Bab9

1066 Words
Sakila menatap rumah yang sudah lima tahun lamanya ia tempati bersama dengan Bagas, namun baginya kini rumha itu tak ada bedanya dengan sebuah mimpi buruk yang menghampirinya dengan sangat menakutkan. Kedatangannya di tempat ini bukan karena dia ingin bernostalgia, tetapi ingin memperjelas semuanya. Bercerai. Berkas surat perceraian sudah ada di tangannya, ia genggam dengan erat. Melangkah dengan pasti menghampiri sosok ibu mertuanya yang sedang menyulam. Kalau melihat Hanifa sedang beraktifitas seperti itu terkadang membuatnya terlihat seperti ibu mertua pada umumnya, terlihat baik dan lugu. Sayang, aslinya jauh lebih menyebalkan dari seorang pencuri yang masuk ke dalam rumah. Seolah menyadari tatapan mata tajam dan dingin mengarah padanya membuat Hanifa mengangkat wajah dan mengangkat sudut bibirnya tersenyum mencemooh menantunya tersebut. "Ngapain kamu ke sini?" Sakila enggan berbasa basi. Dia langsung berkata, "Dimana Bagas?" "Nggak ada sopan santunnya," sahut Hanifa memutar bola mata malas. "Harusnya kamu sebagai istri tahu dia dimana, makanya jadi wanita itu yang bener, bukan malah keluyuran nggak jelas, nggak pulang dengan alasan ini itu, pantes aja suami kamu selingkuh wong punya istri model kamu siapa yang mau." Lagi-lagi Sakila harus mendengarkan ocehan kejam dari ibu mertuanya, kalau saja tidak ada hukum yang berlaku, mungkin Sakila sudah merobek mulut ibu mertuanya ini dengan sekuat tenaga. Jadi dia hanya diam saja, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menunggu di suruh masuk dan memperdulikan teriakan Hanifa yang memekik kesal saat Sakila nyelonong masuk ke dalam rumah dan naik ke kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, lampu rumah juga tidak banyak yang dipadamkan, termasuk kamarnya. Sakila melihat kamar ini tidak begitu tertutup rapat, namun samar-samar dia mendengar suara yang menjijikan. "Sayang, kamu urus perceraian kamu secepatnya, jadi biar kamu bisa cepet-cepet nikahin aku." "Iya, nanti aku urus semuanya, tenang aja." "Jangan tenang-tenang, perut aku makin lama makin besar, nanti apa kata orang kalau aku hamil nggak ada suaminya." Ck... Sakila memejamkan mata erat. Oh... Jadi wanita itu udah hamil, hebat sekali Bagas, dia bisa menghamili wanita lain tapi istrinya sendiri tidak bisa dia buat hamil. Lelucon macam apa ini? Seketika Sakila dibuat tertawa miris, dia tertawa sambil berjalan masuk ke dalam kamar dan mengejutkan orang yang berada di dalam kamar itu. Tawanya cukup menggelegar membuat mereka katakutan. Sakila bahkan bertepuk tangan, bersorak untuk mereka berdua yang sudah tidak mengenakan apa-apa dan hanya dibungku selimut saja. "Kenapa? Kok udahan?" ujar Sakila saat tepuk tangannya berakhir. Dia tersenyum dingin dengan sorot matanya yang nampak kejam seperti seorang malaikan maut. "Kamu, ngapain kamu ke sini?" ucap Bagas degan muka jeleknya yang terlihat jelas bahwa dia sangat terkejut namun tidak menunjukkan rasa bersalahnya. "Dasar bego," ucap Sakila mencibir. Dia mengeluarkan surat perceraian yang ada di dalam tasnya lalu memberikannya pada Bagas. "Tanda tangani ini dan kita akan segera bercerai." Bagas menerima surat itu dan membacanya. Selama Bagas membaca surat perceraian itu, Sakila terus menatap tajam wanita yang ada di samping Bagas yang wajahnya terlihat mulai memucat. Jelas ada kebencian namun juga kepuasan saat melihat wanita itu tertindas di bawah tatapannya yang mengintimidasi. "Oh iya, jangan lupa dengan pembagian harta kita, ingat saat pembelian rumah ini ada uang aku juga di situ, termasuk mobil, dan beberapa perabotan elektronik lain, oke?" mata Sakila tertuju pada Bagas, nadanya mengejek. Wajah Bagas menjadi gelap. "Aku bayar semua uang yang sudah kamu keluarkan untuk rumah ini." "Oh ya? Emang kamu punya uang?" sahut Sakila dengan mimik terkejut namun juga mencibirnya. "Jangan sembarangan kamu, Sakila," geram Bagas. "Oh ya ya... Aku lupa, kalau saat di rumah kamu jadi laki-laki miskin, tapi sebenarnya, jabatan kamu itu udah naik dengan gaji di atas dua digit, aku lupa itu..." Sahut Sakila dengan nada penyesalan. "Kamu naik jabatan Bagas?" suara Hanifa di belakangnya membuat Sakila terkekeh puas. Lalu ia menoleh dan menatap Hanifa penuh kemenangan. "Mama nggak tau ya kalau anak Mama ini sebenarnya ATM berjalan, dia punya jabatan tinggi dan gajinya tidak seperti yang dia bilang sama kita, oh... lebih tepatnya bilang sama aku." "Hentikan omong kosong itu, Sakila." Wajah Bagas sangat jelek, dia menatap Sakila dengan muram. "Oke oke." Sakila mengangkat kedua tangannya ke atas seperti seorang tahanan kabur yang ditangkap polisi. Dari wajahnya yang sebelumnya terlihat riang karena penuh kepuasan, dalam sekejab wajah itu kini kembali berubah dingin. "Tapi itu tidak akan bertahan lama, nikmtin aja dulu sebelum semuanya menghilang." Sakila berbalik tegas, meninggalkan huru-hara di belakang sana. Air matanya yang tiba-tiba mengalir di pipi tanpa bisa dia tahan dia hapus dengan kasar. Ketika Sakila sudah keluar dari rumah itu, tiba-tiba saja sebuah mobil Lexus hitam berhenti tepat di sampingnya. Tanpa harus menunggus pemiliknya keluar dari mobil itu Sakila sudah dapat menebaknya. Bola matanya berputar malas, lalu kembali manatap Satria dengan tatapan dingin. "Ngapain kamu di sini?" "Masuk." Bukannya menjawab Satria malah menyuruh Sakila masuk ke dalam mobilnya. Sakila mengibaskan tangannya. "Nggak usah, aku bisa pulang sendiri." Lalu Sakila mulai berjalan meninggalkan Satria tanpa menyadari bahwa mobil Lexus hitam itu juga mulai mengikutinya. Menyadari bahwa Satria tetap mengikutinya Sakila buru-buru mempercepat lagkahnya. Bahkan lebih cepat secepat yang dia bisa lakukan. Dan berhenti berjalan cepat ketika dia merasa sudah lelah. Sakila mengumpat kesal karema terus diikuti oleh Satria. Ia berkacak pinggang dengan mata melotot dia berkata, "Mau apa lagi sih? Aku kan udah bilang aku bisa pulang sendiri, nggak usah sok perhatian lah." Bagaimana Sakila tidak kesal padanya, kemarin dengan teganya Satria membuat Sakila lembur. Pria itu bahkan terlihat tidak peduli padanya. Dan sekarang dia sok perhatian padanya. Satria menatapnya tanpa ekspresi, dia hanya kembali berkata, "Naik." Sepertinya juga percuma melawannya, pada akhirnya mau tidak mau Sakila masuk ke dalam mobil meski harus mengerucutkan kedua bibir karena kesal. "Kamu lagi jadi penguntit ya?" Satria tetap fokus mengemudi, dia membiarkan Sakila meluapkan segala ocehannya tentang dirinya, calon mantan suami dan masih banyak lagi. "Jadi aku pikir, mendingan kamu nggak usah sok baik sama aku, dan aku nggak ngerti kenapa kamu beli saham Papa sampai akhirnya kamu mengusai perusahaan?" "Bukannya kamu sendiri udah tau kan jawabannya?" sahut Satria tenang. Sakila menghembuskan nafas kesal. Ia berbalik dan kembali duduk tegap di kursi penumpang, memandang ke arah depan tanpa menyadari kalau Satria sesekali menatap dirinya. "Aku udah ngasih surat cerai aku sama Bagas... Jadi, aku mau dia langsung mendapatkan hukumannya." Sorot mata Sakila memancarkan amarah dan dendam yang tak terelakan. "Bagus, itu yang aku mau." "Kalau pun aku cerai sama dia, aku nggak akan kembali sama kamu." "Kita lihat saja nanti." Satria tersenyum genit, terlihat kepuasan nampak di wajahnya yang tampan, namun juga mengerikan.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD