Dua

1535 Words
Setelah menggantung boneka yang telah dicuci itu semalaman, Yura memastikan boneka tersebut telah kering, warna putihnya telah kembali dan sangat bersih. Dia pun selesai mencuci piring setelah sarapan dengan neneknya. Bubur lembut untuk sang nenek lengkap dengan parutan sayur yang memudahkan sang nenek mendapat nutrisi, bahkan dia selalu mempelajari resep untuk membuat bubur enak yang biasa dimakan bayi. Maklum sang nenek sudah tak mempunyai gigi sehingga hanya bisa memakan makanan lembut. “Aku berangkat ya Nek, jangan lupa kunci pintu jika aku pulang terlalu larut, aku bawa kunci cadangan, nenek tidur saja di dalam dan jangan menunggu ya. Karena banyak kerjaan kantor, aku takut pulang larut malam,” ucap Yura secara perlahan. Sang nenek memegang tangannya lalu mengusap pipi Yura, matanya menyiratkan kesedihan mendalam membuat Yura ragu meninggalkannya. Dia pun memeluk sang nenek dan mengecup kedua pipinya. “Nenek nggak mau aku kerja?” tanya Yura. Sang nenek menggeleng dan mengatakan ‘pergilah’ dengan tangannya. Yura tersenyum dan mengangguk namun sang nenek kembali memegang tangan Yura membuat Yura menatap wajah sang nenek. ‘Kamu sudah dewasa, menikahlah dan miliki keluarga kamu sendiri,’ ucap sang nenek dengan bahasa isyaratnya. Yura hanya tersenyum. ‘Iya aku akan menikah,’ jawab Yura dengan bahasa isyarat juga. Lalu dia mencium punggung tangan neneknya dan meninggalkan sang nenek yang kini berjalan pelan menuju depan rumah, melihat cucunya pergi kerja. Dia selalu tersenyum melihat Yura yang sangat cantik dan dia suka melihat Yura dengan pakaian kerjanya yang membuatnya terlihat dewasa. Yura berjalan ceria melewati temannya yang sedang memanasi motor. Teman sejak kecil yang bernama Dela itu sudah mengenakan seragam kerjanya, dia memang bekerja sebagai admin bengkel salah satu perusahaan motor ternama. “Bareng yuk, tunggu sebentar,” ucap Dela. “Asik bisa irit ongkos,” kekeh Yura. Dela mengacungkan jempolnya dan bergegas mengambil jaket dan helm juga tasnya. Yura menunggu sambil membuka ponselnya melihat chat group kantornya, ada beberapa chat dari pria yang sengaja diabaikannya. Itu sebabnya dia selalu mengenakan centang abu, dia tak suka di teror oleh para pria yang katanya menyukainya itu. Entah mengapa? Sampai sekarang belum ada satupun pria yang benar-benar ingin dikencaninya. Dia memang pernah beberapa kali berpacaran namun tak ada yang benar-benar membuatnya jatuh cinta. Itu yang membuat hubungannya selalu kandas di tengah jalan. “Yuk,” ajak Dela seraya naik ke motornya. Yura pun naik ke motor Dela dan memakai helm yang disodorkan Dela, merapikan roknya agar tak terlalu terangkat. Memang tempat kerja Dela melewati kantor Yura sehingga jika tak sengaja mereka bertemu, mereka akan berangkat bareng seperti hari ini. Persahabatan yang terjalin sejak mereka kecil membuat mereka sangat dekat, usia mereka bahkan sepantar dan mereka selalu sekolah di sekolah yang sama. Dari nenek Dela juga Yura tahu tentang nenek Ana juga kisah hidupnya. Sayang nenek Dela sudah lama meninggal saat mereka remaja. Hingga hanya nenek Ana yang sendiri paling tua di kawasan ini. “Nenek Ana sehat?” tanya Dela. “Iya sehat, nanti jika aku pulang telat tolong lihat-lihat nenek ya, semalam dia menunggu aku di luar,” pinta Yura. “Kamu belakangan pulang telat terus?” “Iya di kantor kan mau ada acara rutin tahunan pekan olahraga menyambut hut kantor, jadi sibuk banget,” ucap Yura. “Baiklah nanti aku lihat-lihat nenek, rumah kita juga hanya beda beberapa rumah saja gampanglah,” ucap Dela. “Terima kasih sahabatku,” ujar Yura seraya memeluk Dela membuat Dela tertawa. “Puas-puasin peluk aku deh, bulan depan yang peluk aku sudah suamiku terus,” kekeh Dela yang memang kabarnya akan menikah sebulan lagi dengan teman kerjanya yang sudah berpacaran selama tiga tahun itu. “Huuu yang sebentar lagi jadi istri orang. Pantas aja nenek aku minta aku nikah juga,” cebik Yura membuat Dela tertawa. “Hahaha maaf, aku sudah di protes teman-teman kita yang belum nikah karena orang tua mereka juga menyuruh mereka nikah,” kekeh Dela seraya melajukan motor dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam itu. Cukup lambat namun yang penting selamat. Pikir mereka. “Gara-gara kamu nih, kita yang jomblo di protes. Mau nikah sama siapa pula?” “Kamu sih tinggal pilih, banyak yang antri!” goda Dela. Yura hanya mendengus sebal. Tak berapa lama mereka sampai di kantor Yura. Yura melepas helm dan memberikan ke Dela. “Di kantor kamu pasti banyak cowok keren, masa sih nggak ada yang kamu taksir?” tanya Dela seraya mengaitkan helm yang diberikan Yura dan meletakkan di cantelan motor matiknya. “Belum ada, entah kenapa? Aku kan tipe yang susah jatuh cinta,” kekeh Yura. “Aku selalu berharap yang terbaik untuk kamu Ra, mendapat laki-laki yang tepat,” ucap Dela tulus. Dia saksi hidup betapa susahnya keluarga Yura sejak dulu, bahkan orang tuanya sering sekali membantu keluarga Yura yang sudah menganggap seperti anaknya. Mereka yang mengambil rapot Yura dan menjadi wali Yura jika urusan sekolah meskipun mereka juga berasal dari keluarga sederhana. “Terima kasih ya Del, kamu dan keluarga kamu memang selama ini selalu perhatian dengan aku dan nenek, aku juga berharap kamu selalu bahagia,” ucap Yura seraya memegang bahu Dela, “sudah sana berangkat nanti telat,” ujar Yura. Dela pun mengangguk dan melambaikan tangan lalu melajukan motornya meninggalkan Yura. *** Yura meletakkan tasnya di atas meja kerjanya, Mia sudah datang dan tampak berkutat dengan komputernya. Sehingga Yura tak mau mengganggunya, dia pun mengeluarkan boneka milik Rasya itu. Teringat bahwa dia mempunyai beberapa kain flanel dan benang wol di kantornya. Dia membuka laci kerjanya dan mengeluarkan flanel itu dia berencana membuatkan topi di gantungan itu agar terlihat semakin bagus dan mirip dengan boneka salju, bukan pocong seperti yang Mia gumamkan kemarin. Setelah memotong kain flanel dan membentuk topi, dia mencolokkan alat seperti tembakan untuk lem lilinnya dan mulai menempelkan potongan flanel yang telah dimasukkan plastik map tak terpakai agar topinya kaku itu. Mia melirik ke arah Yura yang tampak sangat serius. “Diapain itu?” tanya Mia. Yura mengangkat topi kecil itu dan tersenyum bangga atas pekerjaannya yang sangat rapih. “Mau dipakain topi biar nggak kelihatan seperti pocong,” kekeh Yura membuat Mia tertawa. “Dasar kamu iseng, terus kamu mau balikin ke mas Rasya?” tanya Mia lagi, Yura hanya mengangguk dan kini menempelkan topi itu ke atas boneka salju tersebut setelah boneka itu diperbaiki benangnya yang menjuntai karena tersangkut gelangnya kemarin itu. “Nanti siang kan ada rapat dengan tim mas Rasya, kamu bisa kembalikan itu sebelum rapat,” usul Mia. Yura pun kembali mengangguk. “Ah pas banget ya,” ucap Yura. Lalu dia meletakkan gantungan boneka itu di sisi mejanya dan merapikan meja kerjanya. Larut dalam pekerjaan rutin hariannya. *** Setelah makan siang, beberapa perwakilan tim memasuki ruang rapat termasuk Mia dan Yura, terlihat Rasya juga memasuki ruang rapat dan karena rapat belum dimulai, Yura pun menghampiri Rasya, menarik kursi untuk duduk di sampingnya. “Mas, ini boneka yang kemarin, maaf ya tentang kemarin itu. Dan aku sudah perbaiki gantungannya,” ucap Yura seraya menyodorkan boneka itu. Melihat sifat Rasya yang dingin sepertinya boneka itu mempunyai makna mendalam, makanya Rasya menggunakannya karena rasanya tak mungkin orang seperti Rasya tertarik pada benda-benda lucu. Rasya mengambil boneka itu dan memperhatikannya sekilas lalu berdecih dan memasukkan boneka tersebut ke saku bajunya tanpa mengucap sepatah katapun. Yura masih duduk di sampingnya hingga banyak peserta rapat yang mulai masuk, Rasya menoleh ke arah Yura dan menatapnya tajam, “pergi!” ujarnya ketus membuat Yura mencebikkan bibirnya kesal dan meninggalkan kursi samping Rasya, memutar meja lingkaran besar itu dan duduk di sebrang Rasya. “Kenapa?” tanya Mia. “Diusir sama es batu itu,” cebik Yura. Mia hanya menggeleng geli dan kembali membuka buku agendanya karena rapat akan segera di mulai. Yura masih terlihat kesal, menatap Rasya dengan tatapan permusuhan di seberang dan saat Rasya tak sengaja melihat ke arahnya. Yura pun mengumpat dengan bahasa isyaratnya dia yakin Rasya tak akan tahu apa yang dia katakan. Mia menoleh ke arahnya dan tersenyum lalu berbisik. “Kamu bilang apa itu?” tanya Mia yang memang tahu bahwa Yura menguasai bahasa tubuh. Rasya memalingkan wajah setelah melihat Yura menghentikan ucapannya tadi. “Aku bilang dasar pria dingin tidak berperasaan, lelaki kurang ajar! Apa kamu tak bisa bicara? Masih banyak kata lain! Dasar batu!” bisik Yura menjelaskan bahasa isyaratnya kepada Mia lalu dia melirik ke arah Rasya yang kembali menatapnya. Yura menganga ketika Rasya membalas dengan bahasa isyarat. Tubuhnya terasa dingin dan tangannya gemetar. Dia tak menyangka Rasya mengerti apa yang dia ucapkan tadi? Mia pun terkejut melihat Rasya yang menggerakkan tangannya ke arah Yura. “Dia ... dia ngerti?” tanya Mia. Yura mengangguk dan menunduk malu. “Dia bilang apa?” tanya Mia penasaran. “Dia bilang jangan bicara sama aku.” Yura mengangkat wajahnya dan melirik ke arah Rasya yang masih menatapnya tajam. Rasya kembali berbicara dengan bahasa isyarat, ‘ada yang mau aku bicarakan setelah ini!’ dan saat itu juga Yura merasa dunianya akan hancur. Rasya pasti marah karena dia mengumpatnya! ***  Sebelum lanjut, aku mau mengingatkan ya, untuk jangan pernah menyebarkan karyaku secara ilegal apalagi membuat pdf bajakannya karena aku nggak akan ikhlas lahir batin! terima kasih sebelumnya ^^ dan mohon dukungannya untuk karyaku dengan klik tombol love atau menambahkan ke library... have a nice day and keep healthy ya All. ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD