Episode 1

1338 Words
Apa yang terjadi? "Setelah diperiksa lebih rinci, ada sedikit gumpalan darah akibat benturan di kepala Adinda anak bapak. Hal inilah yang membuat Adinda mengalami amnesia disosiatif. Dia tidak mengenali dirinya sendiri. Bahkan saat melihat cermin, dia seolah melihat orang lain. Selain gumpalan darah akibat benturan, amnesia jenis ini juga bisa disebabkan oleh pikiran yang sangat terbebani. Apa sebelum jatuh dari tangga Adinda punya masalah?" tanya dokter Heri. Jamal-ayah Adinda, menggeleng. "Setau saya, Adinda anak yang sedikit tertutup dan tidak pernah menunjukkan masalah apapun. Jadi kami tidak begitu paham apa yang sedang dialami putri kami. Dia tinggal bersama mertuanya di rumah yang berbeda. Tapi sejauh yang kami dengar, mereka hidup dengan rukun." "Apa amnesia jenis ini bisa disembuhkan?" potong Salma ragu-ragu. Dokter Heri mengangguk. "Kami belum bisa memastikan sejauh itu Bu Salma. Tapi, dari kasus yang pernah terjadi, amnesia disosiatif bisa sembuh dengan sendirinya dalam kurun waktu tertentu. Kalian hanya harus bersabar dan bawa Adinda ke lingkungan yang familiar dengannya." Salma dan Jamal mengangguk mengerti sebelum keluar dari ruang dokter. Di luar ruangan, Hanny, putri kedua mereka, menunggu dengan wajah kesal. "Kau pulang saja." ujar Jamal begitu melihat Hanny. "Dari tadi Hanny memang berniat pulang. Siapa suruh papa menahan kunci mobil dan kartu kredit Hanny." timpal Hanny cemberut. "Itu karena papa ingin kau melihat kondisi kakakmu. Dia baru saja sadar dan lupa siapa dirinya. Dengan melihat keluarganya secara utuh, papa berharap Dinda akan mengingat sesuatu." jelas Jamal. "Kak Dinda tidak akan mati hanya karena lupa ingatan. Please deh pa, papa terlalu berlebihan." Salma meradang mendengar ucapan Hanny. Sejak kembali dari luar negeri, kelakuan Hanny jadi kurang ajar dan suka membantah. "Lupakan soal kakakmu! Pergi saja jika kau bisa. Kunci mobil dan kartu kredit biar mama yang tahan." ujar Salma marah. Salma merampas kunci mobil dan kartu kredit yang semula akan diberikan Jamal. Hanny berdecak sebal dan terpaksa mengikuti orangtuanya ke ruang perawatan. Saat sampai di ruang perawatan, Salma terkejut melihat ruangan yang sudah kosong. Dinda menghilang. Gadis itu pergi diam-diam setelah sadar dari pingsan. *** Saat terbangun, hal pertama yang Alya lakukan adalah melihat cermin. Gadis itu tak bisa berkata-kata melihat pantulan wajah asing yang tidak dikenalinya. Wajah itu sangat cantik. Meskipun sedikit pucat, wajah wanita yang ada didalam cermin, terlihat mempesona tanpa perlu di makeup. Setelah memastikan bahwa dirinya tidak bermimpi, Alya langsung bangun dan melihat kalender. Gadis itu menganga tidak percaya setelah sadar kalau dirinya terbaring cukup lama di rumah sakit. Alya mencoba berpikir waras dan mencari informasi lain yang dia butuhkan. Rumah sakit Pelita Harapan, artinya rumah sakit itu tidak terlalu jauh dari lokasi kejadian kecelakaan yang dia alami. "Saat kecelakaan, kami baru saja pulang dari pesta perayaan tahun baru. Itu berarti sudah dua bulan aku terbaring koma di rumah sakit. Jika ini bukan mimpi, maka hal yang paling masuk akal adalah operasi plastik. Kurasa kecelakaan itu sudah membuat wajahku hancur. Untuk itulah operasi plastik diperlukan." gumam Alya yakin. Dengan keyakinan itu, Alya meraih beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam tas Salma yang memang ditinggalkan di ruang perawatan. Tanpa sepengetahuan siapapun, Alya melepas selang infus dan bergegas meninggalkan rumah sakit. Tujuan gadis itu tidak lain dan tidak bukan adalah rumahnya sendiri. Sepanjang menyusuri koridor rumah sakit, Alya tampak menyembunyikan muka agar tidak dikenali oleh siapapun. Gadis itu baru menghela napas lega sesaat setelah berhasil masuk ke dalam taksi. Dengan d**a berdebar kencang, Alya terus berharap kalau perubahan yang dia alami benar-benar karena dioperasi. Tak berapa lama, Alya sampai di depan gerbang rumahnya. Dengan kaki gemetar, gadis itu turun dari taksi dan menghampiri Budi, satpam rumah mereka. "Maaf nona cari siapa?" tanya Budi ramah. Alya sudah menduga kalau Budi tidak akan mengenalinya. Dengan identitas baru sebagai Adinda, gadis itu pura-pura menanyakan dirinya sendiri. "Saya temannya Alya, apa Alya ada di rumah?" tanya Alya ragu-ragu. Kening Budi berkerut. Nampak raut wajah laki-laki itu berubah sedih saat ditanya soal Alya. "Maaf Non, Non Alya sudah meninggal dua bulan yang lalu. Jika Nona temannya Non Alya, Nona pasti tau soal berita kecelakaan non Alya bersama tunangannya." jelas Budi. "Meninggal?" pekik Alya tidak percaya. Kepala Alya tiba-tiba terasa pening. Saat gadis itu hampir roboh, dengan sigap Budi memeganginya. "Sepertinya kondisi Nona sedang tidak baik. Nona juga masih menggunakan baju rumah sakit. Sebaiknya Nona istirahat sebentar di pos jaga." tawar Budi. Alya yang masih tidak percaya dengan berita yang didengarnya, tidak begitu menghiraukan apa yang Budi katakan. Jantung Alya kembali berdebar kencang. Gadis itu tidak sanggup membayangkan tubuhnya telah tertimbun tanah. Jika yang Budi katakan benar, itu artinya dia benar-benar hidup dalam raga orang lain. Saat Budi membimbing Alya duduk di teras, Widia-ibu Alya, baru pulang dari belanja. Wanita paruh baya itu berhenti dan membuka jendela saat melihat ada wanita memakai baju rumah sakit di teras pos jaga. "Siapa dia?" tanya Widia angkuh. Alya sudah tidak terkejut melihat perangai ibunya yang ketus dan tidak bersahabat. Alih-alih terkejut, Alya justru merindukan sosok wanita yang sudah membesarkannya itu. "Dia temannya Non Alya, nyonya. Tapi sepertinya dia tidak tau perihal nasib buruk yang menimpa non Alya." jawab Budi. "Teman Alya? Siapa namamu?" tanya Widia ingin tau. "A-Adinda." jawab Alya ragu-ragu. Widia tersenyum sinis. "Anak itu sudah meninggal. Jika kau ingin menemuinya, maka temui dia di TPU komplek." Alya mematung, tak menyangka jika ibunya akan bicara kasar seperti itu. Belum lengkap kecemasan dan ketakutan Alya soal dirinya yang terbangun di tubuh wanita lain, kini Alya harus dihadapkan pada kenyataan kalau ibunya tidak bersedih atas kepergian anak yang sudah dia besarkan. "Apa saya boleh bertanya satu hal?" tanya Alya dengan mata berkaca-kaca. "Cepat katakan! Kau sedang membuang waktu istirahat saya." ketus Widia. Alya menghela napas panjang sebelum mengutarakan pertanyaannya. "Saya tau Tante bukan ibu kandung Alya. Tapi, apa Tante tidak merasa kehilangan atau bersedih atas meninggalnya gadis itu?" Widia tertawa pelan. "Sedih? Kehilangan? Cih kau ini temannya atau bukan sih? Jika kau temannya, kau pasti tau seperti apa hubungan kami. Ah sudahlah saya mau istirahat. Jika kau sudah selesai, kau boleh pergi." Widia mengibaskan tangan seraya menutup jendela mobil. Air mata Alya jatuh seiring menjauhnya mobil sang ibu. Mereka memang tidak punya ikatan darah. Hanya saja, Widia sudah hidup bersama Alya sejak 20 tahun silam. Bukan waktu sebentar untuk menumbuhkan kasih sayang diantara keduanya. "Nona tidak perlu tersinggung. Perangai Nyonya Widia memang seperti itu. Soal Non Alya, kalau Nona memang ingin mengunjungi makamnya, saya bisa minta tolong kang Udin untuk mengantar Nona kesana." tawar Budi. Dengar air mata berlinang, Alya menggeleng. Sangat menakutkan baginya untuk melihat makam sendiri. "Apa bapak tau kabar tentang Zein?" tanya Alya setelah perasaannya sedikit membaik. "Tuan Zein sampai sekarang masih koma di rumah sakit. Ah bapak baru ingat, tuan Zein di rawat di rumah sakit yang sama dengan yang tertera di pakaian Nona." jelas Budi. Seketika Alya menghembuskan napas lega. Meski masih koma, setidaknya sampai sekarang Zein masih hidup. Mendapati kenyataan itu, Alya bergegas kembali ke rumah sakit. *** "Dinda! Adinda!" teriak seseorang. Alya yang tidak merasa sedang di panggil, mengabaikan orang yang sedang berteriak menyebut namanya. "Hei Adinda!" teriak Kevin sembari memegangi tangan Alya. Alya yang sedikit terkejut, menepis tangan Kevin dan menatapnya takut. "Kau kenapa?" tanya Kevin bingung. Saat Alya hendak menjawab, Salma dan Hanny datang menghampiri. "Kau kemana saja nak?" tanya Salma cemas. "Aku-aku...." Alya terbata, bingung harus menjawab apa. Gadis itu kebingungan menatap Hanny dan Kevin yang berdiri bersisian. Melihat Alya yang kebingungan, Hanny mencibir. "Ternyata kakak juga tidak mengenaliku. Apa kita harus kenalan?" tanya Hanny sarkas. "Tutup mulutmu Hanny!" bentak Salma. "Maaf nak Kevin, sebaiknya kita bicara di kamar rawatnya Adinda." Meski bingung, Kevin tetap mengikuti langkah Salma yang sudah berjalan lebih dulu memapah Alya. Benak Alya terus memikirkan bagaimana cara menjauh dan segera menemukan keberadaan Zein. "Ini tidak benar. Siapa mereka? Jika tubuhku sudah tertimbun tanah, lalu kemana jiwa wanita ini? Apa sewaktu-waktu dia bisa kembali? Lalu bagaimana denganku? Ini sangat tidak masuk akal. Apa yang harus kulakukan?" batin Alya. Kepala Alya kembali didera rasa sakit yang luar biasa. Gadis itu berpegang pada apapun agar tidak roboh. Melihat wajah Alya yang sangat pucat, dengan sigap Kevin menggendongnya dan membaringkan Alya di ranjang. To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD