1. Undangan dari Mantan

1008 Words
"Undangan nikahan dari mantan, ya, Dok?" Maya tersenyum jahil. Matanya tidak lepas memerhatikan raut dokter Reza yang tampak serius di kursi meja praktiknya. Laki-laki 30 tahun itu tampak sedang membaca sebuah undangan pernikahan. Ekspresi frustrasi yang dia tunjukkan membuat Maya tidak tahan untuk tidak bertanya. Dokter Reza berdecak sebal. Ia melirik Maya, perawat yang belum lama ini membantunya di ruang poli dengan sedikit sinis. Raut frustrasi yang tadi menggurat wajahnya, bertukar dengan raut jengkel. Dia sedang membaca undangan resepsi pernikahan Rumaisha dan Agung--orang tua dari Naira--pasien anak penyandang down syndome yang pernah ia tangani beberapa waktu lalu. Rumaisha adalah sosok yang pernah mengisi hati dokter Reza di masa lalu, bahkan sampai sekarang. Ia menyukai gadis itu secara diam-diam sejak masih berseragam putih abu-abu. Sementara Rumaisha, yang merupakan sahabat Alya, adiknya kala itu masih duduk di bangku SMP. Pada awalnya dokter Reza mengira rasa sukanya kepada Rumaisha hanya sebatas suka biasa, sehingga dia tidak pernah menggubris perasaan itu. Dia memang sangat menyukai senyum Rumaisha, suka menatap wajah bening gadis itu diam-diam. Namun, saat itu dia berpikir semua rasa itu hanya sekadar kegemasan seorang kakak kepada adiknya, sebab Rumaisha merupakan sahabat Alya. Di samping itu, saat itu pun mereka masih terlalu muda. Barangkali jika memang cinta, semua hanyalah cinta monyet belaka. Setelah tamat SMA, dokter Reza memilih untuk melanjutkan pendidikan di fakultas Kedokteran yang ada di ibu kota. Jauh dari Rumaisha, tidak pernah lagi melihat senyumnya membuat dokter Reza sadar bahwa dia telah jatuh cinta pada gadis kecil itu. Dia merasakan rindu selalu menyambanginya setiap saat, merasa gelisah karena desakan hati yang meminta bertemu, tersenyum sendiri saat bayangan senyum Rumaisha melintas di benaknya. Akan tetapi, Dokter Reza enggan untuk menceritakannya kepada Alya. Dia memilih untuk menjumpai sendiri gadis itu kelak ketika pulang dan menyampaikan perasaannya secara langsung. Sayangnya, tidak lama berselang, bertepatan dengan Alya masuk SMA, keluarga besarnya pindah ke Pontianak. Dokter Reza kehilangan jejak Rumaisha. Gadis sederhana dari keluarga kurang berada itu pun tidak mempunyai alat komunikasi yang bisa dihubungi. Dokter Reza memendam perasaannya untuk sementara. Barulah setelah menyelesaikan pendidikan spesialis anak, dia kembali ke kota Ngabang untuk mencari keberadaan gadis kecilnya. Akan tetapi, hal pertama yang dia temui di kota itu adalah patah hati. Rumaisha telah menikah dengan Agung, duda beranak satu yang baru saja ditinggalkan istrinya, Maharani. Rumaisha memilih untuk mengabdikan hidupnya pada laki-laki itu--merawat Naira--putri spesial Agung dan Maharani. Maharani menolak kehadiran Naira lantaran kondisinya yang spesial. Ia memilih pergi sehingga Agung terpaksa menikahi Rumaisha demi merawat putrinya yang juga mengalami penyakit jantung bawaan. Pernikahan Agung dan Rumaisha telah dilangsungkan secara Agama sebulan setelah Naira dilahirkan. Mereka memilih menunda resepsi demi menemani Naira menjemput kesempurnaan jantung. Saat ini, setelah Naira menjalani operasi dan dinyatakan sembuh, mereka hendak melangsungkan resepsi. "Kamu itu selalu saja mau tahu urusan orang!" ucap dokter Reza ketus. Maya tertawa cekikikan. Gadis manis berlesung pipi itu selalu merasa puas setiap berhasil menggoda sang dokter. "Ya elah. Cuma nanya dikit, Dok. Begitu saja jutek. Pantesan ditinggalkan pacar," balas Maya sekenanya, "Kalau mau pacar setia itu, harus banyakin senyum dan sabar, Dok." "Pacar ...! Pacar apaan?" Dokter Reza terus mendengkus jengkel, "Dia bukan pacar saya." "Oh, iya, bukan pacar. Tapi mantan pacar," ralat Maya. Gadis 24 tahun itu masih tetap tersenyum jahil. "Kami tidak pernah pacaran! Jadi tidak ada yang namanya mantan pacar! Kami jangan sok tahu, deh!" "Oh begitu? Kalau bukan mantan pacar, berarti mantan gebetan, dong? Kasihan banget, Dok. Ganteng doang, cinta cuma dipendam." "Kamu bilang apa?" Tidak tahan dengan kejahilan Maya, dokter Reza refleks berdiri dari duduknya. Tangannya meraih salah satu map yang ada di atas meja dan dengan geram segera memukulkannya ke kepala gadis itu. Plak! "Aduh!" Maya memegang kepalanya yang terbungkus jilbab. "Ya Salaam, Dokter! Sama cewek enggak ada lembut-lembutnya?" ujarnya sembari meringis. "Buat apa lembut? Kalau ceweknya lembut, pantes saja dilembutin. Lha, kamu itu enggak ada lembut-lembutnya. Lelembut, iya!" "Astaghfirullahal'azim, Dokter!" Maya terpekik tidak percaya mendengar kalimat terakhir dokter tampan pujaan hatinya itu. Bola matanya membulat. Mulutnya sedikit ternganga. Laki-laki itu mengatainya mahluk lelembut? Yang benar saja? "Apa?" ucap dokter Reza ketus. Ia balas melebarkan pupil matanya, memandangi Maya dengan raut judes. Maya tersurut. Ia menelan ludah, tersadar sedang bicara dengan siapa. Bagaimana pun, ibarat kata laki-laki yang ada di hadapannya itu memiliki kedudukan satu tingkat atau bahkan lebih di atasnya. Posisi dia di sini hanya asisten, sementara dokter Reza merupakan orang yang harus ia layani. Jadi, secara kasta dia tetap kalah dan tidak akan menang kalau melawan. "Eh, enggak, Dok. Enggak apa-apa," sahut Maya sambil cengengesan. Ia menggaruk tengkuk di balik jilbabnya yang tiba-tiba terasa gatal. "Hati-hati kamu kalau ngomong," ketus dokter Reza lagi. "Iya, Dok. Maaf." Dokter Reza kembali duduk di kursinya setelah mendengkus dan menghela napas dalam. Pikirannya masih galau memikirkan undangan Rumaisha yang baru saja ia terima. "Apa masih ada pasien lagi?" tanyanya mengalihkan fokus setelah pantatnya duduk di kursi dengan sempurna. "Sudah habis, Dok. Ini juga sudah siang. Bagian pendaftaran juga sudah tutup." "Oh, ya, sudah kalau begitu." "Iya, Dok. Berarti saya boleh ijin pulang, Dok?" "Iya." "Alhamdulilah." Maya bergegas meraih tasnya dan mengemas beberapa perlengkapan pribadi. Untuk data pasien, dia sudah menyelesaikannya sejak tadi. "Dokter apa enggak pulang?" Ia bertanya saat melihat dokter Reza masih duduk di meja kerjanya. Laki-laki itu merapatkan kedua tangannya sehingga saling menggenggam, lalu menumpukannya pada dagu. "Iya, saya sebentar lagi. Kamu duluan saja," balas dokter Reza. "Dokter sedang bingung, ya, mau datang apa enggak ke nikahan mantan gebetan itu? Pasti sedang mikir kalau enggak datang, enggak enak. Nanti dibilang enggak gentle. Tapi kalau datang, lebih enggak enak lagi karena belum ada pasangan." Maya kembali berkata jahil sambil diikuti tawa cekikikan. "Makanya, segera cari pasangan, Dok. Move on. Jangan mau kalah." "Mulai!" Dokter Reza melotot ke arah Maya. Ia kembali menatap gadis itu judes. "Eh, enggak, Dok. Maaf. Kalau begitu saya pulang dulu. Assalamu'alaikum." Gentar menyaksikan ekspresi dokter Reza, Maya bergegas hendak keluar. "Waalaikumsalam. Eh, Maya!" "Iya, Dok?" Maya menghentikan langkahnya. Ia yang hampir sampai di muka pintu, kembali membalikkan badan, menghadap pada dokter Reza yang saat itu sedang memperhatikannya intens. "Bagaimana kalau kamu saja yang jadi pasangan saya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD