Surat Terakhir

1195 Words
"El ada apa? Kenapa kamu kasar sama Allana?" tanya Bagas──ayah Elenio yang sedang mencuci mobil berwarna silver di garasi rumahnya. "Dia Pembunuh Pa!" seru Elenio lantang, kilat amarah masih menyala di kedua matanya Bagas terkejut mendengar ucapan Elenio. Keningnya mengerut dalam menyiratkan kebingungan. "Enggak Om ... bukan Allana pelakunya," sahut Allana meremat dadanya yang terasa sesak akibat terus menangis. "Kamu ini El! Jangan sembarangan nuduh orang!" tegur Bagas. "Razella meninggal Pa! Dan El liat sendiri, Allana yang pegang pisau itu!" lanjut Elenio menampilkan raut wajah tegasnya. "Itu semua salah paham Om! Allana masih punya hati, gak mungkin Allana membunuh Razella, sahabat Allana!" bantah Allana. "Terus aja cari pembelaan Allana, aku bakal bawa kamu ke Kantor Polisi!" tegas Elenio menoleh tajam pada Allana seraya mencengkram kuat pergelangan tangan Allana. "Aw," ringis Allana pelan menahan cengkraman yang diberikan Elenio. Rasa perih juga panas menjalar ke area kulit tangannya. "Kamu gak bisa main hakim sendiri El, bisa jadi Allana yang kamu tuduh sebagai Pembunuh itu hanya asumsi kamu!" hardik Bagas. "Ini ada apa? Kok ribut-ribut?" tanya Devinka yang menghampiri ketiganya. Devinka yang sedang memasak menghentikan aktifitasnya, setelah mendengar pertengkaran yang terjadi di luar. "Tante," panggil Allana lemah. "Allana," ujar Devinka menatap cengkraman yang diberikan Elenio terlihat sangat kuat. Dari ekspresi Allana, Devinka tahu gadis itu menahan rasa sakitnya. "El, lepasin tangan Allana! Kamu gak lihat dia kesakitan!" perintah Devinka galak. Elenio lantas menghentakkan tangan Allana kuat. Tanpa ada rasa kasihan barang sedikitpun. "Astaga El!" Devinka mendekati Allana untuk memastikan kondisi Allana. "Dia Pembunuh!" tunjuk Elenio pada Allana. Allana menggelengkan kepalanya kuat. Dia terus memeluk tubuh Devinka erat. Sementara Devinka terus mengusap punggung Allana. Timbul perasaan menyesal dalam benak Allana. Kenapa jadi seperti ini kejadiannya? Kamu memang bodoh Allana! Bodoh! batin Allana merutuki dirinya sendiri. "El, kamu tenang dulu. Biar Papa yang urus semua ini," ujar Bagas menatap intens ke arah Elenio. *** Kabar kematian Razella telah menyebar luas sekaligus menggemparkan warga setempat. Pasalnya, Razella yang dikenal sangat baik dan ramah pada orang-orang itu mendadak meninggal akibat luka tusukan. Masih diselidiki penyebab kematian Razella, apakah memang Razella bunuh diri atau ada unsur pembunuhan yang melibatkannya. Lantas, mungkinkah ada orang yang menyimpan dendam pada Razella? Kepolisian masih terus menyisir area rumah Razella. Sementara di luar rumah yang sudah terpasang garis Polisi ada Elenio, Allana, Bagas juga Devinka beserta warga setempat yang menunggu kepastian. Allana tidak berhenti menangis. Kecemasan juga ketakutan telah merasuk dalam diri. Tentu, semua menunggu dengan harap-harap cemas, semoga saja ditemukan bukti yang jelas. Setelah sekitar 20 menit berlalu Polisi pun keluar dari dalam rumah. "Apa ada bukti yang ditemukan Pak?" tanya Elenio tidak sabar. "Kami menemukan sebuah surat yang diduga sebagai surat terakhir dari Almarhum," jawab Polisi itu. "Ini pasti salah! Razella gak mungkin bunuh diri Pak," bantah Elenio setengah tidak percaya. Kedua kakinya melemas. "Ini buktinya." Polisi pun menyerahkan selembar kertas pada Elenio yang kini terduduk di tanah. Kedua tangan Elenio bergetar. Perasaannya tidak karuan. Dalam hati Elenio membaca tulisan tangan itu. 'Bertahun-tahun aku hidup sendiri. Cobaan hidup terus datang silih berganti. Tuhan, aku lelah, bisakah aku beristirahat? Aku rindu Ibu, aku rindu Ayah. Aku ingin bersama mereka. Hidupku tak seindah seperti mereka yang masih memiliki kedua orang tua. Aku hanya ingin bahagia. Hari demi hari terasa semakin berat bagiku. Aku tidak kuat lagi menahan semuanya sendiri. Bolehkah aku ikut pergi? Aku hanya ingin terbebas dari segala beban yang aku rasakan selama ini. Aku hanya ingin tenang. Tolong izinkan aku pergi.' Elenio berhenti membaca isi surat itu. Tangis kesedihannya masih mengalir deras. Hatinya bagai ditusuk seribu jarum. Mengetahui fakta yang jauh dari prediksi. "Ada aku Razella, masih ada aku yang akan selalu ada disisi kamu," lirih Elenio menundukan kepalanya. Bagas merendahkan tubuhnya dan memeluk Elenio dari samping. Bagas tahu betul, Elenio kini dilanda rasa kekecewaan yang amat dalam. Elenio menarik napasnya lalu menghembuskannya pelan untuk meredam rasa sesak yang menghimpit dadanya. Elenio berusaha sekuat mungkin menyelesaikan bacaan dari surat terakhir peninggalan Razella. 'Untuk Elenio dan Allana, terima kasih telah bersamaku sejauh ini. Aku berharap kalian bisa ikhlas dan membiarkanku beristirahat dengan tenang. Aku menyayangi kalian dan aku akan selalu ada di hati kalian.' Razella Alika. Elenio terdiam, tatapan matanya kosong. "Sudah jelas kalau Allana tidak bersalah El, dia cuma korban," jelas Bagas pelan. Entah kenapa mendengar nama Allana langsung membuat emosi Elenio memuncak. Bayangan tentang kejadian tadi kembali memenuhi isi kepalanya. "Bagi El, dia tetap pembunuh Pa!" seru Elenio menunjuk Allana diiringi tatapan benci yang mendominasi. Allana yang terus menerus disudutkan Elenio tidak kuasa menahan rasa sakitnya. Kepala Allana terasa pusing, semua yang ada di depannya seolah berputar, pandangan Allana menggelap. Dia jatuh pingsan. "Allana." Devinka menahan tubuh Allana yang akan ambruk. "Playing Victim!" tegas Elenio yang menganggap Allana hanya pura-pura. "Cukup El! Berhenti salahin Allana, kita urus pemakaman Razella secepatnya," ujar Bagas menengahi. Allana lantas dibawa kerumahnya oleh Devinka dengan dibantu beberapa warga yang ada disana. *** Allana terbaring di kamar bernuansa abu-abu. Wajah dan bibir Allana tampak pucat. Devinka yang menemani Allana turut prihatin melihat kondisi Allana saat ini. Devinka menempelkan punggung tangannya di kening Allana, suhu tubuh Allana memanas── pertanda jika gadis itu demam. "Allana bukan pembunuh! Bukan pembunuh!" rancau Allana tersadar dan membuka kedua kelopak matanya lebar. Allana menangis histeris. Dia masih shock berat. Devinka dengan cepat memeluk Allana. "Iya sayang, tenang ya Allana." "Tante percaya sama Allana?" tanya Allana sorot matanya terlihat sendu. "Iya percaya," jawab Devinka. Dia yakin bukan Allana yang melakukan itu. "Allana mau ke pemakaman Tante," ucap Allana hendak turun dari ranjang. "Jangan dulu ya," cegah Devinka lembut. "Tapi ...." "El masih emosi, Tante takut kamu nanti jadi pelampiasannya dia," sergah Devinka yang memahami situasi. "Allana boleh gak, baca surat dari Razella? Allana mau pastiin itu benar-benar tulisan dia," pinta Allana pada Devinka yang duduk di pinggir ranjang. Devinka tampak berpikir. "Suratnya masih dipegang El. Nanti, Tante akan coba ambil itu dari dia," ujar Devinka. Allana mengangguk pelan. Matanya terlihat sembab, rona wajahnya terlihat merengut layu. Allana tidak pernah membayangkan berada pada keadaan yang sulit seperti ini. *** Elenio, Bagas dan para warga telah melakukan pemakaman bagi Razella. Gadis manis dan baik hati itu dimakamkan di sebelah makam Ibunya. Dari serangkaian prosesi pemakaman Razella, Elenio tidak kuasa menahan tangisnya. Elenio tidak peduli dengan stigma banyak orang yang mengatakan jika laki-laki tidak boleh menangis karena akan dianggap sebagai sosok yang lemah. Elenio menepis anggapan itu. Sejatinya, menangis adalah bentuk dari luapan emosi. Tidak memandang rupa dan jenis kelamin──karena setiap manusia memiliki hati dan empati. Usai membacakan doa untuk Razella. Beberapa warga yang mengantar Razella ke tempat peristirahatan terakhirnya mulai meninggalkan area pemakaman. "Pak Bagas, kami semua pamit," kata Pak Adi selaku Ketua RT. "Baik, saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu semuanya," ujar Bagas. "Sudah sepatutnya sebagai warga kita saling membantu. Razella anak yang baik, tapi takdir hidup memang tidak ada yang tahu," kata Pak Adi yang dibalas anggukan dari Bagas. Bagas kembali berjongkok di samping Elenio. Lalu menepuk pundak kanan Elenio. "Yang sabar El, kamu pasti bisa menerima semua ini," ucap Bagas menguatkan. "Iya, Pa," jawab Elenio pasrah. "Ayo kita pulang," ajak Bagas. "El masih mau disini," jawab Elenio merengut pasi. "Baik, jangan lama-lama larut dalam kesedihan El. Kasihan Razella," pungkas Bagas meninggalkan Elenio sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD