8. Salah Faham

1494 Words
Allisya dengan percaya dirinya memotret beberapa kali cekrek sana sini. Ia tersenyum melihat hasilnya, sangat manis dan cantik. Kalau Aris tau pasti cowok itu akan senang. Dan pagi-pagi sekali Allisya sudah mandi dan cantik dengan outfit andalannya. Aku gak tau outfit yang pas apa xixi. Tok tok tok. "Allisya? Di cariin sama Kaila Aqila tuh. Nama udah kembar, baju juga couple. Hadeh emang mereka kembaran kali ya?" sambil bergumam dan memanggil Allisya, Selena berbicara sendiri di balik pintu. "Ya ma bentar lagi," Allisya sudah tau bahwa kedatangan dua sahabatnya itu karena kemarin telah membuat perjanjian untuk makan bersama di sebuah kafe. Acara kumpul di waktu luang memang seru, Allisya juga bosan di rumah terus dan mamanya selalu menyuruhnya untuk belajar sedangkan ayahnya menuntutnya untuk segera menikah dengan Aris dalam waktu dekat. Benar-benar membuat kepala Allisya pusing tujuh keliling. Allisya membuka pintu kamarnya, mamanya itu masih berdiri dengan mulut berkomat-kamit tentang Kaila dan Aqila. "Emangnya kenapa ma?" tanya Allisya heran. Tumben sekali mamanya itu memperhatikan sahabatnya terutama penampilan. Selena tersadar. "Ah gak kok. Itu udah di tungguin. Inget ya, pake baju warna ijo," Selena tersenyum, Allisya heran memangnya kenapa kalau warna hijau? Allisya mengangguk dan terkekeh. "Iya ma," beberapa langkah Allisya berbalik menatap mamanya. "Kalau kak Aris kesini bilang aja aku lagi makan sama Kaila dan Aqila. Aku belum bilang sama dia, kuotaku habis ma." "Ok. Nanti mama isiin lagi kuota kamu. Udah sana," Selena sangat bersemangat bahkan membuat Allisya tidak percaya. 'Mama tumben baik banget. Tapi gak apa-apa deh,' Allisya tidak mau berpikir lebih jauh, hari ini ia harus bersenang-senang. Di ruang tamu Kaila sibuk memoles bibirnya dengan liptint. Sambil membawa cermin kecil agar hasilnya sempurna, setelah selesai ia bertanya kepada Aqila apakah sudah cantik tapi jawabannya sungguh membuat hati Kaila sakit. "Masa lo ganteng? Ngadi-ngadi aja lo," jawab Aqila ketus. Padahal sudah jelas Kaila memang cantik karena perempuan masih saja bertanya. Kaila cemberut. "Ih lo tega banget sih! Kan gue tanya baik-baik. Kenapa lo marah sama gue?" "Pagi-pagi udah ribut aja," Allisya datang menghampiri kedua sahabat absurd-nya itu. "Sya? Gue cantik kan?" Kaila beralih bertanya pada Allisya, karena ia tau pasti jawabannya jujur daripada Aqila yang membuatnya kesal setengah mati. Allisya mengangguk. "Cantik kok. Yuk berangkat sekarang." Kaila membawa mobil, dan cewek itulah yang akan menyetirnya. Aqila memilih bagian depan karena tidak tahan di bekakang bau bensin yang bisa membuatnya mabuk perjalanan, mendengar alasan itu Kaila ingin tertawa. Seorang Aqila yang judes dan galaknya minta ampun masih mabuk perjalanan? Aqila cemberut, Kaila malah bahagia diatas penderitaannya. "Daripada mobil lo kotor karena bekas muntahan gue mau?" Kaila melotot. "Heh! Enak aja. Bersihin sendiri lah!" Kaila tidak terima. Allisya memandang dua perempuan itu dengan jengah, kalau masih bertengkar seperti ini kapan berangkatnya? "Kalau kalian masih aja berantem, mending aku turun aja deh. Gak jadi makan," Allisya kesal, tapi Kaila dan Aqila dengan serentak mengatakan 'jangan'. "Buruan," Allisya tidak sabaran, perutnya juga lapar ingin makan banyak. Kaila melajukan mobilnya dengan kecepatan standard, ia baru bisa mengemudi. Tidak berani mengebut di jalanan. Apalagi mobilnya sampai lecet sedikit sudah di omeli orang tuanya. Tepat di sebuah kafe, Kaila memarkirkan mobilnya. "Disini ada menu pedasnya lho. Pasti lo mau kan sya?" Kaila menawari, ia sangat tau Allisya doyan pedas sejak dulu. "Tapi jangan banyak-banyak. Nanti lo sakit," meskipun begitu, Kaila tidak ingin Allisya jatuh sakit. Allisya mengangguk. "Tenang aja. Aku gak akan pesen yang pedes. Lain waktu, lagipula aku baru sehat setelah sakit." Allisya tidak ingin merepotkan banyak orang, jika ia sakit kondisinya sangat lemah bahkan tak bisa bergerak banyak. "Yuk nyari tempat duduk yang pas," ajak Aqila. Setelah mendapatkan tempat ternyaman, mereka membaca buku menu. Bingung mau memesan apa, tapi itu berlaku bagi Kaila karena memang pecinta makanan. "Samain aja semuanya," ujar Aqila kesal. Matanya melirik Kaila yang membolak-balikkan buku menu. Sebenarnya Kaila ingin makan apa? Kaila mengangguk, ia juga menyerah karena menu makanannya semua enak. Sangat di sayangkan kalau satu saja tidak di bawa pulang. "Emang boleh di bawa pulang ya?" Kaila spontan bertanya. Aqila mengernyit. "Apanya?" Ia masih tidak mengerti. "Makanannya," jawab Kaila lesu. Kenapa Aqila sangat tidak peka? "Makan makan aja. Yang penting kan kenyang," ujar Allisya menimpali. Kaila selalu ribet dengan selera makan-nya. Selama makan, tak ada perbincangan sama sekali. Aqila memandang luar kafe yang terlihat kendaraan berlalu-lalang. Suasananya sudah mulai ramai di pagi hari ini, terutama weekend. Pandangan Aqila menyipit berusaha fokus dengan dua objek yang sangat ia kenali dan tidak asing lagi. Dan itu adalah Aris dengan seorang cewek yang berada di pelukannya? Pelukan? Aqila melirik Allisya yang masih belum menyadari itu. "Eh, kayaknya aku lupa ambil dompetnya di mobil kamu Kai. Aku keluar bentar ya? Tas aku aja ketinggalan, hehe," Allisya beranjak dari duduknya. Namun tangannya di raih cepat oleh Aqila. Allisya heran, ia bisa merasakan betapa eratnya cengkraman Aqila itu. "Lho kenapa? Keluar bentar kok gak lama," Allisya menyingkirkan tangan Aqila. Akhirnya Allisya bisa melangkah bebas keluar kafe. Sedangkan Aqila sudah panik luarbiasa. Bagaimana kalau Allisya melihatnya? Dan dua objek itu masih saja nyaman dengan posisinya, berpelukan! Kaila yang menyadari Aqila khawatir dengan sesuatu pun heran. Apa Aqila ada masalah? "La? Wajah lo pucet banget. Sakit?" tanya Kaila khawatir, ia juga melihat wajah Aqila yang berkeringat. Tangan Kaila menyentuh dahi Aqila, dingin. "Oh masih sehat. Baguslah kalau belum miring." Biasanya Aqila langsung marah dan mengomeli Kaila tak ada habisnya, namun Aqila malah menyuruh Kaila agar cepat menyusul Allisya. "Gue gak mau kalau Allisya liat kak Aris lagi pelukan sama cewek lain," ujar Aqila cepat, nafasnya memburu. "Lo ngaco ah!" Kaila tidak percaya. "Mana buktinya?" "Itu! Lo liat sendiri!" Aqila menunjuk Aris dan cewek yang sedang di peluk itu, hanya menyebrang jalan saja. Jaraknya memang dekat. Kaila terbelalak. Benarkah? Wah, kalau begini Allisya pasti akan nangis tujuh hari tujuh malam. Kaila beranjak dari duduknya, langkahnya berlari kecil menyusul Allisya. Tapi... "Kak Aris tega!" teriak Allisya dengan suara bergetar, ia masih bergeming di tempatnya. Tidak ada niatan untuk menghampiri Aris karena memang ia tak bisa menyebrangi jalan besar. Suara keras Allisya itu mengalihkan Aris dan melepaskan pelukannya. "Allisya? Kamu disini?" seperti tertangkap basah selingkuh, Aris menghampiri Allisya. Cewek itu menghindar dan mundur beberapa langkah. Sedangkan Kaila tak bisa berbuat apa-apa. Semuanya sudah tau. "Sya itu bukan siapa-siapa. Dia lagi nangis dan-" "Apa? Kak Aris mau bilang kalau Yeni bukan siapa-siapa?" sela Allisya cepat, air matanya mengalir deras. Betapa sedihnya keadaan Allisya sekarang. Kaila ingin menonjok Aris kalau bukan di tempat umum. Sebisa mungkin menahan amarahnya, sudah berani membuat Allisya menangis. Niatnya mengajak ke kafe adalah agar bisa bersenang-senang sekaligus melupakan kesedihan yang sudah terjadi di masa lalu. Yeni yang melihat itu tersenyum miring. Memang ini rencananya, berakting sedih dan ingin di kasihani Aris. Ia sendiri yang meminta putus dengan kekasihnya. Lalu Allisya yang akan ke kafe sudah ia ketahui dari Kaila, adiknya sendiri. Satu fakta yang tidak diketahui semua orang bahwa Yeni dan Kaila kakak adik. Meskipun dalam satu keluarga, tapi Yeni adalah anak kandung dan Kaila anak angkat. Lebih tepatnya, Kaila di ambil dari panti asuhan. "Allisya, kamu jangan salah faham dulu. Aku cuma menghibur Yeni. Dia sedih baru di putusin pacarnya," Aris sekali lagi meyakinkan Allisya. Menghibur? Perempuan mana yang tidak sakit melihat cowoknya dengan yang lain bahkan berpelukan seperti itu? Apakah Aris sama sekali tak terbesit ada namanya? Atau Aris sudah melupakannya? Entahlah, Allisya tidak tau. Semenjak kehadiran Yeni, hubungannya dengan Aris tidak pernah membaik. Walaupun Zidan hanya teman, tapi ia tidak pernah sedekat itu. Allisya selalu membatasi dirinya dengan semua laki-laki karena ia menghargai perasaan Aris. "Kalau kak Aris cinta sama aku. Seharusnya gak usah peluk Yeni. Dia memang gak tau diri. Udah tau kak Aris itu pacarku, kenapa dia masih aja deketin kamu kak? Apa gak ada cowok lain yang mau sama Yeni? Dan cuman kak Aris satu-satunya?" Allisya menyerbu berbagai pertanyaan yang mewakili isi hatinya. "Yeni bukan gak tau diri," bela Aris tidak suka. Yeni adalah teman satu kelasnya semenjak kuliah dan saat OSPEK juga hanya Yeni yang pertama kali Aris kenal. "Kak Aris bela Yeni? Terus aku siapa kamu kak? Pacar? Atau temen juga?" Allisya berani bertanya, mulutnya tanpa segan-segan mengatakan teman karena rasa peduli Aris semakin hari kian menipis dan hilang. Keributan kecil itu juga menarik perhatian pengunjung kafe. Mereka melihat penasaran dengan apa yang terjadi. Kaila menarik tangan Allisya. "Udah sya, jangan mempertahankan hati lo kalau masih aja di sakiti kayak gini. Lo gak pantes nangisin cowok kayak dia yang sama sekali gak bisa jaga hubungan dan komitmen. Dan dia lebih percaya dan belain Yeni," Kaila memberikan wejangan, ia tak ingin Allisya terlalu larut dalam kesedihan. "Kamu mau marah sama aku? Boleh silahkan aja," dan Aris sangat berubah sekarang. Bukannya meminta maaf karena kesalahannya sendiri tapi menantang Allisya agar meluapkan amarahnya. "Kak Aris pilih aku atau Yeni?" tak ingin marah-marah, Allisya memberikan pilihan yang pastinya membuat Aris sulit menjawabnya. Tapi ini harus di luruskan, sebelum hubungannya dengan Aris melangkah lebih serius lagi yaitu pernikahan. "Yeni. Dan kamu," Aris berhenti sejenak lalu menatap Allisya lekat. Baginya Yeni dan Allisya sama-sama penting dalam kehidupannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD