Yasa "Kita menikah secepatnya, aku sudah punya uang untuk tabungan kita." Sebuah pesan singkat berhasil aku kirimkan untuk Melia. Ada rasa dalam d**a yang tidak bisa aku sebutkan, tapi yang jelas bukan hanya sekadar luka biasa. Hatiku ikut sepi ketika terbayang nanti tidak akan ada lagi suara anak-anak yang memenuhi ruang demi ruang dalam rumah. Bahkan, tadi mereka tidak sudi meksi hanya sekadar mengucapkan salam perpisahan. Apakah aku adalah ayah yang buruk, yang hanya bisa memberikan kenangan dengan setumpuk luka, atau aku memang tidak menjadi seorang ayah karena aku selalu tidak ada di saat mereka membutuhkanku? Bunyi dering ponsel membuatku tersadar dari lamunan. Ternyata Melia yang melakukan panggilan di tengah gundah gulananya hatiku, mungkin dia tahu kalau aku sedang tidak baik

