Bab 4

1278 Words
Pada akhirnya Sakila tidak dapat berbuat banyak. Ia juga tidak dapat melawan Satria. Ketika pria itu menekan tubuhnya kembali rebah di atas ranjang, Sakila mendadak membeku. "Ini sudah larut malam, istirahat di sini dulu, besok pagi baru boleh pergi," kata Satria. Oke, tidak terjadi apa pun di sini, Satria sepertinya tahu batasan. Dia tidak melakukan hal-hal yang mengejutkan Sakila. Ketika pagi menjelang, Sakila merasa tubuhnya begitu ringan. Oh... Tentu saja, karena dia sudah tidur dengan sangat nyaman semalaman tadi. Satria, dimana dia? Sekelebat bayangan wajah Satria melintas di pikirannya, ia pun bangkit berdiri dan mencari keberadaan pria itu di dalam rumah yang setiap sudutnya sudah begitu sangat dia kenali. Sepanjang Sakila berjalan di lantai dua rumah ini, ia tidak mendapati keberadaan Satria, bahkan ketika ia membuka ruang kerjanya, Satria tetap tidak dia temukan. Sakila mengarahkan tatapannya ke lantai satu, samar-samar ia mendengar suara gaduh di bawah sana. Mungkinkah itu Satria? Di rumah ini tidak ada yang berubah, masih sama seperti dulu. Tenang, unik dan estetik. Setiap sudutnya menyimpan banyak kenangan yang pernah terjadi antara dirinya dengan Satria. Tiba-tiba saja Satria muncul di balik tembok sambil memegang panci ditangan. "Udah bangun?" Pria itu spontan membuat Sakila tersenyum, karena pagi ini ia mendapati Satria sedang memakai celemek berwarna biru muda dan rambutnya terlihat berantakkan seperti tidak di sisir. Seperti bukan Satria yang dia kenal selama ini. "Kamu lagi ngapain?" ucap Sakila sembari melipat tangan di d**a. "Lagi bikin sarapan," ujarnya ringan. Lalu Satria kembali ke dapurnya. Sesaat Sakila tidak berkata-kata, ia merasa kosong. Dan tidak tahu harus berbuat apa. "Aku harus pulang," kata Sakila saat ia kembali teringat dengan Bagas, suaminya. "Sarapan dulu," sahut Satria cepat. Sakila menghela nafas panjang lalu kembali menatap Satria yang sedang memunggunginya kerena masih asik membuat sarapan untuk mereka berdua. "Aku harus memastikan bagaimana kondisinya setelah semalam tadi kamu hajar dia habis-habisan." Satria berhenti mengaduk creamy pasta lalu menarik nafas dalam-dalam dan berpikir untuk mempertahankan Sakila yang keras kepala itu. "Aku hanya memberikan dia pelajaran supaya nggak semana-mena sama perempuan, apalagi main fisik," ucap Satria tanpa berbalik menatap wanita yang masih berdiri di ujung pintu. "Terserah." Sakila membalikkan tubuh tanpa memperhatikan saat Satria berjalan mendekat dan menarik tubuhnya kembali dalam pelukannya. "Sat, lepas," pekik Sakila. Namun, semakin Sakila berontak semakin kuat pelukan Satria. "Aku sudah bilang, aku tidak akan melepaskanmu lagi, pria itu tidak pantas untukmu," lirih Satria. Seketika Sakila tidak bereaksi, ia diam tidak berkata-kata. Berusaha berpikir jernih, ini bukanlah hal yang benar untuk dilakukan meski sebenarnya ada sesuatu di dalam hatinya yang mendadak merasakan kesegaran seperti yang sekian lama terasa tandus. Lalu sebuah ingatan membangun Sakila dari kenyamanan itu. "Satria lepas, aku sudah jadi istri orang lain," geram Sakila yang pada akhirnya ia berhasil membuat Satria melepaskan pelukannya. Satria tertunduk tidak berdaya. Sementara Sakila menatapnya dengan sorot penuh ketegasan. "Dia pantas atau tidak itu aku yang tahu, aku sudah memilih dan sebaiknya kamu tidak ikut campur dengan masalah pribadiku." Setelah merasa puas mengatakan itu semua pada Satria, Sakila pun kembali membalikkan tubuh, ia merasa sudah saatnya ia pergi. Tidak peduli bagaimana Satria menatapnya pergi dengan berat hati. Karena bagi Sakila, saat ini Satria bukanlah siapa-siapanya. Meskipun ada banyak kenangan indah bersama dengannya. Sakila terus mengayunkan langkahnya keluar dari area perumahan Satria. Di sepanjang perjalanan dia terus berpikir tentang kejadian semalam, apa yang kemudian terjadi pada Bagas dan bagaimana dia harus menghadapi suaminya nanti saat mereka bertemu. "Sakila." Sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya, mengejutkan Sakila saat dia tahu siapa pengemudi mobil BMW hitam itu. "Nadia?" Nadia melihat ke sekelilingnya, memastikan bahwa Sakila tidak benar-benar sendirian di jalanan ini. "Masuk," ujarnya setelah yakin Sakila memang sendirian di jalanan ini. Tanpa menunggu lama, Sakila pun masuk ke dalam mobil. Secara tidak langsung Sakila merasa senang bisa bertemu dengan Nadia temannya yang sudah lama tidak bertemu semenjak Sakila menikah dan memilih keluar dari rumah keluarga besarnya. "Kok kamu bisa ada di sini? Kalau nggak salah ini daerah perumnya Satria, kan?" ucap Nadia sebelum ia menyalakan mesin mobilnya. "Iya, aku abis dari rumahnya," sahut Sakila pelan. "Oh ya? Kalian baikan?" ucap Nadia tidak percaya. "Bukan..." Sakila segera mengkoreksi percakataan Nadia. "Aku... Agak complicated juga sih, tapi semalam dia udah nolongin aku." "Dari?" Sakila terdiam tidak menjawab pertanyaan Nadia, wajahnya berubah sendu diiringi dengan hidungnya yang mulai memerah. Nadia adalah teman baiknya, dia orang yang sengat peka, sekalipun Sakila tidak bercerita tentang masalahnya entah kenapa lambat laun Nadia akan mengetahui masalah apa yang sedang dia hadapi. Dan Nadia memilih untuk mengonfrontasinya. "Kila, kamu lagi nggak bermasalah kan sama Bagas?" Seketika Sakila menatapnya dengan terkejut. Bagaimana Nadia bisa berkata begitu? "Kok kamu ngomongnya gitu sih, Nad?" sahut Sakila. "Aku sama dia baik-baik aja kok." Dusta Sakila yang tentu saja tidak membuat Nadia bisa mempercayainya begitu saja. Untuk sesaat Nadia tidak berkata-kata. Apa yang dikatakan oleh Sakila sudah cukup mengatakan segalanya. "Sebaiknya kamu jujur sama aku, sebelum aku yang bertanya langsung sama Satria." "Nad." Sakila tersudut dengan ancaman Nadia, pada akhirnya dia hanya bisa jujur mengatakan semuanya pada Nadia. Dan tentu saja, temannya itu sangat tidak terima atas perlakukan kasar yang sudah ia dapatkan dari suami serta keluarganya. Ketika mobil BMW hitam itu berhenti tepat di depan rumah Bagas, untuk terakhir kalinya Nadia berkata, "Sebaiknya kamu pisah sama dia, kamu nggak layak diperlakukan kayak gitu sama mereka." "Tapi Nad..." "Kalau sampai kejadian yang sama terulang, aku nggak akan kasih ampun sama mereka, begitu pun sama kamu, aku nggak akan mentoleransi apa pun pembelaan kamu." Nadia sengaja menekankan kata-kata itu agar Sakila tahu bahwa dia berharga, kalaupun dia gagal dalam pernikahan ini itu bukanlah sesuatu hal yang sangat buruk. Sakila layak mendapatkan kehidupan baru dan keluar dari sangkar Iblis keluarga Bagaskara yang menyebalkan itu. Sakila kembali terdiam menelan pahitnya kenyataan yang selama ini dia alami. Dia sudah berjuang mati-matian mempertahankan pernikahannya sampai di titik ini, haruskah dia menyerah begitu saja? *** Bagas terus mondar mandir di depan rumahnya. Dia terlihat begitu gelisah setelah semalam tadi istrinya tidak pulang dan juga tidak dapat di hubungi. Entah pergi kemana wanita itu semalam tadi. "Udahlah Mas, kalau dia nggak pulang bukannya bagus buat kita? Hidup kita nggak bakalan diribetin lagi ama cewek mandul itu," ucap Mili yang sengaja ikut keluar rumah untuk melihat apakah kakak iparnya sudah pulang atau belum. "Diam kamu Mil," gertak Bagas dengan nada kesal. Mili memutar bola mata malas ketika mendengar Bagas malah menggertak dirinya. "Aku udah tau semuanya Mas, soal kamu selingkuh sama Stefi, dan semalam aku dengar kalau dia..." Seketika Bagas berhenti mondar mandir, dia menatap Mili dengan mata menyipit penuh ancaman. Bukannya takut, dengan alis terangkat Mili malah melanjutkan kata-katanya. "Dia hamil... Stefi hamil, itu kan yang kamu bilang sama Mama semalam?" Wajah Bagas seketika memerah terpancing emosi. Jari telunjuknya dia acungkan di depan muka Mili hingga membuatnya mulai ketakutan. "Diam kamu, berani kamu membocorkan itu pada Sakila, habis kamu!" Disaat yang bersamaan, mobil BMW hitam milik Nadia berhenti tepat di depan rumahnya. Membuat Bagas dan Mili kompak melihat ke arah mobil itu dengan tatapan bertanya. Namun seketika, wajah mereka berubah menjadi sangat terkejut ketika mengetahui siapa yang keluar dari mobil berkaca hitam pekat itu. "Sakila," ucap keduanya kompak. Amarah Bagas kian menjadi-jadi ketika melihat istrinya pulang dengan diantar mobil mewah. Tinjunya terkepal erat diiringi dengan rahangnya yang mengetat. Ketika Sakila keluar dari mobil Nadia, dia sama sekali tidak menyadari keberadaan Bagas dan Mili. Baru ketika mobil Nadia berlalu dan ia berbalik ke arah rumahnya, barulah dia menyadari keberadaan dua orang yang menatap dirinya dengan tatapan tajam. namun semua terabaikan ketika ia melihat Bagas tampak segar meski di wajahnya banyak luka lebam. Sejenak Sakila ragu untuk kembali melangkahkan kaki mendekati suaminya, akan tetapi ini rumahnya dan di sinilah dia harus pulang. Dan menyelesaikan semuanya. "Istri kurang ajar!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD