Bertemu teman satu desa

1062 Words
Agustinus celingukan melihat ke arah orang-orang yang menunggu. Tak satupun dikenalnya, satu jam berlalu masih tak ada tanda-tanda teman satu desa menjemput. Apakah surat belum di terima?. Desanya sulit alat komunikasi, satu-satunya alat komunikasi hanyalah surat yang dikirim melalui kantor pos. "Hei ..Agus, untuk apa kamu celingukan begitu. Maaf terlambat, tadi antar dulu penumpang" teriak temannya, Bactiar. Agustinus meringis malu, "Bagaimana tidak celingukan? kamu tak ada kabar, ini satu jam sudah menunggu" keluhnya dengan suara sedikit keras mengalahkan suara hiruk pikuk menjadi latar belakang mereka berdua berbicara. Desa mereka sangat tertinggal jauh dari perubahan perkembangan jaman teknologi, karena itu banyak pemuda maupun pemudi datang ke kota untuk belajar kemudian diterapkan di desa tapi sayangnya rata-rata, mereka semua pulang ke desa bukan untuk membangun desa tapi malah menambah beban. Pemuda atau pemudi desa pulang dalam keadaan sakit atau bawa aib keluarga. "Maaf, lagipula kamu tak punya alat suara, mana bisa kasi kabar. Kita pergi ke kos, bagaimana" tawar temannya, Bactiar, "Tapi, jangan lupa bayar kos bersama" lanjutnya tawar. "Tentu saja, aku punya uang cukup" kata Agustinus menyetujui. "Kalau begitu, beres sudah" kata temannya, Bachtiar penuh semangat merangkul Agustinus. Bachtiar teman satu desa yang lebih dulu merantau di kota Jogja, kerasnya rantau sudah di ketahui. "Apa itu alat suara?" tanya Agustinus ingin tahu, Bactiar mengelengkan kepala, "Ini handphone, ala Mak tua, aku lupa. Agustinus di sana masih pakai kabel tapi disini seperti ini, telepon." jawabnya sambil menunjukan ponsel miliknya sembari tepuk jidatnya yang berminyak. Wajah takjub muncul di permukaan. "Hebat!" seru Agustinus bertepuk tangan disertai wajah kagum. Inilah masalah orang desa ke kota, terlalu lugu dan polos. Mereka berdua naik mobil angkut, di sepanjang jalan Bahtiar menjelaskan cara hidup di kota Jogja. Angkutan terus berjalan melewati alun-alun Jogja kemudian sisi kiri jalan kereta api, Bactiar mengetuk atas angkut untuk mengehentikan. Agustinus terus mengamati cara disini. "Semua serba uang disini. Kalau mau sekolah, kamu perlu kerja. Tidak mungkin mengandalkan orang tua di desa" kata Bactiar terus berjalan masuk perkampungan. "Kamu masih sekolah?" tanya Agustinus bingung, Bactiar tertawa keras. "Mana bisa uang bapak di desa cukup buat sekolah, makan saja sudah untung disini" jawab Bactiar santai membuka pintu pagar setinggi pinggang. "Tidak sekolah tapi masih minta uang sama bapak di desa" celutuk Agustinus tak percaya. Tawa Bactiar membahana bikin semua mata mengarah pada mereka berdua. "Mahal disini, kamu nanti akan rasakan. Uang satu dua juta mana cukup, harga satu kos disini 600 ribu tidak termasuk air dan listrik. Kenalkan ini, teman dari desa. Ajarkan dia, semua tradisi disini, jangan buat malu" pinta Bactiar pada temannya. "Siapa Bachtiar?" tanya teman Bactiar kepala botak. "Teman desa baru datang" jawab Bachtiar mengambil rokok di meja yang terbakar, satu hisapan bikin hidup terasa indah dan mudah. "Halo, Agus" katanya menyalaminya satu persatu. "Bocah masih polos ini" cetus teman bergigi ompong depan, "Ya tahu" ucap Bactiar memandang Agustinus dengan penampilan miris. Teman-teman Bactiar tertawa dan mengangguk, mata Agustinus tertarik melihat di meja ada serbuk putih dan kertas putih. "Apa itu?" tunjuk Agustinus duduk di samping salah satu teman Bactiar. "Ini rokok kami, beli rokok diluar sangat mahal. Kita buat sendiri supaya murah" jawabnya, "Benar itu. Jangan kamu kira bawa uang bisa makan dan minum satu bulan bisa enak!" cetus teman di pojok bawah pohon. Bactiar mengelengkan kepala, "Kamarku ada disini, kamu bayar 600 sisanya aku yang bayar" ucap buka pintu kamar dekat mereka berkumpul. "Ini uangnya" kata Agustinus cepat beri ke Bactiar, ia tak mau pusing dengan masalah sepele begini. Sontak tawa membahana, "Makan kita" ujar satu teman lain."Ya, kita makan. Beri dia rokok dulu sebagai penyambutan" kata Bactiar keras. "Siapa yang disambut?" tanya suara halus bagai beledu. Mereka semua mengarah ke arah suara, tampak wanita muda berpakaian minim muncul di depan mereka semua, Ayuni. "Wah putri salju datang, Bactiar cepat pakai" celetuk lainnya, beri tatapan nakal sementara Agustinus sudah mulai merasakan terbang ke udara padahal baru satu hisapan. "Cih, mabuk ni bocah!" teriak kencang teman lainnya. Ayuni mendekati Bachtiar, "Kamu layani dulu dia, uangnya banyak" serunya. Dilihatnya Agustinus tak berminat padanya tapi mendengar kata uang, "Benarkah? ayo, bawa ke dalam kamar. Ibu kos tidak datang hari ini" katanya penuh semangat. Bachtiar menggotong Agustinus dibantu kepala botak. "Besok saja, liat! dia teler begini" keluhnya. Mereka semua melihat kondisi Agustinus, helaan nafas bersamaan terdengar. "Biar saja besok. Kita pesta makan dulu saja dan kamu" bujuk Bactiar cepat. Tawa dan wajah merah menghias manja di wajah Ayuni. Suasana kos berubah meriah dengan suara-suara berbeda dalam kegembiraan. "Bachtiar, jangan kau pakai sendiri itu wanita, sisa kita sedikit" keluh kepala botak gatal disebabkan melihat tingkah binal Ayuni. "Ayuni, panggil teman kau di kamar, bagi-bagi hasil ini" teriak teman yang setengah teler dari luar. Agustinus membuka setengah mata karena terganggu dengan suara teriakan, "Bachtiar, ada apa teriak-teriak begitu. Ini sudah malam" gerutu mengambil posisi lebih nyaman. Plak! Sontak mata Agustinus terbuka lebar, "Dasar anak mamak tua kau Agus! malam kepalamu. Bangun kau" bentak Bactiar menyenggol badan Agustinus, tangan Agustinus berusaha melindungi pantatnya dari serangan kedua dari Bactiar. "Emang belum malam kah?" tanyanya polos memandang ke arah Ayuni yang sibuk memainkan alat di depannya. Mata yang awalnya kecil berubah besar seiring apa yang dimainkan Ayuni. "Itu barang jangan dibegitukan. Tidak baik kata mamak dan bapak tua" ujar Agustinus menelan ludahnya ke tenggorokan dengan gerakan lambat. "Tahu apa kamu. Di desa, mana ada barang enak begini. Terlalu banyak aturan bikin kepala pusing pikir adat" ucap teman Bachtiar masuk membawa wanita berwajah sendu. "Hei, dapat darimana kau, masih segel kah? atau bekas punya pakai" seru botak terbuai oleh Ayuni. "Bahasa kau, bagus dikit. Jangan pula pakai otak m***m" cela teman Bachtiar kesal dengar kalimat kepala botak. "Sudah... sudah tidak perlu banyak omong, bisa pakai dulu kalian sama-sama. Ayuni, kemari sama Abang" pinta Bachtiar mengedipkan mata ke arah teman yang baru saja masuk. Wanita berwajah sendu mengambil posisi di depan kepala botak sementara lainnya mulai mencari celah di antara mereka. Ayuni mendekati Bachtiar yang duduk dekat Agustinus. Mereka berdua tersenyum jahil melihat jakun Agustinus naik turun bak kereta diseret. "Teman, kau harus banyak bergaul dengan kita-kita. Nanti malam kita habiskan uang buat nikmati suasana kota" ujar Bactiar merangkul Agustinus yang tidak siap sehingga tangannya mengenai paha terbuka Ayuni. "Aduh, maaf kakak" katanya gugup, Bactiar mengelengkan kepala melihat kepolosan Agustinus. Macam mana pula teman satu desa ini, baru pegang perempuan sebentar saja sudah gugup setengah mau mampus. Ayuni mengangguk saja, ia tidak tertarik bermain dengan anak orang yang masih bau kampung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD