"Apa susahnya mengungkapkan cinta pada orang terkasih? Apa kau pecundang?! Kau tidak berani menyatakan perasaanmu?!"
Laki-laki 25 tahun itu tersenyum tipis, menatap jengkel temannya yang sok berani dalam hal sakral itu-- menyatakan cinta pada lawan jenis. "Jangan sok kuat kau b******n! Aku tau kau sampai panas dingin minggu lalu-- memikirkan apa akan menyatakan perasaanmu pada Tuti atau tidak."
Wajah teman laki-laki 25 tahun itu langsung memerah, malu. Ini lah yang dinamakan makan omongan sendiri.
"Apa Tuti yang bilang itu padamu?"
"Bukan. Mamakmu yang bilang."
"Ah..." teman laki-laki berusia 25 tahun itu meremas rambut landaknya yang berdiri sempurna di atas kepala-- sudah seminggu tidak dicucinya dengan shampo. "Mamakku itu kenapa ember sekali!?" keluhnya, memikirkan mamaknya yang suka membocorkan rahasia orang lain.
Laki-laki 25 tahun berkulit sawo matang itu tersenyum tipis. "Bagaimana pun dia tetap mamakmu, janganlah kau sampai mengomelinya tiba di rumah nanti."
"Oi, kalian! Waktu istirahat sudah habis! Sana balik kerja!" seru mandor proyek pada dua pemuda tanggung yang sedang dilanda perasaan yang sampai sekarang maknanya masih berupa misteri, cinta.
Keduanya serempak berdiri. "Siap Bos!" Berlagak macam tentara siap perang, tak lupa memberi hormat pada sang mandor yang kerutan di keningnya tak pernah hilang itu.
Saat semua pekerja sudah bersiap-siap untuk kembali ke rumah masing-masing, seorang pemuda bertubuh kurus mendekati si laki-laki berkulit sawo matang yang tengah main sikut lengan dengan kawannya berambut landak, saling mengumpat atas candaan absurd mereka.
"Bang," panggil seorang pemuda kurus yang baru mulai bekerja sebagai kuli bangunan 2 hari yang lalu. Memanggil si laki-laki berkulit sawo matang yang baru saja melempar handuk bau keringat bercampur bau kali ke temannya.
"Ada apa In?" tanyanya bingung, menyeka keringat di dagu. Menatap wajah pemuda tanggung itu.
"Ini ada surat untuk abang." Si pemuda kurus menyerahkan sehelai surat dengan kertas hijau yang dilipat empat kepada laki-laki berkulit sawo matang.
"Eh? Dari siapa ini?" herannya sambil membolak-balik surat. "Apa jangan-jangan kau mau menyatakan perasaanmu padaku?" candanya yang tak diindahkan oleh si pemuda kurus.
"Haha, tak perlulah kau pasang tampang seolah-olah menganggap aku orang punya kelainan begini." Si laki-laki berkulit sawo matang menepuk-nepuk pelan bahu junior dalam dunia perkulian-nya, suasana jadi canggung karena candaannya tak jadi pemicu tawa untuk si pemuda kurus yang punya pikiran logis, tak tau apa itu konsep bercanda dan komedi. Mungkin kerasnya dunia membuat dia tak bisa merekahkan senyum, bersenang-senang walau hanya dalam sebuah candaan lewat kata-kata.
"Itu tadi dari kakak mahasiswi yang sering lewat tempat proyek kita ini, Bang. Kalau gak salah, dia bilang namanya tadi Hanum."
Senyum bersahabat di wajah laki-laki berkulit sawo matang tadi pudar seketika, wajahnya langsung kaku, tak berekspresi, dia menatap nanar surat hijau yang ada di tangannya, melirik ke gerbang depan yang belum dipagar dan diplaster.
Si pemuda kurus langsung balik badan, melanjutkan pekerjaannya.
"Wah, hebat! Kau dapat surat dari kakak cantik itu ya!?" Si rambut landak menyambar surat hijau dari tangan temannya, merekahkan senyum hendak membaca surat spesial dari seorang gadis cantik berpendidikan untuk teman dekilnya yang punya kulit sawo matang dan keringat bau kali itu. "Apa jangan-jangan ini surat cinta ya!?" gumamnya bersemangat
Sebelum lipatan surat hijau terbuka sempurna, laki-laki berkulit sawo matang langsung merampas kembali surat yang memang diperuntukkan untuknya, ia berlari meninggalkan tempat proyek dengan wajah berseri-seri, senyum merekah sempurna, deru nafas berirama walau degup jantung berdetak cepat, seolah dia menjadi orang paling berbahagia di hari itu.
oOo
Tak banyak yang bisa dilakukan murid kelas 3 SMA yang sudah berada di minggu terakhir persekolahan, minggu depan ujian kelulusan lalu kami diliburkan, menerima ijazah dan dinyatakan telah berhasil menyelesaikan pendidikan wajib 12 tahun sesuai keinginan negara.
"Muiz!"
Gadis dengan kacamata tebal bermuka datar itu menghampiri mejaku, aku selalu kagum dengan bola matanya yang besar itu-- tertutupi oleh kaca tebal dari kacamatanya.
"Ada apa?" tanyaku datar. Menatap gadis berkacamata tebal yang menganggap diriku sebagai rivalnya dalam dunia akademik ini.
"Ehm!" Dia tiba-tiba berdehem pelan, melirik poster bergambar burung Garuda di atas papan tulis kelas kami. "Ka... kau mau ambil kuliah di mana?" tanyanya patah-patah, gugup.
"Apa hubungannya di mana aku mau berkuliah denganmu?" tanyaku dingin, malas menjawab pertanyaannya karena nanti pertanyaan tadi itu akan bercabang jika ditanggapi
Tatapan gugupnya tadi langsung berubah sinis seketika setelah mendengar pertanyaanku. "Sudahlah! Lupakan!" Dia pergi meninggalkan mejaku setelah selesai memukulnya sampai mengeluarkan bunyi berdebrak.
Aku cukup peka untuk bisa memahami apa isi kepala dan isi hati manusia lewat ekspresi dan nada bicaranya. Manusia itu makhluk yang unik, ada yang sulit dan ada yang mudah untuk ditebak, sama namun sebenarnya tidak sama. Satu hal yang kutau pasti, Putri, gadis berkacamata tebal yang menganggapku rivalnya itu, punya perasaan spesial padaku, perasaan yang sulit dijelaskan dengan teori, tak punya batas yang bisa diukur, dan terkadang sering kali egois, perasaan itu dinamakan cinta.
Iya. Aku tau itu, karena aku juga sempat merasakannya, tapi subjek cintaku itu bukan Putri, bukan pula ayahku, atau kedua orangtua angkatku, tentu juga bukan Naomi. Sayangnya, perasaan itu tak sempat berlabuh, ia memang terus berlayar sampai beberapa tahun yang lalu, mati tenggelam di luasnya lautan perasaan karena tak ada lagi tempat untuk beristirahat dari pencarian yang panjang. Perpisahan, punya sejuta arti kehilangan yang sebenarnya.
Abdul Muiz, aku tak tau apa arti dari nama ini, dan mungkin saja memang tidak ada artinya, karena terbilang ayah kandungku hanya tukang mabuk yang lugu, bisa saja ia bodoh jadi asal memberi nama saja. Satu-satunya hal nyata yang diwariskan ayahku hanya nama, ya, sebuah nama yang terdengar kampungan.
Aku tidak tau banyak hal tentang ayah, tidak tau bagaimana masa lalu ayah, ayah tak pernah menceritakan tentang dirinya, aku pun tak pernah bertanya. Sejak aku bisa mengingat, yang aku ingat hanya ayah yang tak pernah berhenti dari mabuk-mabukkannya, dia selalu seperti ini-- entah sejak kapan dia memulainya, aku tidak tau. Pun tentang ibu yang mengandungku, aku tidak tau siapa ibuku dan bagaimana rupanya, ayah tak pernah bercerita apa-apa tentang ibu, tak ada foto siapa-siapa di rumah kecil kami, tak ada satu pun barang kenangan yang mampu jadi benang merah atas masa lalu kedua orangtuaku.
"Muiz... Muiz!"
"... woi Abdul!"
Bunyi meja digebrak ditambah dengan suara yang meneriaki nama yang terdengar sudah asing itu membuatku terhentak kaget.
Gadis berkacamata itu mengernyitkan keningnya, sudut kiri bibirnya terangkat ke atas. "Kau melamunkan apa sih, hah?! Bel pulang sudah berbunyi sejak tadi, kami juga sudah selesai piket. Kau tidak pulang?!" tanya Putri berseru ketus, mengingatkan.
"Ah iya, terima kasih."
Aku menarik sandang tas, pergi meninggalkan kelas.
"Itu anak kenapa sih?" gumam Putri terdengar jelas di telingaku, seolah dia sengaja mengatakannya dengan keras.
Putri itu, selain gadis yang menganggapku rival dan sosok yang tertarik padaku sebagai lawan jenis, ia juga satu-satunya teman perempuan yang aku punya. Putri selalu mengajakku berbicara-- ini memang karena dia suka berbicara, mudah bergaul, bukan semata-mata untuk modus pada laki-laki yang disukainya.
Anak-anak di kelas juga tau, Putri menyukaiku, tak jarang kami jadi bahan ceng-cengan anak-anak. Kabar baiknya, Putri tidak seperti gadis-gadis alay di luar sana yang terkesan murahan-- atau boleh lah bahasa halusnya dibilang mudah goyah dalam hal perasaan. Putri itu satu-satunya gadis di muka bumi bermental baja yang pernah kukenal, dia kuat, pintar, dan pandai menjaga tutur bicara dan ekspresi wajahnya. Dia tak pernah tersipu malu saat diceng-cengkan denganku, malah memelototi dan menatap sinis orang-orang yang jadi sumbu itu, menatap mereka dengan makna tersirat "serangga rendahan, tidak bisakah mulutmu itu diam!?" kira-kira begitu.
"Muiz, kau benar-benar tidak mau memberitahuku di mana kau akan melanjutkan kuliahmu?" tanya Putri yang tiba-tiba sudah bersisian denganku. Gadis satu ini seperti ibu kos yang datang tak diundang, pulang tak diantar, menyeramkan karena suka muncul tiba-tiba.
"Tidak."
"Ck! Sial!"
Putri melambaikan senyum bak bidadari langit ketujuh setelah berdecak dengan u*****n tadi-- seolah ia tidak pernah berkata kotor. Ia manusia paling suci yang hidup di jaman modern ini, di mana u*****n adalah bahasa sehari-hari anak kota, dan menjadi bahasa gaul bagi anak desa yang sering menonton anak kota dari sosial media.
"Kenapa kau sengotot itu bertanya tentang tempat kuliahku nanti?" tanyaku berbaik hati meladeni Putri mengobrol, hitung-hitung dia sudah menyadarkanku dari lamunan masa lalu.
Putri memalingkan muka, membuang nafas pelan. "Apa salahnya jika seorang teman ingin tau apa yang ingin dilakukan temannya?" Putri balik memutar kepalanya, mengernyitkan keningnya menatapku. "Jika kau tak mau jawab, tidak apa. Aku tak akan mengusik privasi orang!" sambung Putri kemudian.
"Baguslah kalau begitu," acuhku.
Putri memelototiku cukup lama, lantas menghela nafas berat setelah sampai di meja piket. "Dasar!" seru Putri sebelum berlari meninggalkanku, tepat setelah ia melirik jam tangannya-- Putri harus membantu ayahnya di warung mie ayam mereka setiap pulang sekolah, sore ini pasti pembeli ramai.
Kutatap pintu rumah yang tertutup rapat, selintas senyum menarik kedua sudut bibirku, nampaknya mama keluar lagi hari ini, membeli bahan-bahan untuk kue nya, pasti sudah ada pesanan baru.
Aku mendorong pelan pintu rumah, menutupnya kembali. Naomi sedang belajar di ruang depan, mungkin mengerjakan tugas dari sekolah, terlihat jelas dia sakit kepala melihat soal-soal yang harus dijawabnya, sampai-sampai Naomi tak menyadari kehadiranku.
"Naomi lagi bikin PR?" tanyaku basa-basi, belum sempat mengganti seragam dan meletakkan tas.
Naomi memelototiku seperti Putri tadi dengan kening berkernyit. Dia memperlihatkan jelas betapa dia membenciku, betapa tidak inginnya dia melihat kehadiranku, betapa tidak sudinya dia menerimaku di dalam keluarganya. Hari ini, sudah 2 kali aku dipelototi perempuan, satu teman sekelasku, kedua adikku sendiri.
Naomi kembali mengalihkan pandangan ke buku tugasnya, tidak menjawab pertanyaanku adalah cara paling menyakitkan yang terpikirkan olehnya. Naomi memilih mengabaikanku, menganggapku tidak ada, daripada dia mengusirku-- itu berarti Naomi mengakui keberadaanku, dan artinya, Naomi kalah jika ia meladeniku, si manusia yang paling dibencinya.
Aku tetap tersenyum tulus pada Naomi, sebenci apapun dia padaku, tidak akan mengubah fakta bahwa orangtuanya adalah penyelamatku. Sebagai balas budi aku tidak hanya harus bersikap baik pada mama dan papa, tapi juga pada anak mereka, Naomi.
"Naomi," panggilku tak mau pergi begitu saja setelah menganggu konsentrasinya belajar.
"Setelah lulus sekolah, kakak akan pergi dari sini. Naomi tak perlu khawatir, kakak tidak akan kembali lagi, kakak tidak akan lagi mengambil kasih sayang yang seharusnya jadi milik Naomi, tidak akan pernah."
"Naomi... maafkan kakak ya?"
"Naomi... terima kasih."
Aku berdiri dari duduk, melangkah pergi ke kamar tanpa mengelus kepala adikku, karena Naomi pasti tidak mau dibelai olehku, bisa-bisa dia harus keramas 10 kali untuk menghilangkan aroma tanganku dari kepalanya-- saking bencinya dia padaku.