Bab 2

1354 Words
Sakila mengayunkan langkah dengan pasti keluar dari rumah yang dibeli oleh Bagas. Rumah itu berada di pinggir jalan, rumah yang bisa dikatakan cukup sederhana. Awalnya rumah itu hanya ditinggali oleh mereka berdua, akan tetapi semua berubah ketika Hanifa terjerat hutang piutang yang membuat rumah warisan dari almarhum suaminya di ambil paksa oleh pihak Bank. Sejak saat itu, Hanifa dan Mili tinggal bersama dengan mereka. Awalnya, semua terlihat baik, namun seiiring berjalannya waktu, sifat asli Hanifa dan Mili ternyata lebih busuk dari mulut mereka yang penuh bisa racun. “Sakila.” Suara berat itu tentu sangat Sakila kenali, karena pria yang saat ini tengah mencengkram pergelangan tangannya adalah Bagas, suami tercintanya. Seketika Sakila merasa berada di atas langit, setelah suasana panas di dalam rumah tadi tentu hal ini adalah hal yang sangat baik dan dinantikan Sakli. Bagas ada untuknya, menepis kabut kesedihan yang tadi sempat dia rasakan. “Mas?” Sakila menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Namun, ketika ia melihat Bagas, Sakila sama sekali tidak menemukan kelembutan di sana, senyum Sakila seketika redup dan menghilang ketika dia melihat dengan sangat jelas bahwa saat ini Bagas terlihat kesal. Terbukti dari pertanyaannya yang ketus. “Mau kemana kamu?” Spontan Sakila menatap Bagas dengan malas. “Cari angin,” kata Sakila sekenanya. Sakila berusaha melepaskan cengkraman tangan Bagas darinya, dia berhasil dan berpikir untuk kembali mengayunkan langkahnya. “Kamu sadar nggak sih kalau tadi kamu udah sangat keterlaluan, nggak sopan tahu nggak kamu ngomong kayak gitu sama Ibu mertua kamu sendiri juga sama Mili,” ucap Bagas tegas. Sakila menatap Bagas, dia terperangah dan sadar sudah berpikir naif, ternyata suaminya tidak berubah. Masih sama seperti yang lalu-lalu, membela Ibu dan adik iparnya, sama sekali tidak memperdulikannya. Dia menarik nafas panjang, menyesali pemikirannya yang terlalu polos dan terlalu positif pada suaminya ini. “Mas, harusnya kamu yang sadar, buka mata kamu Mas, sebelum ada mereka, rumah tangga kita baik-baik saja Mas, tapi setelah ada mereka... Pernah nggak kamu melihat sekali saja mereka memperlakukan aku dengan layak? Adik kamu Mili, selama aku menikah sama kamu dan sampai detik ini, dia tidak pernah memanggil aku dengan panggilan yang layak, bukan aku gila hormat, tapi setidaknya dia memiliki adab , sopan santun yang benar.” “Semuanya sepele Sakila, nggak usah dibawa hati, udah lah... Maklumi saja mereka,” sahut Bagas ringan. “Maklumi?” Sakila terperangah tidak percaya. Sakila menggeleng dan mengusap wajah dengan telapak tangannya. “Bisa gila aku lama-lama kalau kayak begini terus,” lanjut Sakila dnegan mata melotot. Lalu dia berbalik dan pergi begitu saja, tanpa memperdulikan Bagas yang terus menerus memanggilnya untuk kembali. Saat ini, yang Sakila inginkan hanyalah sebuah ketenangan, dia ingin tenang sejenak sebelum kembali menghadapi tingkah menyebalkan dua orang yang ada di rumahnya itu. Sambil berpikir-pikir lagi, apa yang seharusnya dia lakukan untuk dapat mengubah situasi menyebalkan ini menjadi menyenangkan. Melepas statusnya sebagai seorang pewaris lalu menjelma sebagai wanita biasa yang hidup sederhana tentulah sangat tidak mudah, terlebih ketika Sakila memilih untuk fokus menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Dulu, kedua orangtuanya sangat menentang keputusan Sakila yang ingin menikah dengan karyawan biasa di salah satu perusahaannya. Tetapi saat itu, Sakila justru malah bersikeras dan ingin tetap menikah dengan Bagaskara, karena dia pikir, walaupun setelah menikah nanti hidupnya menjadi sangat sederhana Sakila sangat yakin bahwa tidak akan banyak masalah yang akan tibul di kemudian hari. Sakila mengusap wajah frustasi dengan kedua telapak tangannya. Diteguknya lagi orange juice yang sudah dia pesan sebelumnya, lalu kembali menatap ke arah dance floor. Setelah Sakila meninggalkan rumah, dia sengaja menepikan dirinya di sebuah club tempat dimana dulu dia sering menghabiskan waktu hingga pagi menjelang di tempat ini bersama dengan teman-temannya. Tanap menyadari bahwa ada seseorang yang sejak tadi tengah memperhatikan dirinya. “Tumben nggak minum?” Suara itu terdengar tidak asing bagi Sakila. Dia menolehkan wajah ke samoing dan mendapati seorang pria muda yang usianyahany berjarak lima tahun darinya. “Kamu,” gumam Sakila pelan lalu mengabaikan Satria dan kembali menikmati gemerlap lampu di bawah sana tanpa memperdulikan panggilan telepon dari Hanifa. Tatapan Satria tidak beralih darinya, pria itu terus menatap Sakila sambil sesekali melihat panggilan teleponnya yang kembali berdering dan berdering lagi. “Mama yang dimaksud Ibu Mertua kamu kan?” ucap Satria lagi namun tetap diabaikan Sakila. Tidak menyerah begitu saja, Satria ingin perhatian wanita itu berpusat padanya, dengan niatan jahil Satria menukar gelas bir miliknya dengan gelas orange juice milik Sakila, membuat Sakila spontan mendelik sadis padanya. “Ngapain kamu tukar segala?” sahut Sakila yang dengan cepat kembali menukar gelasnya. “Pergi sana, aku nggak mau diganggu,” lanjut Sakila dengan malas. Pria jangkung yang menutupi badan atletisnya dengan kemeja putih polos khas anak kantoran baru pulang kerja adalah mantan kekasih Sakila tujuh tahun yang lalu, mereka berdua putus karena saat itu Sakila memergoki Satria tengah berduaan dengan wanita lain, dan sejak saat itu bukan hanya hubungan mereka yang kandas, komunikasi diantara mereka pun kandas. Satria tertawa kecil. “Udah lama ya kita nggak ketemu...” “Nggak usah basa basi, busuk loe!” sahut Sakila ketus. Satria kembali tertawa kecil. Lalu dia mengedarkan pandangan ke sekeliling club seperti tengah mencari sesuatu, namun tanpa sengaja dia melihat sepasang pria dan wanita tengah asik mojok di dekat toilet. Dia merasa tidak asing dengan sosok pria yang ada di sana. “Suami kamu nggak akan marah apa kalau tau kamu ada di tempat?” ucap Satria kembali memfokuskan atensinya pada Sakila. “Apa peduli kamu sih?” Semenjak Sakila memergoki Satria berselingkuh, semenjak itu lah Sakila sangat membenci Satria. Pengkhiatan Satria benar-benar sangat melukainya dan membuatnya begitu frustasi, hingga pada akhirnya Sakila memantapkan hati untuk menikah dengan Bagas. Karena Sakila merasa Bagas jauh lebih baik dari Satria. “Aku juga terlalu peduli sih sama istri orang atau sama rumah tangga orang lain, cuman...” Satria kembali melihat ke arah toilet, hanya untuk memastikan bahwa pasangan itu masih asik b******u di depan toilet. “Aku pikir, aku harus menunjukkan sesuatu deh sama kamu.” Apa pun yang dikatakan Satria, Sakila sama sekali tidak pedulu. Dia malah menghabiskan orang juicenya lalu bangkit berdiri bersiap untuk pergi meninggalkan Satria dengan celotehannya. “Aku mau tanya sama kamu.” Satria dengan cepat mencengkram pergelangan tangan Sakila, menahan wanita itu pergi sebelum melihat apa yang dia lihat. Spontan Sakila memelototinya, baginya tidakkah Satria sadar kalau ia sangat membenci dirinya. Wajahnya sekeketika kerung dan terlihat begitu emosi. Sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan Satria, Sakila berkata dengan tidak sabaran, “Mau apa lagi sih, Sat?” “Aku rasa suami yang selalu kamu banggakan itu lagi main cewek di tempat ini,” ucap Satria dengan cepat. Emosi Sakila kian menjadi ketika Satria membahas tentang perselingkuhan dan mengarang tentang suaminya yang juga sedang selingkuh. “Nggak usah ngomongin soal perselingkuhan ya, kamu juga tukang selingkuh!” “Demi Tuhan, aku nggak pernah selingkuh Sakila, kamu salah paham,” ucap Satria. Satria sadar betul bahwa penjelasan apa pun yang dia katakan pada Sakila akan sangat sulit membuat wanita itu kembali percaya kepadanya. Kepercayaan Sakila padanya sudah hilang tujuh tahun yang lalu. “Taik kamu.” Sakila kembali menghempaskan tangannya dari cengkraman Satria. Dia pun berhasil. Tidak ingin Satria kembali menahannya untuk pergi Sakila langsung memutar tubuh bersiap pergi. Namun seketika, dia merasakan dunianya bagai disambar petir di siang bolong. Pupil matanya membesar, netranya menangkap pemandangan menjijikkan di ujung sana. Seperti membohongi diri, Sakila berusaha memastikan bahwa apa yang dilihat oleh matanya adalah salah. Mas Bagas? Itukah dia? Sakila memejamkan kedua matanya, dia berharap ini hanyalah sebuah ilusi optik yang membuatnya melihat pria lain sebagai suaminya. Namun ketika Sakila kembali membuka mata, keyakinan itu malah muncul sebagai tamparan keras baginya. Pria yang kini tengah b******u mesra dengan wanita lain itu memang benar adalah suaminya, Bagaskara. Ini lebih parah dari yang dilakukan oleh Satria dulu. Seketika Sakila merasakan lututnya mendadak begitu lemas membuat dia nyaris kehilangan keseimbangan untuk tetap dapat berdiri tegak melihat adegan mesra yang menjijikan itu. Bagaimana bisa Bagaskara berselingkuh darinya, kurang apa lagi darinya? "Cewek itu bukan anak club sini, aku rasa hubungan mereka sudah sedalam seperti yang kita lihat sekarang." Seketika Felicia mengepalkan tinjunya. rahangnya berdenyut cepat ketika dia mendengar perkataan Satria barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD