Chapter 2 - Heart Attacke Time

2751 Words
Revan Kuputuskan untuk turun dan menyantap sarapanku pagi ini karena perutku benar-benar keroncongan. Ah, b******u dengan Nadia pagi ini saja sudah menguras tenagaku. Nadia... Nadia... kamu memang hebat membuatku selalu lupa diri. “Pagi, Mi!” Aku mencium pipi Mami sekilas saat aku menghampirinya di meja makan. “Pagi, Sayang.” balas Mami. Aku berinisiatif membantu mami menyiapkan makanan pagi ini. Mami nampak bahagia karena putrinya yang telah hilang selama sepuluh tahun kini kembali ke pelukanya. Setelah Elena pergi dari rumah karena di usuir oleh papi ia kembali lagi bersama kami semua. Aku cukup senang karena adik kecilku yang hilang kini kembali pulang setelah ia puas mengapai cita-citanya, dan aku bersumpah aku tak akan menyakiti adikku lagi karena aku mendukung keputusan papi dulu. “Papi mana?” Tanyaku. “Papimu belum bangun,” sahut mami. Aku menarik kursi meja makan. “Dia nggak mau ketemu sama anak gadisnya apa?” Mami mengakat kedua bahunya. “Entahlah, Mami sendiri juga bingung.” Terdengar suara hentakan langkah kaki yang menggunakan sepatu menuju arah meja makan. Dan sosok Nadia juga Elena datang menghampir kami berdua. Seperti biasa Nadia menenteng jas putihnya, tas jinjingnya dan beberapa map. Aku hanya memandanginya yang duduk di sampingku. Kenapa aku baru sadar ia jauh lebih cantik dari Raina gadis yang membuatku hancur berkeping-keping karena ia menolak mentah-mentah lamaranku? Tidak aku tak boleh goyah dengan putusanku.  Raina sudah mati. Sekarang aku harus belajar mencintai Nadia tanpa bayang-bayang Raina lagi, Walau sikapnya sangat menyebalkan dan kekanakan tapi dia dua kali lebih cantik dari pada Raina dan aku tidak boleh terus di bayang-bayangi cerita masa lalu. “Pagi mas, pagi mami!” Sapa Nadia ramah. “Pagi, anak mami!” Sahut mami “Kok, lama banget si keluarnya?” “Kita tadi ngobrol dulu,” jawab Elena, “Kan ketemu temen lama.” “Temen lama?” Mami nampak tak percaya. “Ya, kami teman satu SMA dulu!” tegas Nadia. “Oh! Dunia sempit sekali nampaknya,” gerutu Mami. “Dan, kak Revan adalah orang yang sangat beruntung punya istri seperti Nadia!” puji Elena, “Karena, Nadia itu jaman SMA di rembutin cowok-cowok loh.” Nadia hanya tersenyum sembari rona merah muda menghiasi pipinya. Ya tuhan aku benar-benar tak berkutik jika ia seperti ini. Nadia... kenapa kamu selalu membuatku bimbang? Kenapa kamu selalu mengingatkanku dengan Raina. Argh sampai kapan ini semua? Kapan bayang-bayang Raina benar-benar mati di dalam pikiranku? “Ah, nggak! kamu kali yang di rebutin cowok-cowok, Len,” Elak Nadia “Udah makan dulu ayo nanti Revan sama Nadia telat ke rumah sakit lagi!” tuas mami Nadia langsung melahap roti yang telah aku siapkan untuknya dengan lahap. Aku hanya memandanginya dengan perasaan kagum. Dia benar-benar hebat membuat semua orang yang berada di sekitanya terpikat dengnya. Saat pertama kali dia menginjakan kakinya di rumah ini dia merebut hati mami dengan mudah. Berbeda dengan Raina dulu. “Mas, nggak makan?” tanya Nadia membuyarkan lamunanku. “Eh...eh... iya aku mau makan kok.” Aku buru-buru melahap roti yang di lapisi selai cokelat kedalam mulutku. “Kayanya, kak Revan bahagia banget liatin Nadia makan,” ledek Elena. “Apaan si kamu!” dumalku. “Bersyukurlah, punya istri cantik, perhatian, pintar dan kaya malaikat macam Nadia...” Puji Elena, “Hidup Kakak bakalan kaya pelangi.” Ya hidupku benar-benar berwarna saat aku mengenal kurcaci ini. Pada awalnya memang sikapnya sangat menyebalkan tapi saat aku membawanya pulang dari diskotik karena ia pingsan aku melihat sesuatu yang berbeda dari dirinya. Dia benar-benar berbeda dari gadis-gadis lainnya dan membuatku bersumpah aku harus menaklukan wanita ini. Segala cara aku tempuh, menyewa mata-mata untuk mengetahui identitasnya, berpura-pura menawarkan diriku menjadi narasumber di seminar kampusku semua aku lakukan demi kurcaci ini. Aku memang kehilangan akal sehatku setiap aku menatap Nadia. Dia benar-benar, satu-satunya wanita yang membuatku gila dan nekat. Berbeda dengan Raina. Memang mereka serupa tapi mereka tak sama. Nadia si kepala batu dengan pesonanya yang membuatku kehilangan akal sehatku dan Raina si glamor yang terkadang angkuh selalu menjadi bayang-bayang yang menyakitkan di hidupku. “Ssttt.... jangan muji-muji terus ah, adik ipar!” tolak Nadia, “Kalo, aku sampai nggak napak ke tanah lagi tanggung jawab kamu!” “Jangan ngomel-ngomel terus, Sayang!” aku mengelus kepala Nadia, “Nanti, pasiennya kabur loh.” “Cieee cieee susah si ya pasangan yang berbahagia aduh... masih hot-hotnya ni!” sindir Elena. “Aduh, kapan ya aku bisa nikah juga ya?” “Perlu aku kenalin sama temen-temenku?” tawarku. “Idih, ogah! Emang aku sebegitu nggak lakunya apa?” erang Elena. “Aku cari sendiri aja.” “Cepetan kamu susul kakakmu!” perintah Mami, “Umur kamu udah cukup buat nikah.” “26 tahun mah masih kemudaan, Mi!” Elena tersenyum meledekku, “Nah, kalo seumuran Kak Revan emang pantes buat nikah karena udah Om-om.” “ELENA!” Teriakku. “Om... om.” Elena menjulurkan lidahnya persisi seperti anak berusia lima tahun. ###### Nadia Pagi ini benar-benar membuat aku shock luar biasa. Aku berharap pagi ini hanya sebuah mimpi dan jika aku terbangun semuanya akan kembali normal. Pagi ini seperti biasa aku pergi ke rumah sakit bersama Revan, suamiku yang awalnya hanya seorang suami pua-pura. Awalnya aku sempat merasa risih karna harus bertemu dengannya 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu dengannya. Tapi sekarang aku merasa mungkin ini sebuah anugerah. “Nadia,” panggil Revan. “Kenapa si Dokter-.” “Sampai kapan kamu berhenti memanggilku Dokter Gila?” potong Revan. “Aku lebih suka memanggilmu Dokter Gila atau mungkin Babo Namja si,” kataku acuh. “Memangnya nggak ada panggilan lain gitu? Bebih kek, Honey kek, Sayang kek, romantis dikit napa!” rengek Revan, “Kita nikah udah lima tahun, kamu tetep nggak pernah bisa romantis  ah.” “Kebagusan iyuh!” Cibirku. “Terus? Aku harus gimana? Kalo aku panggil kamu honey aneh tau!” “Kapan si kita bisa akur, Nad?” tanya Revan sembari menatapku dengan penuh harap. “Menurut survei, seseorang dengan golongan darah B tidak akan pernah akur dengan dengan orang bergolongan A!” “Dan kamu percaya dengan itu?” alis Revan saling bertautan. “Ya, percaya banget!” tuasku. “Dan aku nggak!” elak Revan. “Batu ah kamu!” dumalku. “Biarin. Itu kan cuman berdasarkan riset nggak jelas. Sebagai dokter aku nggak mau percaya dengan apa kata buku yang gak jelas!” Cih -_- maumu apa si dokter gila. Bahkan riset sudah membuktikan kalau golongan darah A dan B tak pernah bisa akur sedetikpun. Seperti kita. Ya aku dan kamu tak akan pernah bisa akur sedetikpun! “Yaudah, aku ngalah!” kataku lesu, “Dan kamu menang, Suamiku sayang.” Revan tersenyum puas. “Begitu lebih baik. “ Tiba-tiba, mobil yang di kendari Revan hampir menabrak sebuah kucing dengan cepat Revan menghindari dan mobil yang kami tumpangi menabrak trotoar pembatas jalan hingga membuat kepalaku terbentur sedikit. “Aw! Sakit.” Aku mengelus-ngelus keningku. “Maaf,” Ia berusah meminta maaf. “Kamu nggak apa-apa kan? Apa yang cedera?” Dengan kesal aku menjitak kepalanya. “Babo! Kamu tau nggak si kamu nyaris bikin kita berdua mati koyol pagi ini ha?!” “Nadia....” Ia menatapku dengan sorot mata yang layu. “Jangan kaya gitu lagi ah!” kataku, “Aku masih muda jangan kamu bikin jantungan, Babo Namja!” Revan tersenyum meledek sembari memamerkan lesung pipit yang menghiasi kedua pipinya itu. dan rasa kesal makin berkobar di dalam diriku. Sudah nyaris membuatku mati konyol ia masih bisa tersenyum  dan memaerkan dipples andalanmu itu? oh, Revan Agustaf Putra Dharmawan apa si yang ada di dalam otakmu? “Kamu kalo lagi marah, kenapa kamu malah keliatan makin cantik, Kurcaci?” goda Revan. “Berhentilah mengodaku!” teriakku kesal. “Hey, Dokter Gila, Dokter Pecicial, Dokter Menyebalkan dan Babo. Jika, aku mati karenamu kamu harus-.” Ia membungkam ocehanku dengan sebuah kecupan singkat di bibir tipisku. Sial apa si yang ada di dalam pikirannya? Kenapa dia senang sekali menciumku? Errr awas kamu dokter gila! Aku benci kamu! tadi pagi kamu sudah menciumku sekarang lagi. Maumu apa si -_- “Jangan ngomel lagi. kalo nggak kucium lagi ni mau?” Revan menatapku tajam. “Dokter m***m!” pelikku kesal, “Ini bukan di rumah ya jadi jangan-.” Dan satu kecupan kembali mendarat manis di bibirku lagi. Argh! Revan aku benci kamu sumpah demi tuhan! kenapa harus ada makhluk menyebalkan seperti kamu si errr. “Sudah aku bilang, kalau kamu masih mengoceh aku akan cium kamu sampai bibir kamu bengkak mau?” Aku mendesah. “Oke iya aku diem. Aku males debat sama kamu Mas. Dan sekarang antarkan aku ke rumah sakit karena dokter Satya sudah berpuluh-puluh kali menelfonku!” “Naik taksi aja,” sahut Revan santai. “MAS!” teriakku kesal, “Kamu gimana si?!” “Aku mau telfon asuransi. Lalu, memanggil mobil derek dan mobil ini mau aku bawa ke bengkel,” kata Revan dingin. Aku menarik tuas pintu mobil dan membantingnya sekuat tenaga. Argh! Kenapa hari ini aku benar-benar sial , sesial-sialnya kesialan di hidupku si? -- Raina Hidupku, benar-benar kacau saat ini. Ya, aku terpaksa menikah dengan pria pilihan ibuku. Aku benar-benar merasa... hidupku kacau. Selama empat tahun aku menikah dengan Dio. Hidupku benar-benar merasa hampa. Tak ada cinta, tak ada kebahagiaan selama ini. Dio memang mapan, lulusan Amerika, dia juga tampan, baik, lembut dan romantis. Siapa wanita yang tidak akan bertekuk lutut dengannya? Kecuali aku. ya aku. selama kami menentap di Jerman dulu, aku benar-benar menyerah dan ingin mengakhir saja pernikahanku denganya waktu itu. tapi, aku teringat pernikahanku terjadi karena sebuah perjanjian antara ayahku dengan ayah Dio. Kami memang di jodohkan sejak kecil. Jarak usiaku dan Dio cukup jauh tujuh tahun. aku lumanyan kesulitan menghadapinya terkadang. Bahkan, saat pertama kali menikah dia benar-benar terlihat polos dan hati-hati memperlakukan aku seperti ia sedang menjaga adikknya bukan seorang istri. Setelah sekian lama, aku kembali di Indonesia bersama Dio. Dio di minta pulang oleh ayahnya dan membantu mengurus perusahaan properti miliknya. Tapi, suamiku yang bodoh ini menolaknya. Aneh. Well, aku terakhir aku pulang ke Indonesia itu saat om Stefan yang aneh itu meninggal sekitar enam tahun lalu. Dan... anak-anaknya yang menyebalkan itu membutuhkan dukunganku. Cih, aku juga tak sudih sebenarnya mau memberi dukungan dengan mereka karena... sejak kecil aku membenci mereka. “Pagi!” sapa Dio saat ia menghampirku di meja makan. “Pagi, Mas,” Sahutku. Dio langsung mendaratkan kecupan di pipi kananku. Selang kemudia ia beranjak dan duduk di kursi makan. Ini mungkin menjadi kebiasaanya setiap pagi denganku. Mencium pipi, bukan bibir. Berbeda dengan Revan, yang lebih suka mencium bibirku dari pada pipiku. “Cantik banget, mau ke kantor atau mau kemana?” “Ya, mau ke kantor lah Mas!” gerutuku. “Jangan cantik-cantik ah,” rengek Dio. “Kenapa?” “Nanti banyak yang naksir sama kamu.” Aku terdiam. Sebegini besarnya dia mencintaku? ya tuhan, aku benar-benar masih belum bisa melepaskan bayangan Revan sepenuhnya selama empat tahun ini. Andai waktu bisa di ulang, aku ingin kembali ke waktu di saat Revan melamarku, aku menerimanya. Mungkin saat ini hidupku bahagia. “Cemburu ni ceritanya?” godaku. “Iya lah cemburu.” -- Revan Pagi yang sial. Benar-benar sial! Tak cukupkah aku kedatangan si tuyul menyebalkan dan merusak acara pagiku dengan Nadia sekarang aku harus mendapat kesialan lagi karena mobilku harus masuk bengkel. Ya tuhan, aku benci hari ini. Bagiamana kalau si dokter Satya yang genit mengoda Nadia di rumah sakit? Argh! Kenapa Nadia harus menjadi assiten dia si?! Kenapa bukan menjadi assitenku saja?! apa si hebatnya Satya? “Pagi Boss!” Sapa salah satu montir saat aku memasuki bengkel mobil langgananku. “Pagi.” Montir itu melirik ke arahku. “Kenapa Boss? mukanya pagi-pagi udah kusut aja.” “Hampir mati gue pagi ini!” dumalku. “Mobilnya mana?” tanya montir itu. “Bentar lagi, mobil dereknya dateng.” Aku langsung berlari kearah sofa yang ada di bengkel ini dan membenamkan diriku di senderan sofa. “Emang, mobilnya kenapa, Boss?” Tanya montir itu lagi. “Habis nabrak trotoar.” “Untung lo nggak apa-apa Pak Dokter,” ledek montir itu, “Kalo... lo kenapa-kenapa nanti kasihan bengkel ini kehilangan pelanggan setianya.” “Errr! Lo itu emang dari jaman SMA nggak beruba Di!” Montir itu tersenyum meledek. Ya aku sangat kenal dengan montir ini, tidak lebih tepatnya dia itu sahabatku semasa SMA namanya Dio lengkapnya Dio Wiratmaja, dia lulusan teknik mesin di Amerika. Setelah lulus ia memilih  menetap di Jerman tanpa sepengetahuanku, sekitar satu setengah tahun yang lalu ia pun kembali ke Indonesia  lalu ia menolak mengembakan usah milik ayahnya dan memilih membuka usah sebuah bengkel mobil sembari merangkap menjadi montir di bengkelnya sendiri. Aku tak pernah mengerti apa yang ada di dalam pikiran Dio saat ini. Kenapa dia menolak mengembangkan usaha ayah yang sukses itu dan lebih memilih menjadi montir di bengkelnya sendiri? “Ya gue tetep gue lah, Van!” tuas Dio. Aku mengerecutkan bibir. “Terserah lo deh, Di.” Dio menghampiriku dan duduk di tempat yang kosong di sampingku, Ia memandangiku dengan pandangan penuh tanya. “Kenapa bisa nabrak trotoar gitu? Berantem lo sama istri lo?” “Begitulah,” aku mengakat kedua bahuku, “Batu si dia.” “Kalian kaya Tom and Jerry tau!” ledek Dio, “Kapan si kalian akur? Berantem terus.” “Dia itu batu jadi orang sumpah!” cibirku, “Gue nggak ngerti lagi sama tuh bocah maunya apa si. Lo tau nggak si pagi ini gue berantem kenapa? Karena ributin masalah golongan darah doang! Kan koyol.” Dio langsung tertawa dengan keras mendengar ocehanku. Sial, kenapa aku punya sahabat semacam dia si. Sahabatnya lagi kena musibah malah di tertawakan -_- memangnya ini stand up comedy apa? memangnya aku Cak Lontong apa yang selalu membuat orang tertawa dengan celotehananya? “Istri lo lucu juga ya? Jadi, penasaran mau ketemu dia,” gumam Dio. “Kalo ketemu sama dia awas lo naksir sama dia!” desisiku. Dio tersenyum meledek. “Sorry ni ya, kita mah udah punya istri yang selevel sama model Victoria Secret’s kali.” “Ya serah lo lah,” jawabku acuh, “Pokoknya lo ngelirik Nadia, gue eurtanasia lo!” “Aduh, Pak Dokter galak banget si!” Sebuah mobil mini Chooper berwarna merah berhenti di depanku, aku hanya dapat mengangak saat melihat seorang wanita cantik berambut brunet sebahu dengan pakaian serba mininya keluar dari mobil itu dan aku mengenalinya dia. dia terihat sangat mengoda, dan lagi-lagi jiwa normalku mulai bangkit. “Hai, Mas.” Wanita itu menghampiri Dio yang duduk di sampingku. Tidak katakan ini mimpi katakan ini mimpi. “Halo Honey,” Sahut Dio. Ia bangkit dari sofanya dan memeluk wanita itu. aku hanya dapat menahan rasa kesalku. kenapa hari ini benar-benar sial untukku. Wanita itu memandangiku sekilas. Terlihat pandangannya langsung redup saat menatapku. Api cemburu pun menghampiriku, ya tuhan kenapa Raina datang lagi?! Kenapa... kenapa... ya tuhan aku benar-benar bimbang saat ini. “Eh, kenalin ni  istri gue.” tawar Dio. “Raina.” Raina mengulurkan tangannya. “Revan.” aku membalas uluran tanganya. Kami saling memandang satu sama lain, terbersit kerinduan yang menghampiriku dengan sosok wanita yang ada di depanku ini. Hampir lima tahun aku tak pernah bertemu denganya setelah aku kembali dari Jerman. Dia semakin cantik bahkan dia bertambah cantik dengan gaya rambutnya saat ini. Dadaku sangat terasa nyeri saat ini karena melihat ia di peluk oleh pria lain bukan denganku. “Udah jangan lama kali peganga tanganya!” sindir Dio, “Nanti, lo naksir sama istri gue lagi!” Aku langsung melepaskan jabatan tanganku dengan Raina. Terlihat Raina salah tingkah denganku. Aku hanya terdiam membeku seperti patung. Aku benar-benar astaga hari ini hari apa si kenapa kesialan-kesialan selalu datang bertubi-tubi? “Kok kamu kesini nggak ngomong-ngomong si, Yang?!” Tanya Dio. “Jadi, aku nggak boleh ke bengkelmu ni?” sahut Raina. “Ya boleh lah, Sayang.” “Aku gangguin kamu ya?” tanya Raina. Dio menggeleng. “Nggak kok, Sayang.” Mereka saling melemparkan penuh cinta. Dadaku semakin lama semakin nyeri. Ya tuhan aku benar-benar tak sanggup melihat pemandangan menyedihkan yang ada di depanku saat ini. Menyakitkan. Kenapa dia harus muncul lagi di kehidupanku disaat aku sedang memulai melupakannya dan mencintai orang lain? dan, kenapa dia harus bersama sahabatku? “Bro, gue balik dulu ya pengen ke rumah sakit!” kataku tiba-tiba. “Mobil lo gimana?” “Bentar lagi dateng kok mobil dereknya bye!” Aku langsung pergi meninggalkan mereka berdua dengan perasaan kesal sedih cemburu yang bercampur menjadi satu. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD