Bab 10

1069 Words
"Jawab!" bentaknya membuat kami bertiga semakin tidak berdaya. Entah apes atau apa, yang jelas hari ini kami selalu dipenuhi kesialan. Apa jangan-jangan ini gara-gara Qiera yang kembali, ya? Apa yang aku harus jawab, sama sekali tidak kepikiran untuk berbohong di hadapan lelaki ini. Apalagi Ibu dan Yani. Sepetinya kita hanya bisa menunggu amarahnya mereda. "Oh ... jadi kalian mau main diam-diaman?" Lelaki itu memilih duduk tepat di depan kami, "tapi mau sampai kapan?" Keadaan menjadi semakin hening karena beberapa pengunjung mulai fokus ke arah kita, sepertinya mereka sangat ingin tahu dengan urusan orang lain. Keringat mulai membasahi bajuku, sepertinya sebentar lagi baju ini akan basah. Aku lihat Ibu dan Yani pun sama, memang menakutkan. "Mas, saya mau menu yang paling mahal di sini, dong. Pake nasi, ya, jangan lupa dikemas dengan box," pintanya pada pelayan kafe. Aku dan Ibu saling tatap karena sama-sama punya firasat yang tidak baik setelah lelaki itu memesan. "Berapa, Pak?" Pelayan kafe itu mendekat untuk mengkonfirmasi pesenannya. "Enggak usah banyak-banyak, dua puluh saja." Aku dan Ibu refleks bangkit dari duduk dan kembali saling menatap, seolah ada bom yang akan segera keluar dari bibir, tapi hati dan anggota badan yang lain ikut menahan. Ibu menatapku lekat seolah bertanya, apapa yang harus kita lakukan. "Kenapa cepat-cepat pergi? Ayo, duduk lagi. Masa iya baru saja datang langsung ditinggal." Lelaki yang ada di depan mataku ini mengeluarkan kata-kata candaan, tapi tetap saja tidak membuat kami tersenyum, apalagi tertawa. Lelaki itu kembali menatap kami bergantian, lalu tersenyum menyeringai. "Ini serius tidak ada yang mau bicara?" tanyanya lagi dengan suara yang semakin meninggi. "Bicara atau tanah bagian kalian Bapak kasihkan sama Qiera?" ancamnya lebih menakutkan daripada dipecat bos. Gila banget kalau sampai tanah yang luasnya ratusan hektar mau diberikan kepada orang yang jelas-jelas sudah kaya. Apa-apaan bapak ini, sih? Bikin kesal saja. "Em ... maaf, Pak, kami minta maaf atas apa yang sudah Bapak dengar tadi, dan kami mengaku salah." Aku beranikan diri untuk bicara, apapun konsekuensinya akan aku terima. Daripada 'gak dapat tanah yang luas itu, lebih baik aku dapat hukuman sekarang. "Maaf? Mudah sekali kalian ucapkan itu!" Suara Bapak semakin sinis. "Padahal kalian seringkali melukai Qiera dan sekarang dengan gampangnya minta maaf?" "Mau bagaimana lagi, Pak, kita hanya manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa. Hanya bisa minta jika sudah melakukan kesalahan." Kembali aku bicara. "Kata siapa?" Bapak tertawa kecil. "Kalau memang kamu tulus minta maaf, kalian kan bisa kasih mobil, uang, rumah, atau yang lainnya." Kami bertiga kembali kehilangan kata-kata setelah mendengarnya. Enak sekali, untuk apa aku berikan semua itu kepada orang yang selamanya hanya akan menjadi orang lain. Mending aku kasih Ibu atau Yani, karena sampai kapanpun kita tetap punya hubungan darah. Sementara istri, dia hanya wanita biasa yang diikat dengan pernikahan saja. Kalau cerai pun langsung masing-masing dan gak ada ikatan lagi. "Bagaimana? Niat kalian ini tulus tidak?" "Em, Pak, yang Bapak sebutkan barusan rasanya tidak pantas untuk dijadikan tanda permintaan maaf. Lagipula kita masih butuh itu untuk kelangsungan hidup kita." Aku kembali memberikan alasan. "Alesan! Kalau belum siap untuk memberikan salah satu dari yang tiga itu, kalian tidak usah cari perkara. Karena jika dibandingkan dengan apapun, rasa sakit yang kalian torehkan tidak ada bandingannya." Bapak berbicara panjang lebar. Aku menatap Ibu kesal, andai saja tidak ia tidak mengajak ke sini, sudah pasti rencana kita tidak akan ketahuan Bapak. Lagipula untuk apa Bapak di sini, apalagi tempat ini sangat jauh dari rumah. Enggak mungkin juga kalau ada keperluan bisnis sama temannya. *** "Assalamu'alaikum." Bapak mengucapkan salam dengan wajah berseri. "Wa'alaikumussalam warahmatullah, Bapak!" Qiera berlari ke arah Bapak dan mereka pun berpelukan sebentar. Dasar istri pura-pura shalihah, masa mau saja dipeluk begitu. "Diam, kau! Bapak memeluk Qiera karena dia sudah menjadi istrimu dan anak Bapak juga. Jangan berpikir yang tidak-tidak!" makinya seperti sudah tahu isi hatiku. Menyebalkan. "Ayo, masuk, Pak!" Qiera menyambut Bapak dengan begitu sibuk, sementara kami hanya diam. Tidak ada yang berani bicara lebih dulu karena ada Bapak, takut bicara salah. "Aku mau masak untuk makan malam, Bapak mau makan apa?" tanyanya pada lelaki yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu. "Apa saja yang kamu masak, Bapak mau." "Ibu, Yani, Mas, mau makan apa?" Sekarang Qiera menatap kami bergantian. "Em ...." Ibu ragu untuk bicara, bahkan matanya hanya fokus ke arah mana mata Bapak tertuju. "Soto Ayam saja, yang biasa." Melihat Ibu sudah menjawab, Yani langsung antusias. "Aku mau cumi bakar, Mbak," serunya. "Mas?" tanyanya padaku. "Aku apa aja." Dari dulu aku memang tidak pilih-pilih makanan, asalkan ada ayam goreng, yang lainnya bebas. Qiera pernah protes, katanya menyebut ayam goreng termasuk pilih-pilih, tapi bodo amat. Yang jelas aku mau dan menurutku itu adalah makanan yang sangat sederhana. "Qiera, kamu istirahat saja, enggak usah masak," pinta Bapak dengan suara yang lembut, jauh kalau mau dibandingkan caranya berbicara kepada kami. "Lah, terus yang masak siapa, Pak?" Yani bertanya kesal. "Tentu saja ibumu dan kamu, kenapa malah bertanya?" Kali ini bapak menekan perkataannya. Ibu dan Yani langsung diam, tapi tidak ada pilihan lain selain melakukan apa yang barusan Bapak katakan. Mereka berjalan ke arah dapur dengan tubuh lunglai. "Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini, Sayang?" Bapak bermain dengan Ziron sambil bertanya kabar dengan Qiera. "Mama baik, Kek, tapi Nenek sama Tante suka marahin Mama. Papa juga." Bukan Qiera, tapi Ziron yang menjawab pertanyaan dari Bapak, parahnya dia langsung buka kesalahan kami. Ibu dan Yani membelalakkan kedua matanya ketika mendengar hal itu, begitupun aku. "Abang mau Mama gak dimarahi lagi, Kek. Nanti kalau Abang sudah besar, Abang mau lawan orang-orang yang sudah marahin Mama," ucapnya lagi. "Hebat, cuci kakek memang harus seperti ini. Untuk sekarang, biarkan Kakek yang memberikan pelajaran kepada orang-orang yang sudah memarahi Mama Abang itu." Bapak mengelus puncak kepala Ziron dengang lembut, tapi matanya mendelik tajam ke arah Ibu dan Yani. Daripada salah tingkah di sini, aku memilih menghampiri mereka ke area dapur. "Bagaimana ini, Bu, aku gak bisa masak?" Terdengar Yani berbisik. "Memang menurutmu Ibu bisa masak?" Wanita yang sudah melahirkan aku itu terlihat sangat kesal. "Kalau Ibu tidak bisa masak, tapi kenapa Bapak meminta Ibu untuk masak barusan? Terus kenapa Ibu juga gak melawan?" Aku bertanya heran, bahkan sangat heran kenapa kalau Bapak marah Ibu sama sekali tidak bicara. "Cepat segera masak atau aku berikan semua tas mahal kamu yang bermerek itu kepada tetangga agar dipakai ke sawah!" titah Bapak lagi yang entah kapan sudah ada di sampingku. Tunggu, tas bermerek untuk tetangga? Dipakai ke sawah? Ini aku yang gila atau Bapak, sih?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD