04. Belajar kerja

1006 Words
"Mulai sekarang wishlistku bertambah, yaitu kamu." ---- Tidak banyak latar jika menceritakan Ayu. Hanya seputar kamarnya, ruang makan, ruang keluarga yang sangat jarang ia kunjungi, jalanan dan rumah pelanggan. Dan kini gadis itu masih setia bermalas-malasan di atas tempat tidurnya. Tidak ada yang ditunggunya, tidak ada weekday atau weekend. Baginya, semua hari sama saja. Ia masih membolak-balikkan novel di tangannya tanpa dibaca serius. Hanya menunggu ibunya berteriak memanggil namanya. "Ayu." Panggilan itu bukan dari ibunya, melainkan dari kakaknya yang kadang Ayu pikir Arjuna itu perempuan karena saking cerewetnya. "Masuk, Mas. Gak dikunci!" teriak Ayu yang masih enggan bergerak. "Dek, keluar yuk." Ayu mengernyit heran mendengar ajakan kakaknya. Biasanya, Arjuna hanya memanggil Ayu untuk mengomel. "Pasti belum mandi ya? Ayu nih anak perempuan tapi jorok minta ampun!" Ayu memutar bola matanya. Ini baru Arjuna, mulutnya bawel. Dan lagi tidak konsisten, kadang memanggil Ayu dengan sebutan adek, kadang nama saja. "Penghematan air, Mas. Kalau gak ke mana-mana ngapain mandi?" "Terserah Adek lah. Yang penting sekarang mandi cepat!" "Baik, Bos." Ayu menyambar handuknya yang ia gantungkan di belakang pintu. **** "Mas, kok gak ke kafe?" tanya Ayu membuka pembicaraan. Arjuna memiliki sebuah kafe yang cukup terkenal karena tempatnya yang kekinian dan instagramable. Setelah lulus kuliah, kakak laki-laki Ayu itu memilih membuka usaha sendiri daripada mencari pekerjaan. Dengan dibantu modal dari ayahnya, Arjuna mulai mengembangkan bisnisnya sendiri. Dan setelah enam tahun berdiri, ia sudah berhasil mengembalikan modal kepada Ayahnya. "Nanti aja," jawab Arjuna singkat. "Biasanya, Mas Juna paling betah di kafe, tumben." "Sekali-kali, Mas mau ajak jalan Adek Mas yang kurang piknik ini." Ayu memajukan bibirnya. Alasan Arjuna lagi-lagi menyinggung dirinya. "Oh iya, Dek. Besok Ayah pulang." Mendengar ucapan Arjuna, wajah Ayu langsung berkali lipat lebih ceria. Pasalnya, ayah Ayu hanya pulang setahun dua kali selama beberapa tahun ini. Beliau tengah mengembangkan perkebunannya di daerah Lampung. "Ayu kangen Ayah!" pekik Ayu riang. "Tau gak, kenapa Ayah pulang?" Ayu menggeleng, karena memang tidak biasanya ayahnya pulang di luar Idul Fitri dan Idul Adha. "Mau nikahin Adek." Refleks Ayu memukuli bahu sang kakak sambil terus meracau jika perkataan kakaknya itu bohong. "Bercanda. Ayah cuma pengin pulang aja." "Tapi gak apa-apa kan, Mas? Ayu mendadak cemas lho." "Nggak, Adek bawel. Ayah mau lihat kafe Mas Juna katanya. Ini malah Mas yang deg-degan loh." "Lebay." Kemudian, keduanya terlibat banyak percakapan sepanjang perjalanan. Ayu dan Arjuna memang seperti itu, kadang akur, curhat tapi tak berselang lama saling berselisih paham lagi. "Mas." "Hmm." "Kok, Ayu kayak kenal jalan ini kemana ya?" Arjuna tertawa karena Ayu menyadari kalau ia membawanya menuju kafenya. "Ih, kalau tau ke kafe Mas Juna mending Ayu tidur." "Jangan gitu. Karyawan Mas ada yang cuti, jadi---" Belum juga Arjuna melanjutkan perkataannya, Ayu yang sudah tahu maksud Arjuna langsung menyambar, "Mas mau nyuruh Ayu gantiin karyawan itu kan? Hm, sudah kuduga, Ferguso!" "Lebay! Daripada kamu diam terus, suntuk." "Tapi, Ayu suka grogi kalau ngomong sama orang asing, Mas. Keburu panik." Arjuna terkekeh mendengar penjelasan adiknya. Memang Ayu itu cerewet pada orang terdekatnya saja, namun sulit bercengkrama dengan orang baru. Prosesnya lama. Tapi tunggu dulu, dengan Sandi menjadi pengecualian sepertinya. Gadis itu bisa banyak bercerita pada Sandi yang baru ia temui, meski hatinya kadang goyah karena senyuman lelaki itu. Ah, tiba-tiba Ayu teringat Sandi. "Yuk!" Ayu berjalan pelan di belakang Arjuna. Ia mengembuskan napasnya sedikit kasar. Ini bukan piknik namanya. "Pakai nih!" Arjuna menyerahkan apron khas kafenya pada Ayu. "Mas, Ayu ngapain? Jaga kasir kan?" "Kasir ada tuh," tunjuk Arjuna pada karyawannya. "Terus?" "Jadi waitress." "Mas, Ayu gak bisa ngomongnya. Aduh gimana?" "Belum coba belum tau." Ayu hanya mendesah pasrah saat Arjuna meninggalkannya menuju ruangannya. Mau tidak mau ia harus bertanya pada karyawan Arjuna yang lain. Kafe milik Arjuna benar-benar bernuansa lelaki. Dilihat dari pernak-pernik di dalam kafe. Bahkan, sampai semua karyawannya. Jadi kini Ayu adalah satu-satunya perempuan yang bekerja. Terlihat aneh kan? "Kak, bisa bantu Ayu kan?" tanya Ayu ragu pada salah satu karyawan. "Panggil aja Rio, Mbak." jawab karyawan bernama Rio itu. Ia tahu jika Ayu adalah adik dari bosnya. "Oke. Rio bisa bantu saya ya kalau salah." "Boleh, Mbak," jawabnya sungkan. Tidak terlalu susah ternyata walaupun awalnya Ayu kaku pada pelanggan. Ternyata, lebih baik mengantar pesanan catering ibunya daripada melayani banyak orang seperti ini. Ayu mati gaya. Akhirnya, sampai juga pada waktu makan siang, waktu yang Ayu tunggu-tunggu. Tanpa banyak berpikir, gadis itu segera bergegas menuju ruangan Arjuna. "Gimana?" tanya Arjuna yang masih sibuk dengan gadgetnya. "Ayu panik. Gak mau lagi ah, Ayu susah ngomong sama banyak orang. Suka error." "Belajar. Nanti kalau kerja beneran gimana?" "Oh iya. Gimana ya? Duh, Ayu kan maunya jadi penulis aja, Mas." "Halah, mana tulisan kamu? Mending cari kerja yang beneran aja." "Memang penulis bukan kerja beneran?" "Ya kamunya gimana? Ada kemajuan gak?" Ayu menggeleng lemah menjawab pertanyaan Arjuna. Ia tahu, tulisannya belum ada perkembangan. Bahkan ia bernait menarik semua karyanya yang sudah ia tulis di internet. "Jangan dipikirin. Yuk, makan!" Ayu mengangguk sumringah. Perutnya memang sudah berontak karena tadi pagi belum sempat sarapan. Urusan pekerjaan dan lain-lain bisa dipikirkan nanti, tapi urusan perut tidak bisa kompromi. "Besok mau lagi?" "Gak tau, Mas. Tapi boleh lah, ibu juga sekarang pakai jasa ojek online kan?" Arjuna mengangguk. Ada kemajuan juga adiknya itu. Selesai makan siang, Ayu melanjutkan kembali pekerjaannya. Ia menarik napasnya panjang mencoba membuat dirinya lebih tenang dari sebelumnya. Ayu yang sudah siap menemui pelanggannya, seketika terhenti langkahnya karena melihat seseorang yang akan keluar dari kafe. Sandi. Lelaki itu tampak serius mengobrol dengan seorang perempuan yang berjalan di sampingnya. Ayu membalikkan badannya saat Sandi hampir melewatinya. "Hampir saja!" Ayu mengembuskan napasnya. Lega. Sandi tidak melihatnya. Namun, timbul lagi sebuah pertanyaan di kepala Ayu. Apa perempuan itu kekasihnya? Atau mungkin saja istrinya? Toh Ayu juga tidak tahu apa status Sandi. Kalau benar-benar sudah beristri, Ayu akan membatasi kedekatan mereka yang belum lama itu. Ia tidak mau dicap sebagai perebut suami orang atau bekennya disebut pelakor. Tiba-tiba saja perasaan Ayu menjadi buruk. Ia melepas kembali apron yang baru saja digunakannya. Ia ingin izin pulang saja pada Arjuna. Di saat pikiran kacau seperti ini, ia takut mengacaukan kafe kakaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD