Penyesalan Karim

1426 Words
Malam yang tak berhias ceria membawa sebuah kenangan menyakitian. Membawa jiwa merawang kembali ke masa lalu yang meletup - letup berusaha meledakkan keteguhan hati yang dijaga tanpa kenal waktu. Karim mengedarkan pandangannya ke langit - langit yang terasa lebih menarik perhatiannya. Namun alunan jeritan dari sang putri kembali mengejutkan hati yang sudah kenyang melewati aliran waktu. Mengingat kembali hari di mana Jingga menangis keras atas kematian wanita yang ia sebut ibu, sekaligus wanita yang sudah menemaninya selama belasan tahun -- adalah siksaan tak berperi bagi Karim. Dia tahu sudah menjadi pria tak berperasaan di waktu dan tempat yang tak semestinya. "Ibu... hiks ibu..." Tangisan Jingga masih terngiang dan menyiksa hati kecilnya. Terlebih tatapan kosong sang putri karena tidak sanggup menerima kenyataan. Hati Karim remuk redam dan tak berdaya, saat itu Karim tahu jika Jingga sudah mengambil haknya untuk memeluk dan memanggilnya dengan sayang. 'Apa dayaku Jingga, aku sangat mencintai Mei...' Seberapa besar penyesalan atas sang putri, tetap saja tidak menghapus perasaan cintanya pada Mei. Dia tergila - gila dengan istri keduanya, sesuatu yang tidak bisa ia sangkal walau harus mengorbankan keluarganya. 'Aku sudah tidak mencintai Melinda, hatiku sepenuhnya milik Mei. Saat itu aku hanya berharap Melinda bisa menemukan pria lain, karena aku tidak ingin menyakiti Mei dengan menjadikannya madu..." Karim mendesah kala merasa tubuhnya semakin melemah. Tak lagi perkasa seperti sebelum Melinda berpulang. Tubuhnya tak memiliki kuasa untuk berjalan jauh, apalagi melayani hasrat Mei. Di kamar yang dikuasai ranjang besar tempatnya berbaring, Karim mencoba bangun dari peraduaannya. Namun detik berikutnya, suara jeritan manja terdengar dari luar. Disusul sosok molek nan berbalut pakaian menerawang hadir dari balik pintu. "Honey, apa yang kau lakukan?" "Aku ingin mengambil telepon..." jawab Karim. "Biar aku saja, kau minumlah obatmu..." Tubuh Mei melangkah, berayun meliuk - liuk bak ular. Gerakannya luwes saat menyodorkan obat dan air putih. Glup. Glup. "Haah..." Bakti Mei tak berkurang meski ia tak sejantan dulu. Menyisakan rasa tak nyaman pada hatinya hingga menjadi beban tersendiri. Sungguh ia merasa gagal tak bisa membahagiakan istri yang mudanya yang molek. "Ini teleponnya," kata Mei. Dia mendudukkan dirinya dengan kepala yang ia tenggerkan di bahu rapuh Karim. "Terima kasih uhuk... uhuk..." Tak berselang lama setelah pil yang disodorkan oleh Mei diminum Karim, pria paruh baya itu mulai terbatuk - batuk. "Oh Karim, kenapa kau tak kunjung sembuh... Lebih baik kita ke Rumah Sakit ya?" tawar Mei. Karim hanya sibuk memegang dadanya, dan menahan batuk yang semakin parah. Dia menggelengkan kepala dan mencoba meraih minum. Sama sekali tidak menyadari seringai kejam tercipta di bibir istri mudanya. Yang secara diam - diam bersorak dalam hati. 'Cepatlah matii tua bangka...' mata yang tadi penuh cinta berkilat haus darah. Segala rencana yang ia lakukan dari awal menikah dengan Karim mulai menunjukkan hasilnya. Suami yang ia nikahi demi uang mulai menunjukkan hasil. Tubuh Karim bertambah lemah karena meminum obat yang ia sodorkan. "Halo..." "Mang Asep, cepat ke atas... aku ingin kau membawaku ke suatu tempat." Mei mengangkat satu alisnya. Dia tidak lagi perduli kemana Karim akan pergi. Nampak jelas jika tubuhnya sudah rusak berat, jadi kemana pun dia pergi pasti tidak akan bisa bertahan. Tak lama kemudian, Mang Asep datang ke kamar. Dia melihat Karim yang terbatuk - batuk di ranjang sementara Mei menepuk - nepuk punggungnya. "Kemana tuan ingin diantar, kondisi tuan sama sekali tidak baik?" tanya Mang Asep. "Bawa aku uhuk uhuk... ke Jingga, Mang." Mei tersenyum sinis. Dia pun kembali mengekspresikan wajah sendu dan tak berdaya di depan Mang Asep. "Tolong ya, Mang. Jaga Karim." 'Sehari istirahat nggak liat mukamu adalah kebahagiaan tersendiri. Dasar tua bangka, cepatlah pergi ke alam sana. Aku sudah muak berpura - pura terus.' Mang Asep mengangguk, dia segera memapah Karim untuk berjalan perlahan - lahan. Setelah mereka berdua pergi, Mei tertawa keras mensyukuri segala hal yang terjadi pada Karim. Dengan begini dia bisa mendapatkan harta dari keluarga Broto sekaligus memenuhi syarat untuk mendekati pria yang selama ini dia incar. Mei menuju ke kamarnya yang lain di mana ia menyimpan segala majalah yang berkaitan dengan pria yang selama ini menjadi tambatan hatinya. Mei menunduk menatap gambar di majalah yang bertuliskan PEOPL* menggunakan huruf besar. Tanpa berkata apa - apa, wajahnya memanas. Pikiran liar mulai berkelebat di otaknya, yang mana pria yang ada di majalah itu menjadi obyek fantasinya saat berhubungan badan dengan Karim. Dalam angannya, pria inilah yang menyentuhnya. Kecemasan terus berpacu di d**a Mang Asep. Dia tahu tuannya tidak bisa bertahan lebih lama, dia seolah mati - matian menahan jiwanya agar tidak terlepas dari raga sebelum melihat Jingga. Mang Asep pun terpaksa mengingkari janji untuk merahasiakan tempat tinggal Jingga yang sebenarnya berada di Bogor. "Uhuk uhuk... kenapa kita menuju ke Bogor, Mang?" tanya Karim. "Karena nona Jingga berada di Bogor, Tuan. " Sedih dan kecewa merayap di d**a Karim. Luka yang ia torehkan pada putrinya rupanya membekas begitu dalam hingga ia enggan menemuinya selama beberapa tahun ini. Padahal jarak antara dirinya dan sang putri tidak sejauh yang ia pikirkan. "Dia pasti benci sama aku, Mang Asep. Dia bahkan tidak mau pulang..." senyum sendu menampilkan ekpresi wajahnya dalam rasa ketidakberdayaan. Mang Asep terdiam, lidahnya terasa kelu. Kata - kata positif lah yang bisa ia lakukan untuk menghibur tuannya yang diujung tanduk. "Tidak mungkin Non Jingga membenci tuan. Tuankan orang tua satu - satunya." Karim terkekeh dan terbatuk - batuk. Rasa kecewa pada diri sendiri merayap di hatinya. Dia pun terdiam tanpa ingin mengeluarkan semua isi hatinya. Yang berontak dan meneriaki nurani agar mendapatkan kata maaf dari sang putri. Setelah beberapa jam perjalanan, mereka pun tiba di villa yang sejuk, yang didominasi kayu jati sebagai dinding rumah. Pohon hias menjadi hiasan yang bisa ditemui di setiap sudut halaman maupun bangunan. Mereka menjadi faktor penting hidupnya suasana rumah yang memang bergaya tradisional. Karim menatap putrinya yang sibuk menanam tanaman. Dia asyik seolah tidak memiliki beban di hati. Padahal Karim tahu jika putrinya memendam kepedihan dan masih menjalani proses pemulihan dari depresi yang ia derita. Tak bisa Karim bayangkan betapa berat perjuangan Jingga untuk pulih. "Non..." sapa Mang Asep pada Jingga. Jingga berdiri dan tersenyum tipis melihat Mang Asep yang muncul dari pagar tanaman yang mengelilingi rumahnya. "Mang Asep, apa kabar?" jawab Jingga ramah. Sudut mata Jingga menangkap mobil mengkilat dari balik pagar tanamannya yang tidak terlalu tinggi. "Apa yang membuat Mang Asep ke sini?" Tanya Jingga. Kecurigaan mulai timbul karena yang ia tahu mobil itu adalah mobil kesayangan ayahnya. "Tuan Karim merindukan Non Jingga. Dia sekarang---" Sebelum Mang Asep sempat menyelesaikan ucapannya, Jingga berlari ke dalam rumah. Dia tahu jika di dalam mobil itu ada ayahnya. Pria yang menyandang cinta pertamanya sebagai seorang anak ayah, sekaligus pria terkejam yang tega menyebabkan ibunya meninggal dengan menyedihkan. Bahkan di ujung nafasnya, sang ayah masih menunjukkan kekejamannya pada ibunya. Wanita yang pernah merawat ayahnya ketika sakit. Wanita yang mencintainya di kala ia didera masalah. Wanita yang mendukungnya di saat ayahnya mengalamai gelombang kesulitan ekonomi. Tok. Tok. "Non... buka pintunya Non. Tuan Karim kondisinya kritis," bujuk Mang Asep. Reaksi dari Jingga memang tidak bisa disalahkan. Pengkhianatan Karim atas cinta Melinda turut menghancurkan semua kebahagiaan di keluarga itu. Yang paling tertekan di sini adalah Jingga. Karim mengetahui jika Jingga tidak ingin menemuinya. Dia pun memaksakan diri membuka pintu mobil dan berjalan ke arah pintu rumah. Langkahnya bergetar hebat saat berjalan, tiap langkah yang ia ambil menggumankan kata maaf pada Jingga. "Maafkan ayah Jingga. Maafkan ayah Jingga..." Bruk. Tubuhnya yang tremor akhirnya jatuh. Bersama dengan air mata di pipinya, dia merayap menuju pintu villa Jingga. Suara tubuh terjatuh membuat Mang Asep segera berlari ke arah Karim. Dia tergopoh - gopoh menolong tuannya yang sudah tak memiliki tenaga. "Tuan bertahanlah... ayo kita ke rumah sakit!" "Maafkan ayah, Jingga. Maafkan ..." Jingga mengintip dari celah jendela apa yang terjadi. Mengapa dia mendengar suara jatuh yang mengerikan. Sesaat kemudian matanya membola ketika melihat ayahnya di tanah dan Mang Asep sedang berusaha mengangkatnya. "Ayah!" Jingga pun segera menyongsong tubuh Ayahnya. Sungguh tak ia sangka jika kondisi ibunya terulang pada ayahnya. Padahal yang ia ketahui, ayahnya sangat sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit dalam. "Maafkan ayah, Jingga..." Karim berusaha keras untuk mengatakan hal itu. Jingga mengangguk dan menangis keras. "Ayah tenangkan. Kita akan ke rumah sakit... jangan bicara apa - apa lagi. Jinggalah yang banyak salah, Jinggalah yang harus minta maaf sama ayah hiks..." Mang Asep dan Jingga akhirnya bisa membawa Karim ke mobil. Mereka segera membawa Karim ke rumah sakit. "Jingga... Jingga... " "Ya, Ayah. Jingga di sini. Sebentar lagi kita sampai..." Peluh dan air mata terus menetes. Jingga ingin sekali mengutuk semua ini. Belum sembuh luka hatinya melihat sang ibu meninggal, kini ayahnya mendatanginya dengan keadaan kritis. "Ayah... bertahanlah, Yah." Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD