"Mama tidak akan tinggal di sini lagi, Sayang."
Gadis kecil itu merengek. Menarik-menarik ujung gamis Ibunya yang menenteng koper besar.
"Kia!" Suara berat itu menggelegar. Pria tinggi dengan setelan kemeja itu turun dari tangga.
"Biarkan dia pergi." Tatapan dingin tak terlepas dari Pria yang memakai kacamata. "Dia bukan Ibumu lagi," ujarnya sambil menggendong paksa putri kecilnya. Sarah, Wanita itu hanya tersenyum perih. Matanya hanya tertuju pada gadis kecil yang merengek di dalam gendongan Ayahnya.
"MAMA! AKU MAU MAMA! AYAHH! AKU MAU MAMA!"
Hati Sarah teriris perih kala mendengar anaknya menjerit seperti itu. Hatinya tak ingin berpisah dengan anaknya, tetapi apa boleh buat... kesalahpahaman telah terjadi di dalam pernikahannya.
"Apa yang kau lakukan? Keluar cepat!" Perkataan suami, ah lebih tepatnya mantan suaminya membuat Sarah beranjak keluar dari rumah sambil menahan sesak seakan oksigen akan habis.
"MAMAAAA!"
"KIA! SUDAHLAH! Ayah capek mendengarmu menyebut Mama Mama terus!"
"Re!" tegur seorang Wanita yang datang dengan mengenakan selendang.
"Bibii!" Kia berlari dan memeluk Wanita itu.
"Jangan membentak anak kecil. Dia ini putrimu."
Andre berdecih kesal. "Kalau dia masih mau jadi putriku suruh dia tak usah mencari Mamanya! Atau aku juga akan mengusirnya!"
"ANDRE!"
Andre melenggang naik ke tangga. Tak mempedulikan putrinya yang masih sesenggukan di dalam dekapan Rere, saudari Andre.
"Bi... bi... kenapa Mama pergi?" Punggung gadis kecil itu bergetar. Rere mengelus punggung Kia sembari berusaha menenangkannya.
"Mama kamu udah gak bisa tinggal di rumah ini, Sayang."
"Kenapa! Ini rumah Ayah dan Mama, kan! Kenapa Mama pergi bawa koper! Kenapa aku gak ikut sama Mama! Aku mau Mama! Mama! Mama!"
Kia kembali merengek memohon untuk mengembalikan Mamanya. Rere tak tahu harus berbuat apa lagi. Anak ini dari dulu selalu dimanjakan oleh Mamanya tiba-tiba saja perceraian terjadi diantara Andre dan Sarah.
"Mama! Maaama!"
Tiba-tiba Andre turun dari tangga dengan membawa koper dan dua tas yang diseretnya.
"Kamu mau kemana?" Kia berdiri. Dengan mata sembabnya, tatapannya bertemu dengan Ayahnya.
"Ayah boleh pergi! Tapi aku mau sama Mama!"
"Kia! Dia bukan mamamu! Dia bukan Mamamu lagi! Berhenti membicarakan Mamamu!"
Andre memegang kuat pundak Kia. Gadis yang berambut kepang dua itu masih terisak.
"Sekarang hanya ada Ayah dan Kamu. Hanya ada kita saja tanpa Mama."
Ia mengambil Kia dalam dekapannya. Rere pun hanya bisa menatap keduanya. Perceraian yang tak terduga. Malang sekali nasib pernikahan adiknya.
"Andre, kamu mau kemana?" Kia malah tertidur di dalam dekapan Andre. Ia pun menggendong anaknya yang tertidur karena mungkin lelah menangis.
"Aku mau pindah ke Bandung dulu, Kak. Rumah ini mungkin akan aku jual saja."
Rere tersenyum. Ia tahu perasaan Adiknya. Diselingkuhi berkedok keinginan orang tua yang ingin menjadikan anaknya jadi putri raja? Cih, sungguh tercela perbuatan seperti itu.
"Kamu sudah memesan tiket?"
"Iya, malam ini."
Rere menepuk pundak Andre. Ia sangat mendukung perbuatan Andre. Dirinya juga tak menerima hal tersebut terjadi pada Adiknya. Kehidupan mereka memang tidak kaya raya, setidaknya Andre berusaha untuk tidak bergantung pada kedua orang tuanya yang notabene adalah keluarga terpandang. Ia ingin memulai semua dari usaha sendiri bukan karena percikan dari orang tua agar orang menilainya tidak sebelah mata.
"Aku... percaya kamu bisa menjaga putrimu dengan baik."
"Dia putriku, akan kulakukan apa pun untuknya."
Andre tadi hanya tersulut emosi karena mungkin Kia harus beradaptasi hidup tanpa Mama kandungnya. Andre bertekad dalam hatinya akan menjadi Ayah dan Mama sekaligus untuk Kia.
"Aku naik ke atas dulu, Kak. Tolong bantu kekasih barangnya Kia juga." Rere mengangguk. Andre pun naik ke tangga berniat untuk menaruh Kia yang tertidur untuk diletakkan di ranjang dalam kamarnya.
"Allah selalu bersama orang yang sabar, apalagi ada malaikat kecil bersamamu, Ndre. Sabarlah."
Rere menghapus air matanya yang sempat menetes. Lantas, ikut menaiki tangga untuk membereskan barang Kia yang belum sempat Andre bereskan semua.
***
"Ibu... ini salah."
Saran berlutut di hadapan seorang Wanita yang mengenakan kebaya itu dengan rasa penyesalan yang dalam.
"Kalau ini salah, lalu kenapa kamu mau?" Sarah tertunduk lemas. Ia akui semua salahnya. Ia yang tidak paham akan pikiran Andre yang tidak ingin dibantu oleh bisnis keluarganya yang jelas sudah sangat besar dan malah memilih menjadi karyawan di perusahaan orang lain.
"Ibu ingatkan. Dua minggu lagi kamu akan bertunangan dengan Zain. Kami sudah mengurusnya semua."
Mata Sarah penuh akan air mata. "Lalu bagaimana dengan Kia? Dia putriku."
"Lupakan saja. Kau sudah tahu konsekuensi dari persyaratan yang Ibu ajukan dua bulan yang lalu. Benar, kan?"
Sarah terisak. Ia tak tahan. Penyesalan baru saja menggerogoti ruang dalam hatinya. Ibunya bahkan dengan santai mengatakan semua hal yang menusuk hatinya.
"Kia. Aku tetap ingin melihatnya."
"Tidak. Kamu bahkan tidak boleh bertemu dengan mantan suami kamu yang bodoh itu. Selama lima tahun kalian hidup dengan biaya pas-pasan padahal keluarganya sangat kaya raya. Apa-apaan dia!"
"Ibu! Berhenti menghina Andre!"
"Cih, apa yang harus Ibu banggakan? Malu Ibu yang ada!"
"Terserah Ibu." Sarah menghapus jejak air matanya dan berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Sarah membanting pintu kamarnya dengan kuat. Ia menyandarkan badannya ke pintu dan perlahan lemas terduduk. Matanya tertuju pada sebuah bingkai foto yang ada di kamarnya.
Fotonya bersama Andre, mantan suaminya.
"Maafkan aku, Ndre." Sarah memejamkan matanya, meresapi semua yang terjadi dalam hidupnya. Penyesalan bercampur rasa bersalah membuat hatinya tak tenang.
Pilihannya salah.
"Seharusnya kita tidak pernah bertemu saja, Andre."
Bandara Soekarno-hatta
"Kita mau ketemu Mama, kan? Yah"
Andre mengusap wajahnya gusar. Sedari tadi Kia hanya bertanya tentang Mama dan Mama terus pada Andre yang sudah muak mendengar panggilan itu keluar dari lisan anaknya. Andre berjongkok, menyesuaikan tingginya dengan Kia. Gadis kecil itu menatap sendu pada Andre yang tersenyum padanya.
"Kita akan memulai kehidupan baru. Kia bisakan jangan bertanya tentang Mama dulu?" Dengan cepat Kia menggeleng sambil memasang wajah cemberutnya.
"Enggak! Mama! Aku mau mama! Mama, Yah"
Andre menghela napasnya kasar. Ia tak tahu akan sesabar apa ia harus menghadapi putrinya yang keras kepala.
"Baiklah, kamu mau Ayah tinggal sendiri?"
Gadis kecil itu mulai bergetar. Ia menangis. Andre mendekapnya kuat.
"Mama sudah tidak bersama kita lagi. Hanya Ayah yang ada bersamamu."
"Ayahh...."
Rere bersama sangat suami Devan hanya bisa menatap tanpa berkata. Perasaan yang dirasakan oleh Andre tentu sangat sakit karena mengingat Andre yang begitu cepat menikah dengan Sarah ternyata juga hanya membangun rumah tangga yang tak selamanya.
"Ndre, kamu siap-siap sekarang. Pesawat kamu udah siap, nanti terlambat."
Kia beralih menatap Rere yang merentangkan tangannya bersiap untuk memeluk ponakannya.
"Hap! Bibi menangkapmu!" Kia masuk dalam dekapannya Rere. Devan tersenyum dan berjalan mendekati Andre.
"Bibi, nanti main ke rumah baru aku!"
"Iya, pasti, sayang." Rere mengecup kepala Kia dengan sayang.
"Lo harus kuat demi Kia," ujar Devan sambil merangkul pundak Andre.
"Tuh, semoga perjalanan kalian selamat sampai tujuan."
***
Sarah termenung dalam kamarnya. Menatap ke arah jendela yang memperlihatkan gedung-gedung tinggi yang ada di dekat rumahnya. Suasana malam begitu sepi.
"Aku merindukanmu, putri kecilku."
Sarah beralih menatap bingkai foto Kia bersamanya. Ia merindukan putri kecilnya. Namun, ia tidak berhak. Benar yang dikatakan oleh Andre, ia bukanlah sosok Mama lagi untuk Kia.
"Maafkan Mama, Sayang."
Air matanya kembali luruh saat itu juga. Tak lama terdengar suara pesawat yang bergema. Ia pun baru tersadar akan perkataan Andre di hari perceraian mereka.
Aku tidak akan tinggal di Jakarta lagi. Jaga dirimu baik-baik.
"Apa Andre beneran pindah? Lalu bagaimana aku bisa melihat Kia lagi?"
Sarah beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar dari kamarnya.
Kreek!
"Kamu mau kemana?"
Wajah Jinah (Ibunya Sarah) menatap Sarah dengan tatapan interogasi. Bola mata Sarah bergerak-gerak untuk mencari alasan untuk keluar dari apartmentnya.
"Akuu... mau ambil barangku di mobil, Bu."
"Oh, Ibu cuma mau mengingatkan besok kita akan ketemu keluarganya Zain sekaligus untuk kerja sama dengan bisnis Ibu."
"Ah, iya. Aku turun dulu, Bu."
Jinah mengangguk dan tak mencurigai Sarah sama sekali. Nyatanya Sarah berbohong. Bukan itu niatnya turun.
"Aku harus cepat ke sana, semoga Andre belum berangkat."
Sarah menyalakan mesin mobilnya dan segera menaikkan kecepatan di atas rata-rata. Pikirannya hanya tertuju pada putrinya. Ia hanya ingin mengucapkan perpisahan dengan baik pada putrinya sendiri.
"Mama mohon, tunggu Mama."
Sekitar 15 menit Sarah mengemudi, ia pun akhirnya sampai di Bandara. Ia seperti sedang dikejar oleh polisi, napasnya bahkan tersenggal-senggal.
"Dimana? Aku bisa menemukan Kia dimana? Andre... plis."
"Sarah?" Sarah menoleh ke belakang saat mendengar suara yang menyebut namanya dan suara itu jelas tidak asing di telinga Sarah.
"Kak Rere."
Rere dan Devan menatap tak suka pada Sarah.
"Dimana Kia, Kak?"
"Kenapa kamu bisa tahu?" Sarah terdiam. Ini hanya arahan dari hatinya. Sebab ia juga melihat tiket pesawat yang ada di meja di rumahnya yang dulu ia tempati bersama Andre dan Kia.
"Aku...."
"Dia sudah pergi. Kalian berdua sudah tidak ada hubungan apa-apa, baik untuk Andre atau pun Kia."
"Kak! Aku hanya ingin berpisah dengan baik dengan anakku!"
"Anak?" Rere berdecak sambil menatap tajam Sarah.
"Siapa yang kamu maksud anakmu? Kamu bahkan tidak pantas disebut Mama."
Jleb. Sarah terpaku. Perkataan Rere tidak salah, tapi ia merasa dirinya tetaplah Mama bagi Kia meskipun telah menyakiti hati orang yang sangat mencintainya.
"Dan jangan kamu hadapkan wajahmu pada kami lagi."
Sarah pun ditinggal di tengah keramaian yang ada di bandara. Hatinya terasa diremas hebat karena tak sempat berpamitan dengan putri kecilnya.
"Ini bukan kemauanku, kak."
Air mata lolos dari pelupuk matanya. Perasaannya berkecamuk.
"Maafkan Mama, Kia."