ENAM
“Hai.”
Suara ramah itu menyentak Amira dari dunia yang dia ciptakan sendiri. Cewek itu menoleh dan mendongak. Di depannya, cewek berambut panjang dengan kedua mata berbinar bak anak kecil hingga terkesan polos itu membungkuk dengan menaruh kedua tangannya di lutut sambil tersenyum manis. Benar-benar manis, hingga Amira sempat merasa minder karenanya.
“Hai,” balas Amira sopan dan tersenyum kecil.
“Boleh gue duduk di sini?”
Nggak boleh! Soalnya, nanti gue diburu sama cowok lo yang mirip beruang kutub itu!
“Boleh,” jawab Amira.
Dia mempersilahkan cewek itu untuk duduk di sampingnya. Saat ini, latihan untuk pementasan drama bulan depan di acara makrab sedang dihentikan karena jam makan siang sudah tiba. Amira malas pergi ke kantin dan menyuruh Brian saja yang membelikan makanan untuknya. “Pacarnya Elang, kan?”
Alis cewek itu terangkat satu.
“Gue dengar perkenalan lo sama Kak Beno dan anggota panitia yang lain tadi,” jelas Amira seolah paham dengan raut wajah cewek itu. “Elang memperkenalkan lo sebagai pacarnya. Cuma, tadi gue sekedar lewat aja di sekitar kalian. Gue lagi ada, well, sedikit masalah. Jadi, gue nggak mood untuk ikut acara perkenalan tadi.”
Meskipun nada suara Amira terkesan datar dan sinis, tapi cewek itu tetap tersenyum ke arahnya. Hal itulah yang membuat Amira yakin bahwa cewek di sampingnya ini sangat baik. Kelewat baik malah menurutnya. Tak dipungkiri Elang memilih cewek ini untuk dijadikan sebagai pacar.
“Gue Tasya.” Cewek itu mengulurkan tangan kanannya. Di tempatnya, Amira menjabat uluran tangan itu dengan ragu. “Pacarnya Elang.”
“Amira.” Amira mengangguk pelan. “Amira Alanis. Partner Elang dalam pementasan drama nanti.”
“Oh, elo yang jadi Putri Salju?” tanya Tasya antusias, yang dibalas dengan anggukkan kepala dari Amira.
“Lo disuruh Elang datang ke sini?” tanya Amira.
“Sebenarnya, gue ke sini tanpa sepengetahuan dia,” jawab Tasya sambil tersenyum lebar. Dia menoleh, mencari keberadaan Elang kemudian semakin tersenyum kala cowok itu melambaikan tangan untuknya. Melihat itu, Amira mendengus pelan lantas memalingkan wajah.
Benar-benar manusia bunglon!
“Sya.”
Panggilan bernada lembut itu membuat Tasya menoleh dan menyapa si pemilik suara, sementara Amira lebih memilih untuk diam dan memainkan ponselnya. Dalam hati, dia memaki Brian karena belum kembali juga ke aula sejak tadi. Memangnya jarak dari kantin ke aula sejauh apa, sih?!
“Lang, teman kamu ini asyik, loh,” kata Tasya sambil menunjuk Amira.
“Amira!”
Seruan Brian itu bagaikan keajaiban untuk Amira. Sambil menoleh, cewek itu bangkit dan berlari ke arah sahabatnya tanpa pamit kepada Elang juga Tasya. Setelah berhadapan dengan Brian, mereka terlihat sedang berdiskusi sebentar, lalu pergi dari aula tersebut.
Meninggalkan tanda tanya di benak Elang.
###
Amira langsung menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, ketika dia sudah berhasil keluar dari aula.
Brian susah payah memegang pergelangan tangan Amira dan menarik cewek itu agar mengikutinya. Dibawanya Amira ke salah satu anak tangga dan diajaknya cewek itu untuk duduk di sana. Biasanya, tidak banyak mahasiswa yang akan naik atau turun melewati tangga ini pada jam-jam seperti ini. Mereka lebih memilih untuk naik atau turun dengan menggunakan tangga yang berada di sisi lain. “Kita duduk dan makan siang di sini aja, oke?”
Sambil mengunyah, Amira mengeluarkan ponselnya yang bergetar dari saku celana dan menatap layar ponsel yang berkelap-kelip nakal tersebut dengan kening mengerut. “Tolong angkatin, dong, Yan.”
Dengan sigap, Brian mengambil ponsel sahabatnya itu. Dia menggeser tombol berwarna hijau kemudian mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Halo?” sapa Brian dengan suara tidak jelas karena sibuk mengunyah. “Kenapa, Kak?”
Di ujung sana, tidak terdengar sahutan apa pun. Brian jadi bingung. Dia menjauhkan ponsel Amira, menatap layarnya dan ternyata masih tersambung. Lalu, cowok itu kembali mendekatkan ponsel ke telinga.
“Kak Beno?”
“Amira ada sama lo?”
“Ini siapa? Bukan Kak Beno, ya?” tanya Brian memastikan, meskipun dia sudah memiliki dugaan mengenai si penelepon yang menggunakan ponsel Beno itu.
“Gue Elang.” Benar, kan? “Amira ada sama lo?”
“Ada,” jawab Brian cuek. “Lagi makan sama gue. Kenapa?”
“Mau ada pengarahan sebentar buat pemeran utama. Gue sama Kak Beno tunggu di lembaga.”
Telepon diputus. Brian berdecak kemudian mengumpat pelan. Heran, sikap Elang benar-benar menyebalkan. Pantas saja Amira selalu kehilangan kesabaran kalau berhadapan dengan cowok arogan itu.
“Lo ditunggu di lembaga sama Kak Beno,” ucap Brian seraya menyerahkan ponselnya. “Ada pengarahan buat pemeran utama.”
“Tadi gue dengar lo nanya ke si penelepon kalau dia bukan Kak Beno,” sahut Amira sambil membuka tutup botol dan mulai mendekatkan bibirnya ke ujung botol tersebut. “Terus, kenapa barusan lo bilang kalau Kak Beno nyuruh gue ke lembaga?”
“Elang yang tadi nelepon, pakai nomor Kak Beno.”
Setelah proses mengalirnya air berwarna tersebut ke tenggorokan Amira tersendat, menyebabkan cewek itu batuk-batuk tidak karuan, dia akhirnya berhasil menyemburkan semua air yang hendak ditelannya itu ke wajah Brian. Brian sendiri hanya diam dan memejamkan kedua mata. Sebelah tangannya sibuk membasuh wajah, mengabaikan tawa Amira yang membahana.
###
Beno sedang memberikan arahan untuk kedua pemeran utama pementasan drama nanti.
Elang mendengarkan dengan serius dan seksama, sementara Amira, sebagian dari diri cewek itu mungkin berada di dimensi lain. Cewek itu hanya menatap malas ke arah meja sambil menulis entah apa di atas meja tersebut dengan menggunakan kukunya. Elang sempat melirik sekilas dan mengangkat satu alisnya. Ketika tatapan mereka bertemu karena Amira yang tiba-tiba menoleh, Elang berdeham dan mendengus. Dengusan pelan namun masih bisa didengar oleh Amira.
“Kak!” seru Amira. Cewek itu bangkit dan menggebrak meja, membuat Beno tersentak dan mengerutkan kening, heran dengan sikap Amira barusan. Di tempatnya, Elang terlihat biasa saja bahkan cenderung mengabaikan semua tingkah ajaib Amira itu. “Gue mau pipis! Izin ke toilet sebentar!”
Beno sedang sibuk memainkan ponselnya, ketika terdengar bunyi getaran dari arah meja. Serentak, Elang dan Beno menatap meja di depan mereka dan menemukan sebuah ponsel berwarna putih sedang berkelap-kelip centil bak lampu diskotik.
“Angkat gih, Lang,” kata Beno dengan kedua mata kembali fokus pada layar ponselnya. Elang mengerutkan kening.
“Kenapa gue?”
“Ponselnya Amira lebih dekat sama tempat duduk lo.” Beno menyeringai. “
Udah, angkat aja. Takutnya penting.”
Sambil mendesah frustasi, Elang mengambil ponsel itu dan mengangkat satu alisnya. Deretan nomor di layar itu sepertinya tidak disimpan oleh Amira di phonebooknya. Setelah berdeham, Elang menggeser tombol berwarna hijau kemudian mulai menyapa.
“Halo?”
Si penelepon tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Elang hanya bisa mendengar suara deru kendaraan yang saling sahut-menyahut. Nyaris saja dia membanting ponsel ini kalau saja dia tidak ingat bahwa benda ini milik si cewek berisik yang sudah pasti akan langsung mengibarkan bendera perang untuknya. “Hei, kalau Anda tidak punya niat untuk menelepon, tolong jangan—“
“Siapa yang nyuruh lo jawab telepon gue?”
Pertanyaan bernada dingin itu membuat Elang menghentikan ucapannya barusan. Dia menjauhkan ponsel Amira dari telinga dan menatap cewek itu dengan tatapan datar. Wajah Amira terlihat merah, mungkin menahan gejolak emosi yang sudah merasuk di dadanya. Sementara itu, Beno hanya bisa diam. Dia menatap Amira dan Elang bergantian. Sadar bahwa kesalahan ada padanya, Beno segera mengambil alih situasi.
“Mmm, Mir....” Beno berdiri dan menghampiri cewek itu yang masih saja menatap tajam ke arah Elang. Elang sendiri tidak peduli. Dia mematikan ponsel Amira lantas meletakkan benda tersebut ke atas meja. “Tadi, ponsel lo bergetar. Ada telepon masuk. Gue yang nyuruh Elang untuk jawab panggilan telepon yang masuk ke ponsel lo itu. Sorry kalau gue udah kelewatan.”
Amira tidak mengatakan apa pun. Dia memejamkan kedua mata dan menarik napas panjang. Cukup sudah kesabarannya diuji seharian ini.
“Amira?” panggil Beno hati-hati. Dia menyentuh pundak Amira dan cewek itu langsung membuka kedua matanya. Masih sama, itulah yang muncul di benak Elang. Cewek berisik itu masih marah.
“Gue keluar duluan, Kak,” kata Amira datar. Dia menoleh ke arah Beno. “Gue minta maaf karena nggak bisa berlama-lama di sini. Nggak apa-apa, kan?”
Karena mengerti bahwa Amira sedang emosi, Beno akhirnya mengiyakan permintaan cewek itu. Amira mengangguk, mengucapkan terima kasih melalui anggukkan kepalanya kepada Beno lalu dia berjalan ke arah meja guna mengambil ponselnya. Ketika cewek itu mengulurkan tangannya, ponsel yang baru saja akan diambilnya itu kembali menyala. Amira mengerutkan kening dan langsung menjawab panggilan tersebut.
“Halo?” sapa cewek itu datar.
Suara di ujung sana mampu membuat tubuh Amira membeku dan detik berikutnya, dia menghembuskan napas berat. Melihat itu, Beno melirik Elang dan cowok itu hanya mengangkat bahu tak acuh.
“Aku sibuk!” Hanya itu yang diucapkan oleh Amira, setelah cukup lama cewek itu terdiam. Nada suaranya sangat ketus. Cewek itu kemudian mematikan ponsel dan melemparnya pelan ke meja. Tak lama, dia duduk, menutup wajah dengan kedua tangan dan bahunya bergetar hebat.
Membuat Beno melongo ke arah Amira. Membuat Elang diam tak berkutik di tempatnya. Membuat Elang mendadak emosi dengan siapa pun yang menelepon Amira barusan. Emosi yang entah datang dari mana.
Amira menangis sesegukkan.
###
“Gue nggak tau harus kayak gimana lagi, Yan....”
Tadi, Brian kaget setengah mati saat Elang menemuinya. Cowok itu menatapnya tanpa minat dan bersedekap. Sambil menarik napas panjang, Elang berkata, “Amira nangis. Dia di lembaga.”
Sungguh, saat mendengar hal itu, Brian sangat ingin menghajar Elang. Brian menganggap bahwa alasan dibalik menangisnya Amira adalah karena cowok arogan itu. Ketika Brian sudah mendorong Elang ke dinding dan menahan d**a cowok itu dengan lengannya, Beno mendadak datang. Kakak tingkatnya itu langsung melerai dan menatapnya dengan tegas.
“Lo udah gila, Yan?!” seru Beno saat itu. “Lepasin Elang!”
“Dia pantas buat dihajar, Kak!” teriak Brian. “Dia selalu bikin Amira kesal dan sekarang, dia bikin sahabat gue nangis!”
“Lo salah sangka!” Beno terpaksa mendorong Brian hingga cowok itu melepaskan lengannya dari d**a Elang. Elang sendiri hanya bersikap tenang sejak awal. Tidak ingin terpancing dengan tingkah Brian. “Amira nangis bukan karena Elang, Yan! Amira nangis setelah nerima telepon entah dari siapa!”
Dan, di sinilah dia sekarang. Menemani Amira yang masih menangis. Mendengar semua keluh-kesah Amira mengenai Alfar yang meneleponnya dan memintanya dengan sangat agar bisa bertemu berdua saja. Katanya, ada yang ingin Alfar bicarakan. Namun, semua itu ditolak oleh Amira. Setelah itu, dia menangis begitu saja.
Elang sendiri berdiri di depan pintu lembaga, bersandar dan memasukkan kedua tangan ke saku celana. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya saat tadi dia melihat Amira menangis. Jenis perasaan aneh yang baru dirasakannya. Kenapa rasanya, Elang seperti orang yang akan berselingkuh di belakang Tasya, sih?
“Amira,” panggil Brian. “Lo harus bisa ngambil keputusan. Lupakan, kalau emang harus dilupakan. Pertahankan, kalau lo ngerasa harus mempertahankan. Jangan seperti ini. Gue nggak bisa liat lo terus-terusan sedih karena perasaan lo ke dia. Gue bahkan rasanya mau ngehajar dia di depan lo.”
Elang mengangkat satu alisnya.
Amira memiliki perasaan untuk cowok bernama Alfar? Yang dilihatnya tadi hampir dihajar oleh Brian? Alumni kampusnya? Jadi, rumor itu memang benar? Lalu kalau benar memangnya kenapa? Apa urusannya semua itu dengan dirinya?
“Gue nggak bisa,” suara Amira kembali terdengar di kedua telinga Elang. “Gue nggak akan pernah bisa menyatakan perasaan gue ke dia, Yan. Dari dulu sampai sekarang, gue tau kalau dia hanya menganggap gue sebagai teman dan adik, nggak lebih!”
Dari dulu sampai sekarang? Berarti... cinta bertepuk sebelah tangan? Jadi, asumsi yang benar adalah, Amira memiliki perasaan untuk Alfar sementara cowok itu tidak mengetahuinya? Elang kembali membatin.
Amira menggebrak meja dan berdiri, membuat Brian terkesiap. Cowok itu segera mengejar Amira yang berlari meninggalkan lembaga. Amira bahkan tidak sadar sama sekali, di saat dia membuka pintu, sosok Elang ada di sana. Ketika Amira sudah tidak terlihat lagi, Elang memutar tubuh dan mengulurkan tangan kanannya, mencegah Brian yang baru saja keluar untuk mengejar sahabatnya itu.
Brian terkejut. Dia menghentikan langkahnya—terpaksa, karena sebuah lengan mendadak hadir menghalangi tubuhnya—dan menoleh. Matanya bertemu dengan mata Elang. Kening Brian mengerut melihat tingkah Elang itu.
“Kalau gue bikin sahabat lo marah dan berteriak-teriak penuh emosi,” ucap Elang seraya menurunkan lengannya. Tatapannya sangat tegas dan serius, seperti raut wajahnya saat ini, “apa lo akan mengizinkan, Yan?”
“Elo—“
“Lo mau bikin dia jadi seperti Amira yang biasanya, kan?” potong Elang. Brian mengatupkan bibirnya. “Gue akan bikin dia menjadi seperti Amira yang biasa.”
“Kenapa lo mau repot-repot bantuin gue? Bukannya lo sebal sama sahabat gue? Kalian nggak pernah akur, kan?”
Pertanyaan yang tepat, Elang mengakuinya. Elang sendiri tidak mengerti apa yang terjadi, hanya saja, Amira memang lebih pantas berteriak-teriak emosi ketimbang menangis. Dan baginya, mudah saja melakukan hal tersebut. Amira tidak menyukainya dan dia akan menggunakan kesempatan itu untuk membuat Amira ‘normal’ kembali.
“Gue cuma nggak mau latihan drama kita selalu terhambat kalau pemeran utamanya justru bergalau ria dan nggak bisa berkonsentrasi.” Elang bersedekap. “Tapi semua terserah lo, sih. Gue hanya berniat membantu. Gue juga malas sebenarnya berurusan sama cewek berisik itu. Semua ini gue lakuin demi pementasan drama di acara makrab nanti berjalan lancar.”
Masuk akal. Hanya saja, kenapa Brian merasa seolah ada alasan lain dibalik bantuan Elang tersebut?
###
Menemukan Amira seperti mencari jarum ditumpukkan jerami.
Semua tempat sudah dicari oleh Elang dan tempat terakhir ini adalah harapan terakhirnya. Sebelum membuka pintu di depannya, Elang terlebih dahulu mengirim sms kepada Brian yang dibalas dengan cepat serta singkat oleh cowok itu.
Perlahan, Elang membuka pintu di depannya. Begitu pintu terbuka, hembusan angin kencang langsung menerpa wajah Elang dan tak lupa memainkan rambut lebat cowok itu. Tidak banyak yang bisa dilihat di atap gedung kampusnya selain gedung-gedung bertingkat yang letaknya berseberangan dengan gedung kampusnya.
Di sana, dengan kedua siku yang diletakkan di atas besi pembatas sambil bertopang dagu, sosok Amira terlihat. Punggung cewek itu terlihat rapuh di mata Elang. Tidak ada lagi cewek dengan sikapnya yang berani, ceria dan selalu membuatnya kesal setengah mati. Yang dilihat oleh Elang saat ini adalah sosok cewek rapuh yang mengeluarkan sisi tersembunyinya dibalik sifat cerewetnya.
“Cuma segini doang?”
Pertanyaan Elang itu mendapat respon. Amira langsung memutar tubuh dan tersentak. Cewek itu menghapus air matanya dengan kasar dan menatap dingin Elang yang berjalan ke arahnya.
“Apa maksud ucapan lo tadi?”
“Yang mana?”
“Waktu lo masuk ke sini tadi!” Amira melotot ke arah Elang. “Jangan pancing emosi gue karena gue lagi malas berdebat sama lo, Lang!”
Elang menoleh dan mendengus. Dia menggelengkan kepalanya dan berdecak. “Cuma segini doang, Mir? Bukannya elo itu cewek yang hobinya marah-marah? Terus, kenapa sekarang lo malah berubah jadi cengeng?”
“Itu bukan urusan lo!” bentak Amira. Cewek itu mendorong d**a Elang saat cowok itu menghadap ke arahnya. “Kenapa lo selalu bikin gue marah, hah?! Apa salah gue sama lo, Lang?! Apa?! Dasar cowok b******k! Sok arogan! Lo pikir, karena lo cowok, lo bisa seenaknya sama gue?! Iya?! Gue sebal sama lo! Gue muak sama lo!”
“Itu lebih baik.”
Ditengah usahanya untuk mengatur napas agar lebih terkontrol karena baru saja meluapkan emosinya kepada Elang, cowok itu justru mengucapkan kalimat yang terdengar sangat aneh di telinga Amira. Elang memiringkan kepala kemudian tersenyum.
“Marah-marah lebih cocok untuk lo, Amira. Lo nggak cocok sama sekali dengan air mata. Sifat cerewet lo, bawel lo, itu lebih pas buat lo.” Elang menghela napas. “Brian khawatir sama lo. Kak Beno cemas ngeliat lo nangis. Semua orang nggak suka ngeliat lo bersedih.”
“Termasuk lo?”
Elang bungkam. Ditatapnya Amira dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Untuk sesaat tadi, kala Amira melontarkan pertanyaan tersebut, jantung Elang berdetak di atas normal.
Menunggu jawaban Elang bagaikan berharap salju turun di Indonesia. Amira mendapati diri tidak bisa bernapas dengan benar. Jantungnya berdebar tidak karuan. Hal yang tidak pernah dia duga sebelumnya saat berdua saja dengan cowok kulkas di depannya ini.
“Termasuk gue.” Elang menjawab tegas. Setegas tatapan matanya saat ini. “Karena gue jadi nggak bisa membuat lo emosi dan meledak-ledak seperti biasanya. Lo tau? Gue senang bikin lo emosi setiap saat kita bertemu supaya lo punya penyakit darah tinggi dan mungkin terkena serangan jantung dini atau stroke.”
Amira mengerjap. Tidak menyangka akan mendapatkan jawaban menyebalkan itu dari mulut Elang. Cewek itu mendengus dan mendorong Elang kembali lantas pergi meninggalkannya begitu saja. Sebelum menghilang dari balik pintu, Amira menoleh dan memberikan jempolnya ke arah Elang. Jempolnya yang diturunkan ke bawah. Lagi pula, konyol sekali jantungnya justru berdebar tidak karuan hanya karena cowok kulkas itu.
Setelah Amira menutup pintu dengan bantingan, Elang menunduk. Cowok itu mengetuk ujung sepatunya dan menarik napas.
Termasuk gue, Amira... karena lo lebih cocok untuk tersenyum.