Part 1 : Permintaan

1681 Words
“Kalian semua! Berhenti!” Seru Sera dengan kencang ketika melihat segerombolan preman yang mengejar seorang perempuan di padang rumput itu. Ia bersama dengan sahabatnya berlari tunggang langgang mengejar mereka. Akan tetapi sayang sekali ... semuanya terlambat. Baru sepuluh langkah mereka berlari perempuan itu sudah terjun ke dalam jurang, membuat semua preman itu terkejut kemudian dengan segera berlari meninggalkan tempat tersebut. “Kejar preman-preman itu Baron. Aku akan melihat perempuan itu.” Sementara Baron mengejar para preman yang berlari meninggalkan tempat tersebut. Sera segera berlari ke arah jurang. Helaan nafas kemudian terdengar dari hidung Sera ketika melihat tebing tersebut ternyata landai dan tidak terlalu dalam. Beruntunglah dari tempatnya berdiri ia bisa melihat perempuan itu tergeletak, tersangkut pada pepohonan dengan batang yang cukup besar. Sera meraih ponselnya kemudian menghubungi markas yang tak jauh dari padang rumput itu. “Bantu aku. Ada seorang perempuan yang terjatuh.” “To ... long ... siapapun ... to ... long ...aku.” Sera mengerjapkan matanya kemudian menatap kearah perempuan itu lagi. “Tunggu! Tunggu sebentar. Aku sedang menunggu bantuan. Bertahanlah sebentar lagi. Kau pasti akan selamat.” Seru Sera dengan kencang. Tak lama kemudian datang lah empat orang menghampirinya. Sera segera bangun lalu menunjuk kearah perempuan itu. “Disana! Tolong dia. Aku akan panggilkan ambulans.” “Baik Miss ... .” Sera berdiri kemudian segera menghubungi rumah sakit sementara dua orang kaki-tangannya sedang membantu menolong perempuan yang terjatuh itu. Beruntunglah mereka berempat orang-orang terampil yang sudah terlatih sehingga dalam waktu singkat mereka bisa menolong perempuan itu, hingga perempuan itu kini tiba di permukaan dengan keadaan masih bernafas meskipun wajah, tangan dan kakinya menghasilkan banyak luka memar dan juga luka yang berdarah.   Deg!   Sera tertegun ketika iris matanya melihat paras perempuan itu. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menggelengkannya sesaat, setelah beberapa kali melakukannya ia menatap perempuan itu lagi. Tapi hasilnya tetap sama.   “Miss ... mengapa wajah kalian sangat mirip?”   Benar ... benar sekali yang di katakan kaki-tangannya itu. Perempuan itu sangat mirip dengannya. Sekalipun wajah perempuan itu penuh dengan luka dan terdapat lebam. Tapi ia tak bisa memungkiri, bahwa mereka sangat mirip. Ibarat pinang dibelah dua.   ***   Steve tak henti-hentinya berjalan ke kanan dan ke kiri. Lelaki itu terus-menerus berjalan di tempat yang sama dengan sebuah ponsel yang sesekali ia letakkan di telinga dan sesekali lagi di lihat. Lelaki itu ... Stefano atau Steve, dia sedang menunggu kabar dari Serafina yang tak lain adalah kekasihnya yang tak kunjung datang ke rumahnya, lelaki itu sangat merisaukan sang kekasih karena kekasihnya itu mengatakan sedang dalam perjalanan menggunakan taxi sejak lima jam yang lalu, Namun hingga detik ini kekasihnya itu tak juga sampai. Jangankan sampai ke rumahnya, menjawab panggilan darinya pun tidak sama sekali. Perempuan itu seperti hilang. Padahal sebelumnya Serafina sudah sangat bersemangat ketika ia mengatakan Ibunya mau membimbingnya untuk belajar memasak. “Sudahlah Steve, duduk. Kau hanya membuat Mama pusing.” Feronica, Ibu Steve. Dia menghembuskan nafasnya pelan seraya menepuk kursi di sampingnya. “Jangan terlalu di pikirkan. Perempuan itu mungkin tak akan datang. Dia pasti malu atau bahkan tidak pernah niat sama sekali untuk menjalin hubungan yang serius denganmu.” Fero menjeda kalimatnya seraya menghembuskan nafasnya pelan. “Sudah Mama katakan ... sebaiknya kau bersama Amanda saja. Tak ada calon istri dan calon menantu sesempurna Amanda Steve.” “Ma! Amanda, Amanda dan Amanda. Amanda adalah asistenku, selain itu dia juga sahabatku sejak aku remaja. Mana mungkin kami menikah? Aku sudah menganggapnya seperti saudara perempuanku. Kami tak mungkin menjalin hubungan lebih dari pekerjaan dan juga sebatas sahabat. Tidak. Kami tidak akan pernah sampai pada hubungan yang kau harapkan.” Balas Steve lagi. Sungguh ... sebenarnya ia sangat muak dengan semua yang ibunya itu katakan. Karena selalu saja ... pada akhirnya selalu membahas Amanda dan membandingkannya dengan Nana. Padahal mereka dua orang yang berbeda, tentu saja akan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak akan pernah sama satu sama lain. “Kata siapa tidak mungkin? Dulu Mama asisten Papa, sampai sekarang kami sangat harmonis.” Balas Feronica, ia kemudian memandang Steve. “Justru karena Mama asisten Papa, jadi Mama sangat mengerti. Kami juga bersahabat sejak kecil. Bahkan sejak kami playgroup.” “Jangan bandingkan aku dengan kalian ... .” “Mama tidak membandingkan. Mama hanya memberikanmu pandangan.” Balas Feronica lagi. Fero menghembuskan nafasnya pelan. “Saat seusiamu ... Papa sudah memilikimu Steve, lalu kapan kau akan memberi kami cucu?” tanya Fero lagi. “Mudah. Restui aku dan Serafina ... maka aku akan segera memberikan kalian cucu.” “Tidak sebelum dia lulus ujianku!” Tegas Feronica lagi. “Menikah bukan hanya berhubungan denganmu, tapi juga keluarga. Jika selamanya Mama tidak menyukai Nana. Mama tidak akan pernah merasa nyaman memiliki menantu seperti dia. Memang kau mau memiliki istri yang tidak aku anggap sebagai menantu?” Steve menarik rambutnya ke belakang lalu menyeka wajahnya dnegan kasar. Oh! Ini gila ... rasanya benar-benar gila. Tapi melawan mereka juga bukan pilihan yang bagus. Karena jika sejak awal Ibunya itu membenci maka selamanya akan seperti itu sampai orang yang dia benci sesuai keinginannya. Begitu pun mengenai menantu, ia yakin Ibunya akan tetap seperti ini selama Serafina tidak bisa memenuhi ekspektasi ibunya itu. Selain itu ... ia juga tak bisa banyak memberi perlawanan lebih karena posisinya di perusahaan pun akan menjadi ancaman. Sebagai salah satu pemegang saham terbesar, ibunya pasti tak akan segan-segan mendepaknya dari posisi sekarang jika ia tidak memenuhi salah satu permintaan ibunya itu. Ibunya akan melakukan apapun agar keinginannya terpenuhi. Scenario terburuknya adalah Ia di depak dari perusahaan, di usir dari rumah untuk mencoba hidup mandiri hanya dengan Serafina yang memang harus ia akui belum bisa melakukan apapun dengan mandiri. Sebenarnya ... ia pun begitu. Ia juga pemaksa, ia juga keras kepala. Tapi tentu saja orangtuanya bisa lebih pemaksa dan keras kepala bukan? Karena bagaimana pun semua sifat yang ia miliki sekarang ini, turun dari orangtuanya sendiri.   Melihat anaknya yang mematung. Feronica dengan cepat mengeluarkan ultimatum. “Pokoknya. Tak ada pernikahan sampai Serafina sesuai dengan keinginan Mama. Titik.”   ***   Sera membawa beberapa kotak makan ketika memasuki ruang rawat inap sebuah rumah sakit. Ia kemudian memberikan kotak makan itu pada dua orang kaki-tangannya lalu satu kotak pada Baron dan satu kotak lagi miliknya yang ia letakkan di meja. “Kau memasak apa hari ini? Sepertinya enak.” Ujar Baron sesaat setelah mencium aroma masakan dari dalam kotak tersebut. Sera terkekeh pelan. “Kau bisa melihatnya sendiri Baron. Itu makanan kesukaan kalian.” Setelah mengatakan itu ia kembali beranjak mendekati perempuan yang belum ia ketahui namanya itu. Ia menatapnya lamat kemudian menarik ujung bibirnya sesaat. “Bagaimana perasaanmu? Sedikit membaik?” Tanya Sera sedikit berbasa-basi pada perempuan itu. “Sakit, semua bagian tubuhku rasanya sangat sakit.” jawab perempuan itu seraya meringis pelan. Sera kembali menarik ujung bibirnya. “Kakimu terkilir, tanganmu terluka dan tulang rusukmu ada sedikit retakan. Memang pantas kau kesakitan seperti itu.” ujarnya. “Oh ya ... siapa namamu?” “Serafina.” Sera mengerutkan keningnya. “Serafina?” tanyanya yang segera di angguki perempuan itu. “Aku juga Serafina.” Lanjutnya. “A ... apa?” Perempuan itu membulatkan matanya. “Bagaimana mungkin? Aku sudah sangat terkejut dengan wajah kita sama persis. Bagaimana mungkin nama kita juga sama?” Sera menggeleng lalu mengedikkan bahunya pelan. “Entahlah ... aku tak tahu. Ini juga benar-benar terasa aneh untukku.” Sera menghela nafas. “Tapi ... Kau bisa memanggilku Sera. Nama panggilan kita tentu saja berbeda bukan?” Perempuan bernama Serafina itu juga mengangguk pelan. “Aku ... Nana. Orang-orang memanggilku begitu. Terkadang menggunakan Serafina.” Sera menghembuskan nafasnya pelan. “Baiklah kalau begitu aku akan memanggilmu Nana.” Sera menjeda ucapannya sesaat. “Jadi kemana aku bisa menghubungi keluargamu Nana? Aku tak bisa menemukan kartu identitasmu karena sepertinya tas milikmu beserta seluruh isinya terjatuh ke dalam jurang.” “Se ... Sera ... .” Kening Sera mengerut, ada apa dengan perempuan dihadapannya ini? Mengapa dia terlihat sangat ketakutan? Apakah ini berkaitan dengan pengejaran preman-preman itu? “Ya ... ?” “Bisakah ... kau tidak menghubungi siapapun? Aku ... aku takut Sera. Aku takut preman-preman itu mengejarku lagi.” Ujar Nana dengan suara yang bergetar ketakutan, mata perempuan itu bahkan memerah, berkaca-kaca, bersiap untuk menumpahkan air mata ketakutannya. “Sera ... aku takut. Aku takut orang yang menjahatiku akan melukaiku lagi jika menemukanku disini. Aku takut ... .” rancau Nana. Sera menghembuskan nafasnya pelan. Ia kemudian mendudukkan dirinya pada sebuah kursi di samping bangsal pesakitan itu. “Sebenarnya ... ada apa? Kenapa kau ketakutan begini?” “Sebenarnya ketika aku keluar dari rumah aku akan menemui kekasihku di rumahnya. Aku di undang untuk belajar memasak bersama Ibu dari kekasihku. Tapi ketika di perjalanan. Segerombolan preman itu menghadangku ... aku di paksa keluar dari taxi setelah itu aku kemudian berusaha berlari menyelamatkan diriku sampai akhirnya aku terjatuh.” Kening Sera mengerut. “Kau memiliki musuh?” “Tidak! Aku tidak pernah memiliki musuh Sera.” Ujar perempuan itu dengan sangat cepat. “Kecuali ... .” “Kecuali?” Perempuan itu menatapnya dengan sangat intens. “Kecuali ... ibu kekasihku sendiri dan ... asisten kekasihku. Mereka ... selama ini mereka yang terlihat tidak menyukaiku. Tapi ... tapi aku tak tahu. Siapa yang melakukan ini padaku? Siapa yang berusaha menjahatiku?” Sera termenung mendengar penjelasan itu. Perempuan di hadapannya ini ternyata sedang menghadapi konflik yang cukup rumit. Pantas saja dia terlihat sangat ketakutan. Tapi seharusnya dia tidak setakut ini. Karena seharusnya dia memiliki orang terdekat yang bisa melindungi dan memberi perempuan itu keamanan. Sera menghela nafas panjang. “Dimana orangtuamu? Kau bisa berlindung pada mereka.” “Aku tidak memilikinya. Aku hidup sebatangkara Sera. Jadi ... aku mohon. Jangan usir aku dari sini. Aku mohon jangan mengusirku karena aku ... takut. Bahkan kekasihku sendiri ... sepertinya dia tak akan pernah bisa melindungiku dari orang-orang itu. Karena bagaimanapun mereka orang-orang terdekatnya.” “Tapi kau tetap harus ... .” “Sera ... aku bukan perempuan tangguh sepertimu. Aku hanya perempuan lemah yang banyak ketakutan. Bagimu mungkin ini sepele, tapi bagiku ini menakutkan.” Sera menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya kembali. “Tapi kau tak bisa selamanya tinggal di sini Nana. Bukan aku tak suka. Tapi orang-orang terdekatmu. Kekasihmu ... dia pasti mencarimu. Dia pasti mengkhawatirkanmu juga. Kau harus menghubunginya. Menemuinya lagi.” “Kalau begitu ... Sera ... maukah kau pergi menemui mereka untukku? Menggantikanku?” Perempuan itu membasahi bibirnya. “Maaf aku lancang Sera ... tapi maksudku. Bisakah kau membantuku untuk menyelidiki kasusku? Karena aku tak bisa menyelesaikannya sendiri. Aku juga tak bisa menebak siapa yang menjahatiku. Jika aku pulang sekarang ... aku takut. Aku sangat takut Sera.” Tangan perempuan itu yang terbebas dari selang infus, meraih kedua tangannya. Membuatnya mendongak menatap perempuan yang serupa dengannya itu. “Sera ... aku mohon ... aku ... aku berjanji setelah aku sehat dan masalahnya selesai aku akan kembali ... sekarang ... aku sungguh takut Sera ... Aku takut.” Sera menghembuskan nafasnya pelan. “Baiklah. Akan kuselesaikan semua masalahmu Nana. Sementara itu ... kau bisa tenang tinggal di sini. Sampai kau pulih. Sampai aku mengungkapkan semuanya.”   ***        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD