Five

2019 Words
Tujuh bulan sebelum Fake Marriage -Nina- Rumah ini terasa seperti kuburan. Sunyi, dingin dan tak bernyawa. Kesendirian memang sepertinya selalu akrab denganku. Ditinggal Mami untuk selamanya, Papi yang sibuk dengan dunianya, bahkan menganggap aku tidak pernah ada. Yang Papi cintai hanyalah mendiang istrinya, Mamiku. Perempuan yang jika tersenyum bisa membuat seisi dunia ikut tersenyum, dan satu-satunya alasan papi selalu rindu rumah. Berjalan menyentuh setiap benda yang ada di rumah mewah ini, aku mencoba menapak tilas memori indahku bersama Mami. Sampailah aku pada sebuah grand piano tahun 1990 buatan Jepang berwarna hitam mengkilat ini. Milik Mami. Wanita berhati lembut itu selalu memainkan sebuah lagu untuk menemani makan malam kami. Menghibur kami di kala sedih. Ikut berbahagia di kala kami sedang senang. Namun tidak satupun dari kami yang mengerti akan kesedihan dan tekanan yang ia rasakan selama hidupnya. Aku masih terlalu kecil untuk memahami perasaan dan permasalahan wanita dewasa kala itu. Sebuah lagu klasik aku mainkan untuk menghibur diriku sendiri. Menekan tuts piano dengan melodi yang masih melekat dalam ingatan, aku hanyut dalam sebuah lagu seorang diri. Aku merasa kini Mami seolah ada di sampingku. Seperti kebiasaan kami dulu, bermain piano bersama. Tekanan dari dalam kelenjar mata membuat cairan bening menerobos keluar membasahi pipiku. Meme kangen Mami. Seseorang menyentuh pundakku. Membuatku menoleh dan mengusap pipi bekas air mataku dengan kasar saat menyadari siapa orang itu. "Kangen Mami, Me?" Tante Medusa duduk tepat di sampingku. Sudah pernah aku bilang sebelumnya kan,kalau aku alergi berdekatan dengan wanita satu ini? Beranjak dari bangku, aku berdiri dengan dagu terangkat dan berlalu tanpa menatap sorot mata penuh bisa itu. "Mau sampai kapan kamu membenci tante? Bencimu tidak akan membuat Mami kamu bangkit dari kuburnya, Me," cetus tante Medusa getir. "Setidaknya dengan aku membenci tante, mampu mengurangi rasa berkabungku yang nggak akan pernah ada habisnya ini." "Apa yang harus tante lakukan untuk bisa mendapat maaf dari Meme? Pasti akan tante lakukan." "Nggak ada dan nggak akan pernah ada." Bergegas meninggalkan ruang keluarga menuju kamar adalah hal paling tepat yang aku lakukan supaya tak perlu berlama-lama berinteraksi dengan wanita itu. Dia jahat, dan aku nggak pernah tahu apa alasan dia menjadi jahat seperti itu. Yang jelas aku yang berusia delapan tahun kala itu terpaksa menerima apa pun perlakuan tante Medusa padaku. Tante Medusa itu tidak pernah mengizinkan aku mengenal dunia luar. Aku tidak pernah punya teman. Aku sendirian dan benar-benar kesepian. Masih segar dalam ingatanku ketika wanita itu menyeret paksa aku untuk sekolah menengah pertama khusus perempuan, tinggal di asrama khusus perempuan, tidak mengizinkanku pulang ke rumahku sendiri selain liburan kenaikan kelas. Alasannya untuk mendidikku menjadi gadis mandiri sebagai penerus kerajaan bisnis Natanegara. Padahal aku tahu alasan sebenarnya dia sudah tidak sanggup lagi merawatku dan tentu ingin menyingkirkanku sebagai pewaris tunggal dan satu-satunya calon pemimpin Natanegara Group di masa yang akan datang, jika Papi telah tiada. Tak selesai sampai di situ kekejian yang ia berikan padaku, dia juga menjatah uang sakuku, dan menampar serta memukulku ketika aku mencoba menceritakan kondisiku yang sebenarnya pada Papi. Wanita itu ternyata telah memanipulasi semuanya. Sampai aku akhirnya menyerah untuk mengungkap semua pada Papi. Apa pun yang aku katakan, Papi tidak akan memercayaiku. Tante Medusa mampu membuat seorang Martin Natanegara yakin bahwa hidup anak perempuan tunggalnya damai dan sejahtera saat di sekolah dan asrama. Nyatanya hidupku lebih dari sekadar sengsara selama di asrama. Belum lagi seringkali aku menjadi bahan bully teman-teman sekolahku hanya karena aku anak konglomerat, karena aku keturunan mata sipit, karena aku selalu menutup diri dan tidak mau bergaul dengan siapa pun. Mereka iri pada rambut indahku, kulit putihku, kaki jenjangku, tubuh langsingku yang semuanya sudah terbentuk dengan sangat sempurna diusiaku yang baru menginjak angka 14. Berkali-kali aku mencoba untuk mengakhiri hidupku. Namun Tuhan tidak memberi jalan semudah itu. Entah karena Tuhan sayang padaku, atau karena memang sudah takdirku menjadi remaja yang selalu dirundung kesedihan dan kesepian. Ketukan di pintu kamarku, membuat aku sadar dan segera keluar dari labirin masa laluku. "Papi?" Heran karena tidak biasanya pria itu mau mengunjungi kamarku. "Masuk, Pi," tawarku karena Papi masih bergeming di depan pintu kamar. Plak! Sebuah tamparan keras melayang di pipi kananku. "Meme salah apa lagi?" Aku bertanya tanpa gentar. Plak! Sekali lagi tamparan melayang di pipiku. Kali ini di pipi kiri. Aku menatap lekat-lekat mata tua Martin Natanegara tanpa ada rasa takut sedikitpun. Mencari celah di iris mata hitam pekat itu, menemukan alasan kenapa Papi begitu mudah menamparku meski terkadang untuk masalah sepele sekalipun. "Mau sampai kapan kamu bikin bibi kamu itu menangis, Me? Bukan tante Manda penyebab kematian Mami kamu. Kamu pikir hanya kamu saja yang berduka? Kami semua kehilangan wanita terbaik itu, Me!?" Papi membentak tepat di depan wajahku. Aku masuk tanpa memedulikan makian pria tua itu, Papiku. Dari ekor mataku, aku merasa dia mengikutiku. "Kapan kamu mau mendengarkan omongan Papi, hah? Kamu selalu membuat ulah yang membuat Papi malu punya anak perempuan seperti kamu! Pantas saja Haffandi menolak mentah-mentah waktu dijodohkan dengan kamu!" Bukan tangannya lagi yang melayang di tubuhku, tapi tongkat kayu sudah mendarat dengan mulus di punggungku setelah Papi mendorong tubuhku hingga tersungkur ke lantai. Meski usianya sudah menjelang 60, tapi dia laki-laki, tenaganya tetaplah lebih kuat daripada wanita. Dua kali pukulan aku menerimanya dengan ikhlas. Mungkin ini pantas bagi seorang anak pembangkang dan tidak tahu diri sepertiku. Aku berharap Papi terus memukuliku, sampai nyawaku melayang di tangan orang tua kandungku sendiri. Nyatanya, lagi-lagi Jesus masih menyayangiku. Tante medusa datang menghalangi niat Papi untuk melayangkan tongkat kayunya ke tubuhku untuk yang ketiga kalinya. "Cukup, mas. Sudah cukup mas siksa Meme kayak gitu. Aku cuma mencari solusi sama kamu, bagaimana caranya meluluhkan hati Meme supaya mau memaafkan aku. Bukan meminta mas untuk menyiksa anak kandung mas sendiri." "Aku nggak pernah mengharapkan punya anak seperti dia. Herfin terlalu cepat meninggalkan aku. Andaikan dia bisa bertahan lebih lama lagi, kita pasti bisa memiliki anak laki-laki yang bisa aku banggakan sebagai penerus keluarga." Suara Papi terisak setelah menyebut nama Mami dengan kelu. "Cukup, Mas. Ayo kita kembali ke kamar mas aja." Kemudian keduanya pergi begitu saja dari kamarku. Di bawah guyuran shower aku menangis. Bukan menangis karena sakit akibat tamparan dan pukulan dari papi. Namun karena perkataan Papi yang tidak mengharapkan memiliki anak sepertiku. Apa pun bentuk penjelasanku, tidak akan pernah dia dengarkan. Oleh sebab itu, aku selalu memilih diam sebagai amunisi terakhirku. Dari dulu papi memang tidak pernah mau tahu kondisi dan mauku apalagi peduli soal perasaanku. Yang beliau mau tahu hanyalah aku harus tumbuh menjadi seorang perempuan kuat layaknya laki-laki, bisa membanggakan nama baik keluarga dan tidak membuat masalah yang membuatnya harus terseret masalah juga. Puas meratapi nasib aku mengganti pakaianku dengan piyama. Membaringkan tubuh dengan perlahan, menahan nyeri di punggungku yang baru terasa sekarang sakitnya. Mulai malam ini, sepertinya aku mulai membenci Mami. Wanita terbaik itu tega menelantarkanku dengan pria dingin dan tempramental seperti Papi. Aku berjanji akan membuatnya menderita di hari tuanya. Akan aku rebut Natanegara Group dari tangannya. Tidak akan aku biarkan seorang pun menyentuh aset dan harta Natanegara Group sepeser pun. Termasuk Manda Natanegara sekalipun. Jangan pernah kalah oleh luka, selama masih ada yang layak kamu perjuangkan, jangan lari dari kenyataan. Rapalku dalam hati. Membentuk tanda salib dari kening dan kedua bahuku dengan rosario, aku mencoba untuk segera tidur, karena besok pekerjaan masih menanti untuk aku perjuangkan. ♤♡◇♧ -Cris- Setelah berminggu-minggu mencari, akhirnya Aaron berhasil menemukan keberadaan Juanita. Ternyata wanita jalang itu sudah mempersiapkan dengan matang rencananya. Dia bahkan sudah pindah dari apartemennya sebelum meracuni gue, sekaligus menjual mobilnya tepat di hari dia meracuni gue. Namun dia terlalu bodoh untuk menipu seorang Crisann Abraham. Semudah menjetikkan jari, gue sudah menemukan di mana jalang itu berada saat ini. Aaron membelokkan mobil ke sebuah kawasan elite di bagian utara ibukota. Sesuai alamat, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar bertingkat dengan desain moderen. Gue rasa bukan rumah pribadi. Karena banyak orang seliweran di sekitar rumah sambil membawa peralatan untuk syuting. Rupanya Juanita sedang syuting di rumah ini. Gue berdiri tak jauh dari kursi malas nan nyaman dengan nama Juanita di balik sandaran kursi. Pasti kursi santai ini milik jalang itu. Seorang laki-laki bergaya feminin menghampiri gue, menanyakan keperluan gue dan bla bla bla hal nggak penting sama sekali. "Cut, cut. Break dulu ya. Setengah jam lagi kita take lagi!!!" Teriak seseorang tak jauh dari kolam renang. Sutradara mungkin. Jalang itu berjalan diiringi pria feminin yang menyapa gue tadi. Bisa gue tebak, wajah Juanita mendadak pias saat ini. Apalagi setelah dia melihat gue duduk menyilangkan kaki dengan santai di kursi malasnya. Gue menyapanya, "Hello, baby. Missing me?" Sapaan begitu saja sudah bisa membuat wajahnya menjadi pucat pasi. "Ha...hai. what are you doing here, Cris?" Balasnya sok tenang. Memberi kode pada pria feminin itu untuk menyingkir dari sampingnya. "Mobil lo di mana?" tanya gue dingin setelah tertinggal kami berdua di tempat ini. "Di parkiran belakang. Kenapa?" "Kita bicara di mobil lo." "Tapi aku lagi syuting, Cris." "Gue dengar sutradaranya tadi bilang break setengah jam. Gue cuma makek lima belas menit aja!?" Bentak gue tak sabaran menghadapi seorang wanita. Fuck!!! Juanita lalu meminta gue mengikutinya. Sampai di samping sebuah mobil mewah dia masuk lebih dulu ke bagian kursi kemudi. "Banyak duit lo bisa ganti mobil mahal seperti ini?" Jelaslah gue bertanya kayak gini. Setahu gue, mobil Juanita adalah Toyota Yaris tahun 2015. Sekarang kami berdua berada di dalam Toyota Camry Hybrid yang ia akui sebagai mobilnya. Juanita tidak menjawab pertanyaan basi gue. Membuat emosi gue terpancing karen merasa dia mengabaikan gue. Serta merta gue meraih puncak kepala wanita itu, membelai pelan, menggenggam helaian rambut lembutnya lalu menghentakkan kepalanya ke arah belakang. Juanita menjerit histeris karena kesakitan. Kedua tangannya menahan tangan gue supaya tidak semakin menarik rambut yang ada dalam genggaman gue. "Bosan hidup lu berurusan sama gue, hah?!" Kesabaran gue habis. Gue bosan dengan basa basi busuk ini. Juanita mulai berakting berurai air mata. "Ampun... Cris. Ampun. Jangan sakitin aku, please. Aku cuma menjalankan perintah. Aku diancam." Wanita itu menangkupkan kedua tangannya di depan gue. Gue balas dengan senyum sinis. Hiburan menarik. "Jadi lu lebih takut ancaman itu daripada gue?" Gue semakin menghentakkan kepalanya wanita itu. "f**k!" Gue mengumpat tepat di depan wajahnya yang sangat ketakutan. "Orang itu mengancam keluargaku. Aku bener-bener nggak tau apa yang ia kasih ke aku. Orang itu hanya bilang cuma sedikit pelajaran untuk Cris. Kata-kataku pagi itu hanya improvisasiku sendiri, supaya kamu tetap membutuhkan aku, Cris. " "Damn!? Siapa orang itu?" Juanita menggeleng lemah. Membuat gue semakin naik pitam. Kembali menghentakkan kepala wanita itu gue berteriak. "Jangan bohong lo, b***h!?" Sial, gue nggak pernah berurusan sama perempuan sampai mengasari perempuan seperti ini. Jangan salahkan gue yang punya tempramen tak terkontrol. Salahkan saja orang yang sudah mencoba memancing amarah seorang Crisann. "Aku nggak tahu, Cris. Please jangan sakitin aku. Aku mohon!" Melepas genggaman tangan gue di rambut Juanita, tangan gue beralih mengusap pipi tirusnya kemudian menekan kedua pipi itu dengan jari telunjuk dan ibu jari gue. Membuat Juanita terus menangis tanpa berani bersuara. "Jawab jujur atau gue pastikan lo akan menderita seumur hidup!?" Terisak dalam akhirnya Juanita buka suara. "Haris Hendrawan," ucapnya tanpa berani menatap gue. Gue melepas cekalan tangan gue di pipi Juanita. "Kalau lo bohong artinya lo g****k. Karena apa? Karena lo udah nekat berurusan sama gue!" Sebelum keluar dari mobil, gue mengambil tisu untuk mengusap linangan air mata yang ada di pipi Juanita, kemudian mencium pipi kirinya dengan lembut. "Maaf kalau gue udah nyakitin lo," ucap gue menepuk pelan pipi wanita itu. Dengan langkah tergesa gue kembali ke tempat Aaron menunggu gue. "Cari tau tentang Haris Hendrawan!" ujar gue setelah mengempaskan pintu mobil. Aaron mulai mengutak atik ponselnya. Sepuluh menit kemudian dia membacakan hasil pencariannya di dunia maya. "Dari yang paling populer sih ini, Cris. Laki-laki mapan berusia 45 tahun, mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan berusia tujuh tahun. Pekerjaan sebagai Direktur eN hotel, anak perusahaan dari eN Coorporation. s**t!" "Kenapa, Ron?" "Kayaknya ini ada hubungan sama kemenangan lo beberapa bulan yang lalu, Cris." "Cari tau lebih jauh tentang siapa Haris Hendrawan, keluarganya, tempat tinggal, terutama motifnya pengin membunuh gue melalui Juanita." Rahang gue mengetat menahan emosi. Tangan gue mengepal, menghantam dashboard. Aaron segera melajukan mobil meninggalkan tempat ini. Menghindari pertumpahan darah yang bisa terjadi kapan saja. ~~~~~ ^makvee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD