Melahirkan

1154 Words
Mario mengelap peluh keringat yang membasahi dahi istrinya. Mereka baru saja melakukan ritual suami istri. Percayalah, semenjak mereka menikah, Meisya lah yang sering menginginkan itu. Mungkin karena hormon kehamilannya, dia begitu mendambakam sentuhan suaminya itu. Tentu saja Meisya tidak memintanya secara terang-terangan. Dia gengsi. Makanya, dia hanya melempar kode kepada Mario atau dengan sengaja berpakaian seksi untuk memancing hasrat suaminya itu. Dan Mario, peka akan hal itu. Dia menuruti kemauan istrinya dengan senang hati. Mario paham jika Meisya masih saja tak banyak bicara dengannya, walau sudah beberapa bulan menikah. Seperti berhubungan badan saja, Mario tahu persis jika Meisya menginginkannya. Hanya saja, Meisya enggan untuk mengatakannya. Mario memaklumi. Dia harus bersabar menghadapi sikap dingin istrinya. Mengingat kesalahannya di waktu lalu, tidak mungkin semudah itu dilupakan oleh Meisya. Mario akan menunggu. Menunggu di mana Meisya membuka diri sepenuh hati untuknya. "Kak, aku mau lagi," rengek Meisya manja. Nah, ini baru pertama kalinya Meisya meminta untuk disentuh Mario kembali. Mario melotot. Mereka sudah melakukannya sebanyak dua ronde dan Mario rasa itu cukup. Dia tidak ingin terlalu sering berhubungan intim dengan Meisya karena khawatir akan kandungan istrinya tersebut. “Udah dua kali, Sayang. Aku nggak mau kamu kecapean,” ujar Mario lembut. Walau sebenarnya dia ingin juga, tapi dia tak mau memaksa seperti yang pernah dilakukannya dulu. “Halah, bilang aja kamu bosan!” Meisya cemberut. “Oh, atau kamu punya perempuan lain yang kamu tiduri di luar sana?” "Astaga, nggak ada, Yang. Aku berani sumpah." Mario mengusap wajahnya frustasi. Emosi Meisya sering meledak-ledak jika Mario dianggap melakukan suatu kesalahan oleh Meisya, padahal sebenarnya Mario sendiri tak yakin dia melakukan kesalahan. Menurutnya, dia selalu menuruti apa kemauan Meisya. Apa yang dikatakan oleh istrinya itu, tak pernah Mario abaikan. “Terus, kenapa nggak mau begituan lagi? Dulu lo doyan banget sentuh gue berkali-kali. Dua kali doang, mana cukup bagi lo.” Yang dikatakan Meisya tak sepenuhnya salah. Mario merasa dia sangat b******n dulu. Mario yakin Meisya tengah kesal pasalnya istrinya itu sudah menggunakan kata lo-gue berbicara padanya. Mario memijit pelipisnya. Dia memang sering kewalahan menghadapi sikap Meisya yang sering berubah-ubah padanya. Dasar ibu hamil. "Aku cuma nggak mau kandungan kamu sampai kenapa-napa, Sayang." Mario tetap berusahan tenang dan berbicara lembut kepada Meisya. “Besok lagi, oke?” "Maunya sekarang!" seru Meisya tak ingin dibantah. Bukan karena balas dendam atas sikap Mario dulu, namun karena dia benar-benar sedang menginginkannya lagi. "Kata dokter, berhubungan suami istri itu bisa memperlancar jalan keluar anak kita. Kamu lupa apa yang dibilang dokter kemarin? Atau sengaja, pura-pura lupa? Jujur aja sama aku, kamu punya perempuan lain di luar sana?!" Mario maklum, begini lah kalau punya catatan buruk di waktu lampau. Tak mudah baginya untuk meyakinkan Meisya untuk mempercayainya kembali. Meisya mau menikah dengannya waktu itu saja, Mario sudah sangat bersyukur. Tugasnya selanjutnya, berjuang untuk mendapatkan kepercayaan perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu kalau dia benar-benar sudah berubah, bukan lelaki b******k lagi. Mario beruntung waktu itu, kedua orang tua Meisya mendukungnya untuk menikahi puteri semata wayang mereka. Bukan karena mengincar harta keluarga mereka, bukan itu. Orang tua Meisya bukan seperti Dodod dan Pupit yang sedang ramai dibahas di berbagai akun media sosial. Dua orang yang gila akan harta. Deborah dan suaminya percaya bahwa Mario bisa menjadi suami yang baik untuk Meisya ke depannya. Mario sungguh terharu dengan ketulusan hati orang tua Meisya yang mau memaafkannya serta membantu untuk membuat Meisya bersedia untuk dinikahinya. Terdengar helaan napas kasar dari Mario. "Ya udah. Sekali lagi aja, ya? Aku benaran takut kandungan kamu kenapa-napa. I swear, aku nggak ada perempuan lain di luar sana." Mario menundukkan kepala dan mengecup lembut dahi istri yang sangat dicintainya itu. “Cuma kamu perempuan yang aku cintai, Sya, selamanya. Tolong percaya sama aku, aku mohon... ” *** "Kamu kenapa? Perutnya sakit?" tanya Mario khawatir. Dia terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara rintihan Meisya. Meisya tidak menjawab. Dia terus merintih sembari memegangi perutnya. "Astaga, Sayang... kamu ngompol?" Mario baru menyadari kalau sprei mereka telah basah. "Nggak apa-apa, jangan nangis! Biar aku minta Bibi yang beresin nanti." Meisya menggeleng lemah. "I-itu air ketuban!" "Apa?" Mario sepertinya belum paham akan perkataan Meisya. "Aku mau melahirkan!" ujar Meisya kesal sambil menahan rasa sakitnya karena Mario yang terlihat bengong. Barulah Mario mulai panik mendengar seruan Meisya. Dia berteriak memanggil mamanya. Mereka memang masih tinggal bersama orang tua Mario setelah menikah, Sesil yang meminta tinggal bersamanya dulu agar bisa memperhatikan dan menemani Meisya ketika Mario sedang bekerja. Sesil sesayang itu dengan Meisya. Nanti, Mario dan Meisya akan pindah ke rumah baru setelah anak mereka berusia 4 bulanan. Sekarang rumah yang akan mereka tempati nanti sedang dalam tahap renovasi. Meisya pun tak keberatan tinggal dengan mertua yang begitu baik padanya. Walau Mario sempat membuatnya kecewa dulu, Meisya tak memungkiri jika dia senang akhirnya mereka bisa menikah karena dia mendapatkan mertua seperti Sesil dan Abas. Mertua yang tidak menganggap rendah ditinya, padahal Meisya berasal dari keluarga sederhana. Sesil segera datang mendengar teriakan dari Mario yang kencangnya mungkin sudah sampai ke rumah tetangga, karena dia khawatir. Dilihatnya Mario yang sudah menggendong Meisya hendak keluar dari kamar. "Ke rumah sakit terdekat aja, Yo. Takut air ketubannya keburu kering," ucap Sesil. "Biar Mama yang bawa tas Meisya dan perlengkapan bayinya." Untung saja semuanya sudah disiapkan oleh Meisya sejak seminggu yang lalu. Sesil mengambil tas tersebut dan apa saja yang kira-kira dibutuhkan di sana nanti, lalu menyusul Mario. "Aku yakin kamu pasti kuat." Mario terus memberikan semangat pada Meisya dengan menggenggam jemari istrinya itu. Tiba di rumah sakit, rupanya air ketuban Meisya sudah hampir mengering. Alhasil, dokter meminta izin supaya Meisya melahirkan dengan operasi caeser. "Ma... " Mario meminta pendapat Sesil, dia takut Meisya gagal ketika operasi tersebut dilakukan. Pikirannya sudah ke mana-mana. "Aku takut," ujarnya dengan suara bergetar. "Nggak apa-apa, kok. Meisya dan calon anak kamu akan baik-baik saja." Sesil tersenyum tipis, dia mengusap bahu anaknya itu pelan. "Ayo buruan tanda tangan, biar Meisya segera ditindak lanjuti," ujar Sesil menunjuk form yang diberikan oleh salah satu perawat. Masuk ke dalam ruang operasi, Mario berusaha menahan tangis melihat Meisya yang merintih kesakitan sebelum dibius. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku percaya sama kamu." Mario mendekatkan wajahnya kepada Meisya dan mengecup kening istrinya itu lama. Hingga tak lama setelah itu, datang lah seorang dokter anestesi yang menyuntikkan bius kepada Meisya. Mario terus menggenggam tangan Meisya selama proses operasi dilakukan. Meisya tidak tidur, dia sepenuhnya sadar. Mario terus menguatkan perempuan itu dan membisikkan kata-kata manis untuknya. Bukan sekedar bualan semata, itu memang tulus dari dalam hatinya. Mario tak kuasa menahan tangis ketika mendengar suara tangisan bayi. Tanda jika anaknya sudah dikeluarkan dari perut sangat istri. Dia mengecup kening, pipi, dan bibir Meisya berulang kali sembari mengucapkan kata terima kasih karena telah berjuang untuk anak mereka. Tak lama setelah itu, mata Meisya terpejam membuat Mario panik. "Sayang, hei, jangan tidur! Kamu bangun! Anak kita udah lahir ini... " Namun, Meisya tak kunjung membuka matanya membuat Mario semakin panik. "Dok, istri saya, Dok! Tolong!! Kenapa dia nggak bangun?! "
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD