lagi yang akan mengirimnya pesan jika bukan kakaknya, Arjuna. Atau pelanggan ibunya yang kadang pesan lewat w******p Ayu. Dengan ogah-ogahan, gadis itu membuka ponselnya dan kali ini ponselnya terpelanting sempurna. Untung masih jatuh di atas kasur bukan ke lantai. Bagaimana Ayu tidak kaget, yang mengiriminya pesan ternyata Sandi. Mas Sandi : Mbak Ayu. Ayu : Iya, kenapa Mas? Aduh jangan panggil Mbak dong. Ayu masih muda banget. Mas Sandi : Ya karena kamu panggil saya Mas. Jadi saya panggil Mbak. Kamu ini unik ya, orang lain panggil Kakak, kamu panggil Mas, lebih parahnya dulu panggil Mbak. Ayu refleks tertawa membaca balasan pesan Sandi. Kali ini Ayu benar-benar baper dan ini masuknya bukan kegeeran lagi. Karena, mana mungkin Sandi berlaku seperti ini pada semua pembacanya? Tapi lagi-lagi Sandi membuat rasa penasaran Ayu semakin besar. Lelaki itu tidak memasang foto profil di whatsappnya. Ayu : Mas, cerita yang kemarin kok gak dilanjut lagi? Ayu nungguin tau. Mas Sandi : Sudah proses terbit, Yu. Memang kamu gak lihat IG saya? Wah ngakunya penggemar berat. Jangan-jangan kamu gak punya novel saya ya? Ayu : IH ENAK AJA! AYU PUNYA DONG. YANG PLUS TTD JUGA YA!!! Mas Sandi : Ampun kok ngegas? Haha Tapi kamu masih mikir kalau saya perempuan? Parah. Ayu : Ehehehe. Maaf Mas. Habisnya gak pernah cantumin nama asli sih. Mas Sandi : Kamu aja yang gak peka! Ayu : Ih bahasannya gak peka mulu. Sering punya gebetan gak peka ya? Mas Sandi : Hahaha. Ayu mati gaya. Ia tak tahu harus membalas apa lagi. Sementara di sana, Sandi hanya membalasnya dengan tawa. Tetapi di sisi lain, ia juga tidak ingin chatnya cepat berakhir. **** Ayu mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut toko buku yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk acara workshop. Ternyata, bukan hanya Sandi yang menjadi pembicara, namun ada beberapa penulis lain yang cukup terkenal yang juga menerbitkan karya di penerbit yang sama seperti Sandi. Ternyata antusias pembaca untuk mengikuti workshop ini cukup banyak. Ayu juga tahu jika novel semacam ini sedang di gandrungi saat ini. Ia yang mendapat kursi paling depan memudahkannya melihat seluruh pengisi acara. Sandi. Tubuh Ayu membeku ketika sang pembawa acara menyebutkan nama itu. Matanya sama sekali tidak berkedip melihat lelaki itu. Ternyata, sosok lelaki itu jauh di luar ekspektasinya. Ternyata, penulis dan apa yang ditulisnya sama-sama membuat hatinya tak karuan. Ayu benar-benar tidak menyimak sesi tanya jawab bersama Sandi. Ia hanya fokus pada lelaki yang tengah sibuk menjawab pertanyaan pembaca. Lelaki dengan tubuh tinggi tegap dan bisa dikatakan cukup atletis itu sudah membius Ayu yang sudah tidak fokus sejak awal. Sebenarnya, bukan hanya Ayu, tapi hampir semua yang hadir di acara tersebut. Yang ada di benak Ayu saat ini adalah, sosok Sandi itu harusnya termasuk orang yang realistis. Maksudnya, bukan orang yang akan berkecimpung di dunia literasi. Jangankan menulis, membaca pun pasti tidak akan. Apalagi ini, Sandi menulis cerita romantis. Setidaknya, itu menurut pandangan Ayu. "Yu, lo gak bosen lihat beginian?" tanya Anya -sahabat Ayu- yang memang dipaksa menemaninya menghadiri wokshop. Anya terus menguap karena bosan dan sama sekali tidak mengerti dengan apa yang tengah dibahas. "Ya sudah. Lo tunggu dulu di sini. Gue minta tandatangan dulu." Ayu menepuk bahu Anya pelan sebelum beranjak untuk ikut mengantre dengan peserta workshop yang lain. Sialnya, Ayu mendapat urutan paling belakang. Tetapi tidak apa-apa, hitung-hitung ia menetralisir kegugupannya karena akan berhadapan dengan author favoritnya. "Tanda tangannya, Mas." Ayu menyodorkan buku yang sebelumnya telah ia beli. Sandi hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Kemudian, menuliskan nama Ayu juga di sana. Tentu saj,a gadis itu terkejut karena Sandi mengetahuinya. Padahal, Sandi tidak pernah melihat wajahnya karena Ayu pun tidak pernah mengupload foto dirinya di sosial media. Dan tidak mungkin juga Sandi melihat akun sosial medianya. "Happy reading, Ayu." "Makasih, Mas. Tapi, kok, Mas Sandi tau ini Ayu?" tanya gadis itu gugup. "Cuma kamu yang panggil saya Mas," balas Sandi sambil tersenyum sangat manis. Oh tidak! Senyumnya membuat Ayu lumer sampai tak bersisa. Bahkan, untuk meninggalkan tempat itupun kakinya gemetar. Tetapi, sebisa mungkin gadis itu terlihat biasa saja. Ia tidak ingin terlihat gugup di depan Sandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD