Bab 1

2021 Words
"Nissa! Nissa! Buka pintunya, Nis!" Kaki kanan baru saja melewati pintu kamar ketika suara cempreng Anin terdengar dari luar. Mengenakan jilbab instan berwarna hitam, aku segera menemuinya di luar. "Ada apa, Nin? Tumben waktu magrib datang ke sini. Nggak ke mesjid?" tanyaku secara beruntun. Sesekali, aku memasukkan helaian rambut yang keluar dari jilbab. "Kamu sholat di mana?" "Di rumah. Kan perempuan lebih utama sholat di rumah," jawabku. Aneh sekali. Dia sudah tahu jelas mengenai kebiasaanku, kenapa tiba-tiba menanyakan hal ini? "Sekarang, sholat di mesjid aja!" Ia memerintah dengan wajah garang. Tangannya menggenggam lengan kecilku, menarik keluar dari rumah. "Eh, bentar! Ini ada apa, sih? Aku nggak bawa mukena ini!" Aku melepas tangan Anin sedikit kasar. "Ada ustaz ganteng masuk desa!" Wajah Anin berbinar, menunjukkan kebahagiaan. "Terus?" Aku belum tahu info yang satu ini, juga tidak ingin mencari tahu. "Malam ini, bakda magrib, dia mau mengadakan pengajian. Kamu wajib ikutan pokoknya!" Anin mengacungkan telunjuknya di depan wajahku. Matanya menyipit, menggambarkan keseriusan. "Iya, iya. Aku mau ambil mukena bentar, sekalian minta izin sama Ibu." "Cepetan! Keburu azan!" Ia memperingatkan. Sepertinya, gadis yang menjadi primadona desa ini tengah jatuh cinta pada sosok ustaz 'tampan' itu. Aku kembali dengan membawa alat salat di tangan. Jalan bersisian membuat kami menjadi pusat perhatian. Ralat. Bukan kami, tetapi Anin. Mana mungkin ada yang menarik dariku; si kuper yang jarang keluar rumah. Mesjid berukuran sedang yang bisa menampung hingga 300 jamaah ini terlihat ramai dari biasanya. Di hari lain, hanya diisi oleh marbot, imam, dan keluarga imam mesjid. Sisanya, jarang menunjukkan batang hidung di tempat suci ini. Termasuk aku. Bukan tanpa alasan aku 'hampir' tidak pernah datang ke sini. Wanita tidak disunnahkan salat di mesjid, malah diutamakan salat di rumah. Karena tadi, aku sudah sempat berwudu, tinggal salat sunnah di masjid sembari menunggu Anin. Mengucapkan salam dua kali, salat selesai. Aku memperhatikan sekitar, benar-benar ramai. Kaum adam saja kalah banyak dengan kaum hawa sekarang. Apa mungkin karena pesona ustaz itu? Jika benar, percuma saja datang ke masjid, karena tidak akan membawa pulang sesuatu apabila niat salat hanya karena seorang lelaki. Astagfirullah. Aku tersentak kala tubuh Anin langsung berdempetan denganku. Melotot ke arahnya, tetapi dia tidak peduli sama sekali. Malah kepalanya celingak-celinguk ke arah depan. "Nggak sholat sunnah, Nin?" Aku bertanya padanya yang sibuk mencari sesuatu. "Eh, kelupaan! Besok-besok aja lah!" Dia berseru sambil cengengesan tak berdosa. Ternyata, bukan hanya lelaki yang mudah melakukan dosa saat bertemu wanita cantik, kaum perempuan pun demikian. Pak Husein mengumandangkan ikamah. Dengan kepala menunduk memperhatikan gambar kakbah di sajadah, aku berdiri hendak melaksanakan salat. "Itu Ustaz Fadil, Nis!" Anin berseru, sikunya menyenggol lenganku. Aku mendongak, mendapat sebuah punggung tegap yang dibalut baju koko putih di tempat imam. Rambutnya hitam pekat. Kedua tangannya perlahan terangkat untuk takbiratul-ihram. Desiran aneh merayap di dalam hati, tatkala suaranya terdengar, walau hanya mengucap 'Allahu Akbar'. Batin berujar, 'ma syaa Allah' dengan penuh kekaguman. Sejenak, aku terhanyut dalam bacaan alfatihah yang ia lantunkan. Untuk kedua kalinya, Anin menyenggol lenganku, menyadarkan atas dosa yang baru saja kuperbuat. Mengucap niat dalam hati, lalu mengangkat kedua tangan, aku melafalkan doa salat. Jantung masih berdebar, dan pikiran sulit dihilangkan dari lelaki itu. Ampuni aku, ya Allah. **** Jam masih menunjukkan pukul delapan saat aku hendak keluar mesjid, tetapi rasa dingin terasa langsung menusuk kulit yang sudah dilapisi gamis polos panjang berwarna krem dan jilbab instan hitam. Mukena dan sajadah semakin kupeluk erat untuk mengusir dingin. Selama Ustaz Fadil memberikan pencerahan bagi para penduduk, aku malah sibuk dengan fisiknya. Sungguh, aku berusaha untuk fokus dengan inti ceramahnya. Namun, selalu gagal meski kepala sudah menunduk. Suaranya yang begitu merdu masih terngiang di telinga. Astagfirullah. Aku gagal menjaga hati. Ampuni hamba-Mu ini, ya Allah. Aku hendak mengejar rombongan ibu-ibu di depan ketika suara baritone yang menyebabkan jantung ini berdebar-debar, terdengar dari belakang. Aku menunduk saat ia berdiri di samping, masih menjaga jarak. "Assalamualaikum, Ukhti," sapanya lembut. Astagfirullah, kalimat itu terus kuucapkan dalam hati. Mendengar suaranya, menatapnya atau bahkan merasakannya di sampingku, memberikan efek yang besar bagi detak jantung. Dia amat berbahaya untuk imanku. "W-wa alaikumussalam," jawabku sedikit terbata. Entah karena cuaca dingin atau karena gugup. Mungkin keduanya. "Anti ... sudah ada yang khitbah?" Kepalaku mendongak seketika saat mendengar pertanyaannya. Beberapa detik, kedua mata ini bertemu dengan manik hitamnya. Dia menunduk, begitupun diriku. "Belum," suaraku terdengar tertahan. Embusan napas keluar dari hidung untuk mengurangi rasa gugup. "Besok, keluarga saya boleh melamar anti?" Bagaimana kabar jantungku? Oh, mirip bom yang meledak di dalam sana. Rasa bahagia membuncah, menyebabkan senyuman lebar tanpa bisa kucegah, kemudian menjadi rasa hangat yang merayap hingga ke kedua pipi. Kuanggukkan kepala malu-malu. Kalimat hamdalah terus terucap di dalam hati. Tidak ingin terlalu lama bersamanya, aku langsung pamit, "Assalamualaikum." Aku harus segera sujud syukur di rumah nanti. Senyumanku semakin lebar saat mendengar jawaban salam darinya. Kedua tanganku yang dingin bersinggungan dengan pipi yang hangat. Kepala menggeleng untuk menghilangkan bayangan manis barusan. Ya Allah, sadarkan diriku. "Kamu kenapa, Nis?" Bu Fatma bertanya. Mungkin menyadari tingkahku yang aneh. "Eh ... nggak papa, Bu." Aku menunduk malu. Pikiran semrawut karena ucapan Ustaz Fadil barusan. Dia melamarku! Dia. Melamarku! Bahkan kami baru bertemu tadi. Kenapa mendadak sekali? "Padahal aku baru aja pengen dapetin perhatian Ustaz Fadil, eh keduluan ama kamu!" Anin memanyunkan bibir. Wajahnya ditekuk kesal. "Anin, Maaf ...." "Nggak papa!" Dia tersenyum, dengan gurat-gurat kesedihan masih mewarnai wajahnya. "Aku seneng kok, kalau ustaz ganteng itu jadi ipar aku!" Anin, kamu tidak pandai berbohong. Maaf, aku memberimu luka. Untuk pertama kalinya, sahabat yang kuanggap kakak kandung, tersakiti karena diriku. ***** Sesampainya di rumah, aku langsung memberitahu kedua orang tuaku. Mereka sangat bahagia, terutama ayah yang memang sudah menyukai sikap Ustaz Fadil yang ramah dan murah senyum. Berkali-kali, terdengar lantunan syukur kepada Allah dari bibir ayah. Ibu bahkan sampai menangis haru mendengar ucapanku. Mungkin karena anaknya yang berusia 23 tahun ini akhirnya menikah. Di desa terpencil tempatku ini, kebanyakan anak gadis sudah menikah setelah lulus SMA. Hanya wanita yang lanjut sekolah di luar sajalah yang belum menikah. Anin salah satunya. Sementara aku, hanya lulus SMA, tetapi belum menikah. Ini bagaikan aib bagi keluarga. Ibu merencanakan kegiatan esok hari. Beliau keluar rumah malam-malam untuk memesan kue pada Bu Nani. Maklum, kami tidak punya persediaan apapun di rumah kecuali sayur dari kebun dan juga nasi sebagai makanan utama. Aku tidak bekerja sama sekali, hanya mengurus rumah. Hanya sesekali saja keluar ke kebun membantu orang tua. Kakak tertua hijrah ke luar negeri, mencari pekerjaan yang layak sejak drlapan tahun lalu. Namun, empat tahun ini, dia sudah jarang memberi kabar. Semoga dengan kabar ini, hidup keluarga kami akan terbebas dari cibiran orang-orang. ***** Seperti yang disampaikan Ustaz Fadil sebelumnya. Mereka benar-benar datang ke rumah membawa anggota keluarganya yang tinggal di desa sebelah. Setelah memperkenalkan diri, barulah aku tahu bahwa yang ikut bersamanya adalah Pak Zainal, Bu Dina, dan Adit, kakaknya. Sebenarnya masih ada satu lagi adik perempuan Ustaz Fadil, tetapi sedang belajar di luar negeri. Di sofa single berwarna cokelat, aku hanya menunduk mendengar perbincangan antara mereka, sesekali mencuri pandang pada Ustaz Fadil. Dia begitu ramah, hingga membuat ayah terlihat begitu nyaman mengobrol dengannya. Berbeda dengan kakaknya, Adit. Lelaki itu duduk tepat di hadapanku, menampakkan aura dingin dengan wajah tanpa ekspresi. Membosankan. "Jadi, baiklah, Pak, Bu. Kedatangan kami ke sini, untuk melamar Putri Bapak Nissa Maulina menjadi menantu kami, pendamping dari Aditya Maulana yusuf." Penjelasan dari Pak Zainal barusan membuat mataku melebar seketika. Kulihat senyuman Ustaz Fadil tertuju padaku, seolah meyakinkan untuk menerima lamaran ini. Kepalaku menunduk, mencoba menutupi cairan bening yang melapisi iris mata. Di dalam d**a terasa diremas begitu kuat. Kecewa. Pasti. Aku sudah terlalu banyak berharap menjadi pendamping Ustaz Fadil. Bahkan semalam, aku lupa salat tahajud karena terlambat bangun. Itu semua karena sampai larut malam hanya mengingat Ustaz Fadil. Rasa sakit dari d**a mulai menggerogoti kekuatanku, membuat bahu ini sedikit bergetar. Sebulir cairan lolos begitu saja. Secara samar, kucoba menghapus air mata. "Bagaimana, Nak? Apa kamu berkenan menerima lamaran ini?" Ayah bertanya padaku. Kulihat ada raut kekecewaan di wajah keriputnya. Ayah pun sudah berharap begitu besar, sama sepertiku. Aku terdiam, memilih melampiaskan kekesalan pada ujung jilbab biru yang menutupi kepala sekarang, tanpa peduli jika kain ini akan kusut nantinya. "Kami akan memberi waktu. Kalian boleh taaruf dulu," usul Ustaz Fadil. Tak tahukah dia apa yang kurasakan sekarang? Aku kecewa. Seandainya tidak melanggar norma, mungkin aku akan berteriak di depan wajahnya, mengutarakan apa yang menyebabkan jantung ini terasa ditusuk kuat. Sebuah anggukan kepala membuat mereka tersenyum bahagia, aku semakin dongkol. Menolak lamaran ini adalah jalan terbaik, karena hanya akan membuatku menderita hidup dalam keterpaksaan, tanpa cinta. Namun, aku akan menunggu ... hingga minggu depan. ****** Angin berembus pelan melewati jendela yang terbuat dari kayu, menyapa wajahku. Bayangan tadi pagi masih terekam jelas dalam benak. Sakit hati karena kecewa, masih terasa menyiksa. Angin, tidak bisakah kau bawa luka ini bersamamu? Selimut dari atas ranjang sudah menutupi seluruh tubuh. Dalam kehangatan ini, pikiran terbang jauh. Rasa kagum pada Ustaz Fadil berubah seketika menjadi rasa kesal. Seringkali ucapan istighfar keluar dari bibir ini, tetapi tak jarang, rencana jahat bisikan dari setan masih terdengar. Embusan napas keluar untuk menambah pasokan oksigen dalam paru-paru. Untuk lamaran itu, aku tidak perlu istikharah lagi. Karena sudah jelas, aku akan menolak lamaran tersebut. Pernikahan itu ibadah, dan tidak seharusnya dimulai dengan rasa kecewa seperti ini. Bagiku, menikah harus diawali dengan rasa bahagia, agar terus bahagia selama menjalankan pernikahan. Tidak ada alasan untuk menerima Adit sebagai suamiku. "Nissa! Nissa! Ke sini, Nak!" Aku tersentak dari lamunan kala suara cemas dari Ibu mengalun sampai ke kamarku. Tanpa menunggu teriakan kedua, aku menjatuhkan selimut dari tubuh dan berlari keluar kamar. Tidak biasanya Ibu berteriak di tengah malam seperti ini. "Ada ap-Ya Allah!" pekikku saat mendapati Ayah sudah berbaring tak sadarkan diri di lantai. "Kamu cepetan panggil bantuan!" pinta Ibu yang langsung kuangguki. Setelah mendatangi beberapa rumah, sekitar 10 orang laki-laki dan 15 perempuan datang ke rumah. Salah satu dari mereka menyediakan mobil untuk membawa Ayah ke rumah sakit. Selama perjalanan, Ibu tersedu di pundakku. Ia menceritakan semua awal dari kejadian ini. Ayah merasa terganggu dengan gunjingan beberapa orang yang mengatakan aku tidak laku, karena belum menikah hingga sekarang. Ayah mencoba tenang. Namun, pikirannya tidak bisa dialihkan dari ucapan tetangga. Ditambah lagi rasa kecewa karena bukan Ustaz Fadil yang melamarku. Beliau sudah begitu bahagia saat tahu tentang lamaran itu. Ini semua salahku. Rumah sakit mulai lengang. Aku, Ibu dan beberapa warga yang membantu kami ke sini, menunggu di depan pintu IGD. Jantung ini berdegup kencang. Kedua bibir terus merapalkan doa sambil menenangkan Ibu yang sedari tadi menangis. Dalam keadaan seperti ini, aku harus terlihat kuat. Namun, pertahanan itu meluruh seketika saat dokter mendiagnosis bahwa Ayah terkena serangan jantung dan harus dibawa ke rumah sakit yang lebih memadai. Air mata membanjiri wajah yang dingin. "Assalamu'alaikum!" Aku dan Ibu mengangkat wajah ke arah Pak Zainal yang baru saja datang bersama Adit. Seandainya bukan karena teringat keadaan Ayah, pasti aku sudah pergi dari sini. "W-wa alaikumussalam." "Kami dengar Pak Abdul masuk rumah sakit?" Wajah keriput itu menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Kujelaskan secara singkat masalahnya. Tanpa berpikir panjang, mereka langsung menawarkan bantuan kepada kami setelah mendengar ceritaku. Aku dan Ibu mengucapkan terima kasih. Namun, jawaban Pak Zainal menyentak kesadaranku. Mereka membantu kami karena menaruh harapan besar agar aku mau menjadi menantunya. Pak Zainal menyewa ambulans untuk membawa kami ke rumah sakit yang lebih besar. Tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu satu jam tempuh. Saat pemeriksaan Ayah, Pak Zainal pamit pulang karena istrinya membutuhkan dirinya. Aku dan Ibu mengucapkan banyak terima kasih. Tersisa Adit yang menemani kami. Sifat lelaki itu sangat berbeda dengan adiknya. Ia jarang berbicara. Bahkan aku belum pernah mendengar suaranya. Jika disuruh, ia hanya menganggukkan kepala. Atau, dia bisu? Dan lagi. Seakan pernyataan dokter sebelumnya belum cukup membuatku putus asa, dokter di rumah sakit ini malah mengatakan jika Ayah harus dioperasi. Pikiran kedua setelah keadaan Ayah adalah, bagaimana cara melunasi biaya rumah sakitnya? "Akan saya bantu kalau kamu mau." Suara bariton itu keluar dari Adit. Untuk pertama kalinya ia berbicara padaku. "Tapi ada syaratnya," sambungnya setelah jeda beberapa saat. "Syarat?" ucapku dengan nada tertahan. Kepalanya mengangguk, senyuman tercipta di bibirnya. Sebuah senyuman yang membuatku merasa resah. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD