Misi

980 Words
Mina masuk. Dan mendapatinya, lelaki hidung belang. Yang mungkin sekelas CEO atau Direktur atau mungkin orang kaya kurang hiburan. "Haii ...," sapa Mina dengan menggoda. Lelaki muda itu tersenyum. Ia melambaikan tangan dan menepuk tempat di sampingnya. Dengan cekatan Mina berjalan dengan anggun ke sampingnya. "Ehh Hai, kamu belum balas sapaanku loh." Lelaki berusia sekitar 25 an keatas itu tersenyum. "Haii juga. Btw, nama kamu siapa?" Mina bergelanyut manja di tangan lelaki itu. Ia meraba dadanya. "Kamu bisa panggil aku, Angel." Lelaki itu berdehem. Ia memegang tangan Mina yang sudah terisi barang bukti. "Ehh kenapa?" tanya Mina dengan wajah tak suka. Lelaki itu lagi-lagi tersenyum. "Gapapa." ia meletakkan kembali tangan Mina. Mina tersenyum miring. Meraba seluruh tubuh lelaki itu sembari menjawab beberapa pertanyaanya. Jika di total ada sekitar tiga bungkus yang di duga narkoba. Mina menyimpannya rapat di kantong celana belakang. Yah, pekerjaannya bisa di bilang aneh dan nyeleneh. Tapi, Mina suka menyaksikan penderitaan atas kesalahan mereka. Sekalian, bermain-main. Laki-laki itu mulai terbawa suasana ketika Mina menarik perlahan dasinya. "Kamu beneran panggil aku kesini tadi 'kan, Mas?" Laki-laki itu semakin merinding karena godaan Mina. "Lino ... panggil aku Lino." "Ahh Mas Lino." Mina mengelus rahang Lino. Ia memajukan wajahnya hingga berbisik dengan sangat lembut. "Malam ini ... mau main sama aku?" Di detik itu pula, Lino tak bisa menahan. Ia menuburuk tubuh Mina dan mengurungnya dengan kedua tangan. Mulutnya bahkan sudah dengan sigap melahap leher Mina. Tiba-tiba Mina tertawa dengan keras. Hal itu, membuat Lino bingung. "Lo kurang beruntung." "Hah?" Brakk "Jangan bergerak!!" Dengan sekejap Lino mengakat tangan dengan terkejut. Sedangkan, Mina berdiri mengusap lehernya. Ia mengambil sesuatu di saju belakangnya. Yang benar, isinya adalah narboka. "Tunggu! Apa ini?!" tanya Lino kebingungan. Mina mengedikkan bahu. Ia kembali berbisik pada Lino. "Harusnya kita main dulu," bisik Mina dengan lembut dan menggoda. Mina tertawa pelan dan menepuk kedua bahu Mina. Ia melempar barang bukti kepada salah satu polis yang terlihat muda. "Bukti ... kalau Direktur YLS memakai narkoba." "Waww!!" Bian bertepuk tangan kagum. Ia membuka jaketnya, lalu memasangkannya pada Mina yang terlihat kedinginan. "Gak pernah ragu kalo sama lo." Mina berdehem, kini tatapannya kebih dingin, 99% berubah total dari sebelumnya menjadi w************n, kini justru sangat berwibawa. "Gue gak pernah gagal." setelahnya ia keluar dan di susul Bian. Mereka berdua akhirnya berjalan bersama tanpa rencana. Hanya sekadar berjalan tanpa arah. Pertemuan pertama mereka saat pelatihan, dan kini menjadi rekan kerja. "Lo ... akhir-akhir ini sibuk apa?" tanya Bian memulai percapakan. "Sibuk gak ngapa-ngapain." "Hah?!" "Lo udah gede! Mikir lah! Selama ini hampir tiap hari juga gue ngelaksanain tugas yang lo kasih." "Tapi lama," sungut Bian. "Hehh!" Mina menunjuk wajah Bian dengan jari telunjuknya. "Untung-untung lo gue tolongin!" "Tapi, tetep gue gaji." "Sial lo!!" kepalan tangan Mina sudah siap menghantam wajah Bian, namun atensinya kini teralihkan. Bian yang sudah siap menangkal kini menjadi bingung. Ia menurunkan tangannya dan mengikuti arah pandang sahabat yang sudah seperti adiknya. Di ujung jalan sana. Tepat di depan pusat perbelanjaan, Mina dan Bian melihat sosok ibu yang mengelus rambut wanita muda. Wanita itu cantik, rambutnya tergerai apik. Ibu itu juga berwibawa, pakaiannya mewah, dan membawa banyak sekali paper bag. Namun, itu lah yang membuat Mina kesal. Ia berlari dan menghampiri mereka. "Wawww," sambut Mina, dengan suara tidak mengenakan. "Ada apa ni ribut-ribut?" jelas Mina mengantuk, nyatanya sejak tadi tak ada yang ribut di sini. "Yar!! Lo ngapain sih?!" "Nara!" panggil wanita berwibawa itu dengan ksedikit keras. "Ehh ... masih ingat namaku, Bu?" tanya Mina sambil tersenyum, dan melirik kearah gadis di sampingnya. "Hai Zan! Masih inget muka ini?" tanya Mina dengan menunjuk wajahnya sendiri. Senyum kecewa tidak pernah lepas dari wajah Mina. "Kamu ngapain di sini?" tanya wanita itu. "Nyari udara dingin ... soalnya di dalam PANAS!!" jawab Mina dengan menekan kata terakhir ke depan wajah Zana. "Nara! Gak usah bikin rusuh! Mama gak mau ribut sama kamu." "Waww Mama Rinda ternyata masih anggap Mina anak?" Rinda menarik napas dalam. Ia mengelus bahu Zana. "Ayo kita pulang, Mama mau ada meeting sama klien. Mama juga butuh istirhat." "Mah, tapi," sangkal Zana dengan cepat. "Kak Nara ajak, ya?" "Ajak aja kalo bisa," bisik Rinda. Zana mengulum bibirnya. Ia menatap Bian sejenak, lalu menatap Mina. "Kak a—" "Diem lo! Gue lagi ada urusan sama Mama!!" "Nara!" hentak Rinda. "Cukup! Mama cape berseteru sama kamu terus! Mau sampe kapan?!" "Aku yang nanya sama Mama. Sampai kapan Zana selalu jadi prioritas? Dan kapan Mama ngukapin perceraian Mama itu alasannya apa? Apa karena Zana?" Rinda mengernyitkan dahi. "Ini gaada hubungannya sama Zana." "Masa iya? Gak usah bohong, Mah! Aku tau semuanya, jadi gak guna mau bohong apapun!" "Nara!!" Mina menatap Zana dengan sengit. "Zana hasil perselingkuhan Mama 'kan?" "MINARA!!" hentak Rinda. "APA MA!!" teriak Mina. Plak Dari sekian banyak luka. Ini yang paling sakit, karenanya Mina langsung diam. Sekejap ia lupa ingin berkata apa. Napas Rinda ngos-ngosan. Zana menutup mulut, lalu memegang bahu Rinda. "Mah ... udah." Bian hanya menolong Mina, ia tak berani berkata apa-apa, karena ini masalah keluarga. Rinda menarik napas sekali lagi. "Lain kali ... bicara sama saya langsung. Jangan bikin malu orang tua!" Tiba-tiba Rinda langsung masuk kedalam mobil di susul dengan Zana di belakangnya. Sebelum benar-benar memasuki mobil. Mina berkata. "Benarkah ini definisi gak di buang?" Rinda berdiri di depan pintu masuk mobil. Mina tersenyum kecewa. "Selamat Ma, kamu telah bunuh perasaanku. Air mata Rinda menetes. Ia menengok ketika Mina pergi. Ia masuk kedalam mobil, dan menangis tersedu-sedu di dalamnya. Begitu pula dengan Mina, ia hanya mengelap sudut matanya. Selalu begitu, Mina juga heran kenapa ia dan Mamanya tidak pernah sinkron. Kebenaran semua di tutupi rapat oleh Rinda. Mina tak diberi kesempatan untuk mengetahui. Keluarganya hancur, bertahun-tahun lalu. Kepingan hancuran itu bahkan menacap hingga kini. Ayah yang katanya sebagai cinta pertamanya, justru menjadi pematah hati paling kuat. Ibu yang harusnya menjadi rumah paling nyaman untuk pulang, justru menolak mentah-mentah Mina. Karenanya, Mina benci manusia dan dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD