Chapter 3: Berteman

1167 Words
Yuri menatap sosok Chan yang menghilang dari pintu. Pria ini begitu tampan, tapi dingin. Orang mungkin takut untuk menyapanya duluan karena aura tertutup dan senyum arogan yang dikeluarkannya. Namun justru disitulah daya tarik utama Chan yang membuat Yuri sulit melepaskan pandangannya dari pria ini.   Yuri menghela napas. Fokus. Fokus. Percintaan bukanlah fokusnya untuk saat ini. Lagipula cowok setampan dirinya mana mungkin tertarik dengan cewek yang berpenampilan sederhana seperti dirinya.   Sekitar 30 menit kemudian, Chan keluar dari dalam dengan wajah cool. Sekarang giliran Yuri yang dipanggil masuk bergantian.   “Good luck, Yuri. Aku pinjam power banknya sebentar lagi sambil menunggumu selesai di sini,” jawab Chan.   “Oke, baiklah,” jawab Yuri singkat.   Benar saja, ketika Yuri selesai melakukan negosiasi gaji, Chan si pria tampan pendiam dari bagian IT masih menunggunya.   “Sudah selesai? Kamu naik apa?” tanya Chan.   “Naik kendaraan umum. Kamu?” tanya Yuri.   “Aku naik taksi tadi. Eh, perutku lapar, nih. Temenin aku makan, yuk. Kutraktir sekalian, buat ucapan terima kasih,” kata Chan.   “Oke, boleh. Mau makan di mana?” tanya Yuri.   “Terserah kamu. Aku nggak gitu ngerti Jakarta. Baru belum lama balik Indo soalnya,” jawab Chan santai.   “Oke, deh. Kita ke Pasific Place aja kalau gitu. Naik bus transjakarta aja ya deket. Atau mau coba MRT?” tanya Yuri.   “MRT boleh. Aku belum pernah naik MRT di Jakarta,” jawab Chan.   Keduanya tiba di Pasific Place dengan menaiki MRT. Yuri menunjukkan lantai yang berisikan food court dan restaurant. Chan memilih restoran yang menyajikan ikan fillet dengan keju mozzarella dan saus telur asin. Lalu dia duduk dengan santai sambil memesan makanan. Yuri ikut memesan makanan.   “Gimana tadi? Udah beres? Masuk kapan?” tanya Chan membuka pembicaraan.   “Iyah, udah. Minggu depan di tanggal 1 udah masuk,” jawab Yuri.   “Sama dong. Kalau gitu kita bisa makan bareng. Paling engga, aku nggak sendirian,” kata Chan.   “Iya, boleh,” jawab Yuri sekenanya.   Mereka saling mengobrol mengenai universitas masing-masing. Dari percakapan ini Chan mengetahui kalau Yuri lulusan Unika Atma Jaya Jakarta, sedangkan Chan sendiri lulusan Stanford University. Perbincangan yang sangat standar.   Tidak lama Yuri dan Chan berpisah.   *** Perspektif Chan.   Aku memandang Yuri dari kejauhan. Kami berpisah di depan lobi Pasific Place. Dia berjalan menuju halte busway yang terletak tidak jauh dari Pasific Place. Yuri menolak kuantar pulang. Dia sangat mandiri. Gadis itu sangat menarik. Dia tidak seperti gadis lainnya yang manja ataupun feminine.   Aku masih memandangi punggung Yuri dari jauh, seolah-olah tidak rela melepas kepergiannya. Kakinya melangkah dengan mantap, membuat b****g indahnya berayun ke kiri dan ke kanan dengan seksinya. Mataku tidak lepas dari irama ayunan b****g Yuri. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Ukh! Apa yang kupikirkan sih, dari tadi?   Tenang, Chan. Itu cuma b****g cewek. Berapa banyak b****g cewek yang sudah pernah kamu lihat sih? Plus, b****g-b****g itu dengan sukarela tidak memakai sehelai benang pun. Iya, iya. Tapi b****g yang satu ini memiliki irama gerakan yang menghipnotis. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan.   Ukh! tubuhku di bagian bawah terasa menegang. Sialan! Aku harus bergerak. Dengan tergesa-gesa aku melangkah berjalan tanpa berpikir lagi. Tanpa kusadari, aku sudah berhenti tepat di belakang b****g indah itu.   Astaga! Yuri bisa menyangka aku penguntit! Mengapa tiba-tiba aku bisa berada tepat di belakangnya? Dan tanganku! Astaga tanganku! Mengapa aku nyaris menyentuh b****g indah itu dengan tanganku ini? Imajinasi liarku bahkan sudah dapat merasakan empuknya b****g itu di elusan tangan mesumku ini ketika bersentuhan.   Celanaku terasa mengetat sekarang. Aduh, aku harus menutupi bagian depan tubuh bawahku. Kalau kelihatan orang bagaimana? Ini masih siang.   Aku harus segera kabur dari Yuri. Namun, ketika aku beranjak pergi, mendadak Yuri membalikkan badannya untuk membuang sampah.   “Lho, Chan. Kamu naik bus juga?” tanyanya heran.   “Ah, iya. Ternyata kita sejalan,” kataku gelagapan.   Sial! Aku kepergok. Mau bilang apa coba? Yuri menatapku dengan tatapan setengah tidak percaya, namun dia tidak mengatakan apa-apa.   Ketika bus datang, aku terdorong masuk ke dalam bus yang penuh sesak. Aduh, gila penuh banget! Aku terdorong oleh banyak orang berjejal-jejal sehingga tubuh kami saling terhimpit.   Duh, aku susah napas! Aku mengernyitkan hidung, menahan napas.   Bau ketek! Kecut baunya!   Ya, sudahlah! Terlanjur! Biasanya mana mau aku naik bus kayak begini!   Tes… tes…   Aduh, apaan lagi sih ini?   Tetesan air menetes jatuh ke atas kepalaku dan juga ke tubuhku.   Sialan, AC nya bocor. Jadi ketetesan air dari AC di langit-langit bus, deh. Ya, sudahlah! Nasib! Mau pindah tempat juga nggak bisa.   Aku membuka kakiku agak lebar untuk mempertahankan keseimbanganku sambil mengulurkan tanganku ke depan untuk bersandar pada kaca pembatas. Kutundukkan wajahku. Lho, Yuri? Kok dia sedang berhadap-hadapan dengan tubuh menempel padaku? Rupanya dia terhimpit tepat di depanku, tanpa kusadari.   Astaga tubuhku langsung menegang lagi tanpa terkontrol! Tidaaaak! Tonjolan itu menyentuh bagian depan tubuh Yuri! Habislah aku!!!   Yuri tidak berkata apa-apa. Dia hanya membuang wajahnya sambil berpura-pura sibuk dengan ponselnya.   Chan, ini nggak banget! Di mana image keren dan seksi yang selama ini loe tunjukin? Asli ini malu-maluin banget tahu nggak?   Cool, man! Stay Cool!   Cool! Cool! Kulkas!   Astagaaaa! Gerah begini kenapa jadi mikirin kulkas?   Udah, ah! Baru kali ini pikiranku jadi koplak begini. Mana di depan cewek lagi. Bikin image runtuh aja.   “Chan… Chan…” aku mendengar Yuri memanggilku lembut.   “Yes, yang… Yur…” jawabku gagap.   Aku memandangi wajah Yuri dari atas. Baru kusadari wajah kami sangat berdekatan, dan bibirnya yang tebal berwarna merah merekah itu sangat menggoda. Oh, tidak! Aku bisa melumatnya seketika!   Tahan, Chan! Tahan! Ini Indonesia bukan Amrik!!!   “Aku mau…” kata Yuri perlahan.   Tiba-tiba bus terlonjak, terhentak keras ke depan dan ke belakang, karena sopir bus mengerem mendadak. Aku terdorong ke depan menghantam tubuh mungil Yuri. Aku mendekapnya erat-erat dalam pelukanku.   “Aaakh… Chan…” desah Yuri di telingaku merintih.   Aduh, suara ini menggetarkan telingaku. Memberi sensasi yang menggelitik di sekujur tubuhku. Membuat bagian bawahku tidak kuat lagi untuk menahan sesuatu yang semakin mengeras dan menonjol saking tegangnya.   Tidaaaaaaaaak!!!!   “Sakit… Chan…!” keluh Yuri.   Wajahku memerah seketika.   “Maaf, Yuri. Otakku sakit kayaknya!” keluhku mengakui dosaku.   “Chan! Angkat kakimu bodoh!!!!” jerit Yuri meringis kesakitan.   Eh?   Oh?   Seketika aku menengok ke bawah dan mendapati kakinya yang mungil berukuran 37 sudah terinjak oleh kaki besarku yang berukuran 43. Segera kuangkat kakiku. Kulihat kakinya kini bengkak karena bobot tubuhku.   Yuri yang malang, sekarang dia berjalan terpincang-pincang karenaku. Dia menuju ke arah pintu keluar bus, berusaha menerobos kerumunan orang.   Aku bergegas menyusulnya, dan membuka jalan dengan tubuh besarku.   Tanpa malu-malu kupapah dia.   “Pegangan padaku, Yuri. Kuanterin pulang. Ini salahku!” kataku sambil tersenyum manis padanya sambil menunduk ke arahnya.   Yuri mengangguk sehingga aku bernapas lega. Tiba-tiba mataku terantuk pada celanaku sendiri yang berwarna putih. Rembesan cairan membasahi bagian depan resleting celanaku yang terbuka lebar menunjukkan sesuatu yang menonjol dengan sangat menantang.   Oh, s**t!   Sial! Benar-benar sial! Mengapa resleting celanaku sampai terbuka lebaaar? Pantas saja tadi rasanya adem gimanaaa gitu….   Terlambat! Yuri menatap ke arah yang sama denganku!   “Tadi… kesiram tetesan air AC di bus…” jawabku gelagapan. Aku buru-buru menarik resleting celanaku.   Aduh, sakit! Ini celana kok jadi sempit banget dan susah di resleting. Kalo sampe tubuh bagian bawahku kejepit resleting bisa rusak masa depanku.   “Kok, baunya agak aneh ya?” tanya Yuri curiga.   “Mungkin AC nya kotor, jadi tetesan airnya agak bau,” kataku salah tingkah.   “Oh, iya juga,” jawab Yuri singkat.   Yuri membuang wajahnya seolah tak percaya dengan kata-kataku. Dia berusaha berjalan sendiri, namun karena kakinya sangat sakit mau tidak mau dia bergantung padaku.   Oh, terima kasih dewa Cupid! Keberuntungan berada di pihakku.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD