SATU

3162 Words
"Hai! Bisakah kau membuka sedikit saja pintu hatimu untukku, Miss  Gonzales?" Charlotte Gonzales, sangat terkejut tak lama mendengar suara berat seorang pria dari arah belakang punggungnya. Ia berbalik dan mendapati Davenill Gomez, sang Desainer muda yang merupakan Kakak kandung dari sahabatnya--Amanda Gomez--itu dengan berada di sana. Jujur saja ia tampak tertegun pula dengan setelan suit mewah berwarna putih gading yang dikenakan Davenill, dan itu sangat jauh berbeda dibandingkan dengannya yang memilih mengunakan warna gelap di pesta pernikahan tersebut. Akan tetapi Charlotte berusaha tak memedulikan kehadiran Davenill, bersama kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut lelaki itu. Kalinya terangkat dan membawa ia menuju ke tempat di mana Brenda Dasilva dan  Amanda Gomez duduk, namun sayang sekali Davenill pura-pura menjadi lelaki tidak lama dan mengajak Nicholas Don Bosco--sahabatnya--untuk ikut ke mana yang di tuju oleh Charlotte.  "Ayolah, Nick. Mau jangan terlalu tegang seperti ini. Aku akan memperlihatkan padamu bagaimana seorang pria sejati yang sesungguhnya," ucap Davenill sedikit berkelakar. Mereka pun tersenyum sembari melangkah maju dan apalah daya, Amanda memang sedari sejak acara pemberkatan di mulai memang menginginkan untuk bisa dekat dengan Nicholas Don Bosco.  "Hai, lil' sister. Aku membawa pesanan-- Auwww...! Hei! Kenapa kau menendang kakiku, Mandy?" sapa Davenill yang berubah menjadi omelan. Bagaimana tidak, Amanda dengan cekatan menendang kali kanan Davenill, saat nyatanya pria itu baru saja mendaratkan bokongnya. Namun alih-alih menjawab gerutuan sang Kakak, Amanda malah memberi kode pada Davenill untuk dengan kedua matanya yang membulat besar dan sukses membuat Charlotte dan Berada tertawa besar. Davenill yang melihat tawa Charlotte pun diam seketika sembari semakin memantapkan hati, jika anak salah satu konglomerat di Barcelona itu memang harus ia miliki. "Aku semakin mencintaimu, Charl. Aku yakin cepat atau lambat kau akan ku miliki, dengan cara apapun juga," batin Davenill tak melepaskan pandangannya dari  wajah cantik Charlotte. Sayangnya kedua netra sang Desainer itu menangkap ada hal yang tak lazim dari diri Charlotte Gonzales, dan tentu saja hal tersebut adalah wadrobe hitam yang dikenakan sang pujaan hatinya. "Maaf Nona Gonzales yang cantik, apa kau tak ingin menganti gaunmu untuk pesta dansa nanti? Ku rasa dua puluh menit lagi pestanya akan di mulai. Lagi  pula wedges akan lebih menunjang langkah kaki Nona, agar high hells lancip itu tidak menancap ke dalam tanah. Aku bisa membantu jika Nona bersedia," tawar Davenill. Jelas saja, ledakan tawa kembali Amanda dan Brenda keluarkan  dari kita suaranya. Ketika nada ajakan Davenill terdengar seperti sebuah ejekan bagi Charlotte. "Hahaha... Aku sedari tadi sudah mengatakan pada pujaan hatimu ini untuk menganti wadrobe hitam ini, Brother. Hanya saja dia mungkin masih berkabung dengan suasana hatinya akibat--" "Diam, Mandy! Apa kau ingin aku pergi sekarang  juga!" potong Charlotte membola kedua netra birunya di depan Amanda. "Hei, Dave mengajakmu untuk menggantinya, Dear. Ada baiknya kau coba saja gaun termahal rancangannya. Untung saja dia menyukai kau, jika dia menyukaiku? Sudah sejak lama aku akan memaksanya untuk membuatkan aku dua puluh... ach tidak-tidak empat puluh jenis busana berbeda di setiap musim," sahut Brenda sembari tertawa lebar. "Aku tak butuh pakaian tak jelas rancangan pria aneh sepertinya. Aku punya Madame Serena yang lebih ternama di seluruh Spanyol ini dari pada dia. Cih, apa kau pikir aku tidak mampu membeli pakaian hingga harus salah kostum, Mr. Gomez? Lagi pula Jessy dan Armand tidak menulis di undangan pernikahan mereka tentang wadrobe, bukan? Lalu kenapa kalian sibuk dengan penampilanku! Dasar laki-laki maskulin! Mulutmu semakin hari sudah seperti wanita saja, Nill! Apa jangan-jangan seleramu juga sudah berubah juga?" gerutu Charlotte panjang lebar. Ia melemparkan pandangannya pada Nicholas Don Bosco yang duduk di sebelah Davenill, hingga membuat sang CEO muda itu mengangkat tinggi kedua tangannya dan tertawa. "Hahaha... Davenill bukan seleraku, Mrs. Gomez. Lagi pula dia masih terlalu menyukai anda dan itu yang membuatku semakin penasaran hingga mau ia bawa kemari," sahut Nick masih terkekeh, "Ternyata benar, selain anda cantik. Mulut pedas anda pun semakin membuat aku percaya jika Davenill sangat cocok berjodoh dengan anda. Bukan begitu, Dave?" goda Nick sukses membuat Charlotte semakin memerah. "Dasar orang aneh! Awas kalian semua! Akan ku suruh setan dari negara api datang menyerang kalian nanti malam!" kesal Charlotte, bangkit berdiri dari tempat duduknya. "Hei! Mau kemana, Charlotte? Tunggu aku sebentar!" teriak Davenill ikut berdiri. "Susul dia, Dave. Kau bilang ingin berdansa dengannya. Kau sangat payah! Hahaha..." ujar Nick terkekeh geli. Charlotte mempercepat langkah kakinya, dengan tujuan kamar tamu tenpat Jessica di rias tadi dengan maksud ingin mengambil tas miliknya. Tetapi ketika tas bermerek itu sudah di tangan dan langkah kakinya berbalik hendak keluar dari kamar itu, sebuah fakta mengejutkan terjadi pada Charlotte Gonzales dan lelaki yang berprofesi sebagai Desainer--Davenill Gomez. Pintu kamar tamu yang di dalamnya sudah di dekorasi dengan tampilan elegan tersebut kini tertutup rapat dan itu terjadi jelas akibat dari ulah dari Kakak kandung Amanda Gomez. "A-Apa yang kau lakukan, hah?!" panik Charlotte memekik, "Aku ingin keluar! Buka pintunya. Berikan kunci itu padaku, Nill! Ini bukan lelucon!" teriaknya semakin gelagapan. Alih-alih mendengar apa yang Charlotte katakan, yang ada Davenill malah mencabut kunci di pintu kamar tamu itu, lalu menyimpannya ke dalam saku celana kheki yang dikenakannya. Ia melangkah maju, berniat mendekati Charlotte dan sungguh bagi putri sang konglomerat di Bercelona, hal tersebut sukses membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat. Sudah sangat lama ia tidak berada di situasi seperti sekarang ini. Apalagi kalau bukan, berdua dengan lawan jenisnya di dalam satu kamar yang sama. Logikanya membawa ia berpikir kembali saat ia masih bisa leluasa bermesraan dengan Mark Rodriguez, sang mantan tunangan yang kini sudah tak ada di dunia ini. "Charl, aku sangat mencintaimu. Bisakah kau membuka sedikit saja pintu hatimu untukku," ucap Davenill yang ternyata sudah berdiri sangat dekat di depan Charlotte. Tak ayal, segala lamunan indah Charlotte buyar dan terbang menjauh. Berganti dengan bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya yang kian meremang atas tindakan Davenill. "s**t! Kau mau apa, hah?! Mundur! Mundur dan jangan dekati akuuu...!" pekik Charlotte. Ia memundurkan langkah kakinya ke belakang dengan cepat, namun sayang sekali tembok rata putih dengan selembar kain berwarna pink pastel nyatanya telah menghentikan pergerakan tubuh Charlotte. "Ku mohonnn...! Jangan dekati aku, Nill! Aku bukan jalang yang bisa seenaknya kau sentuh!" teriak Charlotte, "Akan ku laporkan kau ke polisi jika kau berani macam-macam, Nill! Aku tidak main-main!" lanjut Charlotte begitu berang. Sayangnya itu tak berdampak apa pun bagi seorang Davenill Gomez, karena ia tak mau menghentikan langkahnya mendekati Charlotte. "Aku sudah tak bisa lagi menahannya, Charl. Izinkan aku memelukmu sebentar saja, please. Hanya sebentar sa--" "Aku tidak mau! Eghhh...!" potong Charlotte memukul Davenill dengan tas bermereknya, "Kau gila, Nill! Menjauh darikuuu...! Pergiii...! Ughhh...!" teriak Charlotte semakin kuat memukul Davenill. Pria itu tiba-tiba saja menjadi kesal karena di tolak oleh pujaan hatinya, maka dia pun dengan cepat menangkap pergelangan kedua tangan Charlotte hingga membuat tas tersebut terlempar ke sembarang arah. "Jangan merusak itu, Charl. Apa kau lupa dengan biaya yang kau keluarkan untuk membelinya? Lagi pula aku hanya ingin memelukmu, Honey. Apa itu salah? Sebegitu buruknya kah aku bagimu? Kau lupa sejak dua tahun lalu aku berubah menjadi orang gila yang selalu mencari tahu semua tentangmu? Apa karena Mark lagi, hah?! Sampai kapan, Charl? Sampai kapan kau terus terperangkap dengan b******n gila yang sudah mati itu?!" tekan Davenill semakin keras memegang pergelangan tangan Charlotte. Dua bulir air bening merembes turun dari mata biru Charlotte dan kini pun pergelangan tangannya sudah sangat memerah, ia benci dengan keadaan ketika kebodohannya terlontar dari mulut orang lain, terlebih itu dari seorang Davenill Gomez. Charlotte bukan tak ingat jika lelaki itu pernah menjadi bagian dari cinta di masa remajanya ketika bersekolah di tempat yang sama dengan lelaki itu, namun sayangnya Mark Rodriguez lebih dulu hadir dan mengacaukan cinta terpendam itu dengan segala bujuk rayu bertopeng belaian manja. Kesedihan Charlotte lebih kepada sikap tak sabarnya hingga membuat dirinya menjadi barang bekas setelah tak lagi bersama Mark. Dan untuk meloloskan keinginan Davenill sejak dua tahun lalu, saat pria itu mulai mengejarnya, benar-benar berhasil membuatnya merasa tidak pantas. Sikap terus mengejar dan selalu menyampaikan banyak pesan titipan pada Amanda Gomez yang merupakan sahabat baik Charlotte ini pula yang membuat si Miss Gonzales terus ingin kembali pada Mark, padahal sudah sangat jelas jika dia sendirilah yang membatalkan rencana pernikahan mereka hingga Mark Rodriguez menjalin kasih dengan Dominnique Miguel. Sisi licik dalam diri Charlotte selalu mencecarnya dengan serangkaian kata-kata menusuk, bahwa Davenill menginginkannya hanya untuk mempermainkan rasa diam-diam yang ia miliki sejak remaja. Sayangnya pemikiran dangkal seorang Charlotte itu ternyata seribu persen salah, karena Davenill sendiri sama sekali tak pernah mengetahui jika dulu wanita itu sangat mengidolakan dirinya. Davenill merasakan geleyar rasa suka dan simpatik itu ketika Charlotte berbaik hati membantunya, mengantikan salah satu model yang mendadak sakit di tengah acara fashion show pertamanya di kota Madrid. Itu adalah debut pertama Davenill setelah lama di anggap sebelah mata oleh para kalangan sosialita Spanyol dan tentu saja Charlotte hadir bak dewi penyelamatnya. Dari situlah Davenill berubah menjadi seorang pengagum wanita cantik itu, namun selalu gagal ketika hampir ribuan gombalan maut sang Desainer muda tak kunjung ditanggapi oleh Charlotte. "Maafkan aku, Charl. Hei, tolong jangan menangisi ucapanku. Aku mohon. Kau tak pantas dengannya, Honey. Harusnya kau bahagia dan bersyukur janin itu tidak hidup. Aku akan membahagiakan mu, Charl. Aku--" "Hiks... Brengsekkk...! Dari mana kau tahu tentang bayiku, hah?!" potong Charlotte semakin berkaca-kaca, "Dari mana kau tahu, Nill?! Katakan siapa yang sudah memberi tahu mu, hah?! Katakannn...!" teriak Charlotte. "Aku tahu semua tentangmu, Honey. Aku bisa terima semua masa lalu buruk mu itu karena aku juga bukan manusia yang sem--" "Tidak! Lepaskan tanganku, Nill! Ini bukan lelucon! Siapa yang sudah membocorkan semuanya padamu? Mandy?!" tebak Charlotte, "Apa lagi yang Adikmu ceritakan tentang aku, Nill? Apalagi?! Apa kau tahu aku tidak butuh siapa pun lagi dalam hidupku?! Kenapa kau terus mencari tahu tentang aku, Tuan Davenill Gomez yang terhormat! Kenapaaa...! Tidak bisakah kau jangan mengangguku? Pergi, Nill. Aku mohon kau sebaiknya pergi dan jauhi aku," tangisnya semakin menjadi. Sayangnya segala penolakan tegas barusan itu tak berdampak apapun bagi Davenill, karena sepersekian detik kemudian bibir lelaki itu sudah mendarat mulus membungkam habis mulut pedas Charlotte. "Hemmpphhh... Emmmpphhh..." Ia bahkan tak memedulikan pekik kaget yang dikeluarkan dari pita suara Charlotte, dengan terus saja memegangi tengkuk belakang kepala Miss Gonzales itu. Dua menit lebih berlalu dengan keadaan Charlotte memukuli d**a bidang Davenill, namun di detik berikutnya tubuhnya semakin lemas akibat pasokan udara yang mulai menipis. Mau tak mau mulut bungkam sang wanita pun sedikit terbuka untuk mengais oksigen dan Davenill tidak menyia-nyiakan hal itu dengan semakin memperdalam ciumannya. Memang ini bukanlah ciuman pertamanya dengan Charlotte, karena nyatanya dulu pun lelaki itu pernah melakukannya dengan cara memaksa juga. Hanya saja dulu yang di maksud adalah setahun lalu, saat Charlotte dengan sadisnya terkurung seperti ini juga di kamar Amanda bersama Davenill. "Aku menginginkanmu, Charl. Balas ciuman ku, please," pinta Davenill di sela ciumannya. Sayangnya Charlotte tak mau melakukan meloloskan keinginan sang Desainer dan selanjutnya ia dengan kuat mengigit bibir Davenill. "Arghhh...! s**t!" pekik sang lelaki. Dengan gesit Charlotte mendorong Davenill hingga tersungkur ke lantai dan ia pun berlari meraih tas bermerek miliknya, untuk mencari sesuatu di sana. "Auw..." Lantas ketika Davenill masih dalam mode mengaduh dan memegangi pinggangnya yang sakit, dengan keras pula telinga pria itu mendengar teriakan lantang Charlote. "Lepaskan aku atau kau akan melihat kematian ku di depan matamu, Tuan Davenill! Buka pintu sialan itu cepattt...!" Mata Davenill membulat sempurna melihat Charlotte meletakkan pisau besi dengan gagang yang terlihat seperti lipstik tepat di lehernya dan ia mencoba untuk bangkit berdiri. "Jangan bergerak! Diam di situ atau aku akan menancapkan pisau ini sekarang juga!" amuk Charlotte membuat Nill berhenti bergerak. "Jangan gila, Honey. Tolong jangan lakukan kebodohan apa pun lagi! Please, Charl. Aku mohon dengarkan aku bicara sedi--" "Kau yang harusnya diam dan dengarkan aku, Nill!" bentak Charlotte lagi-lagi menyanggah, "Buka pintunya dan biarkan aku keluar dari sini! Aku tidak akan melaporkanmu ke polisi seperti saat kau mengurungku di kamar Amanda dulu, asalkan kau biarkan aku keluar! Aku ingin keluar, Nilll... Berikan kunci itu padakuuu..." isak Charlotte sekali lagi. Deg Degupan jantung di balik tulang rusuk Davenill semakin kuat bekerja dan ia sungguh tak sanggup mendengar isakan Charlotte yang terdengar begitu memilukan baginya. "Oke. Akan aku berikan, Charl. Kau boleh keluar dari sini tapi turunkan dulu pisau itu dari lehermu," lirih Davenill membuat Charlotte semakin deras menangis. "Aku lelah, Nill. Aku ingin pulang dan tidur. Tolong biarkan aku pergi dari sini, b******k. Kenapa kau harus datang di waktu yang sudah tidak tepat seperti sekarang ini?" ucap Charlotte tak kalah lirihnya. Kembali Davenill menegang dengan perkataan Charlotte barusan dan dengan sigap ia bangkit dan menerjang Miss Gonzales ketika ternyata lengan wanita itu sudah tak lagi berada di depan lehernya. "Charl, aku--" "Awasss...! Eghhh..." "Arghhh... Charlotte! Apa kau sudah gila, hah?" Tapi sekali lagi Charlotte menggila di sana, hingga tangannya yang memegang pisau ternyata menggores pipi Davenill saat ia hendak menepis tangan lelaki itu. "Nill! Aku--" "Kau ingin keluar dari sini, kan?! Kau juga ingin terus berada dalam lingkaran masa lalu bodoh mu itu, bukan?" tegas Davenill memegangi pipinya yang mengeluarkan darah akibat tak sengaja tergores pisau, "Kau boleh pergi, Charlotte Gonzales! Kau boleh pergi sekarang juga, tapi jangan memaksa aku untuk berhenti mencintai mu karena itu tak akan pernah terjadi dalam hidup ku!" lanjut Davenill berbalik menuju pintu. Dengan cekatan ia merogoh kunci dari saku celana khekinya. Lalu tak sampai lima detik, pintu kamar tamu itu sudah lebih terbuka lebar. Sayangnya bukan Charlotte yang lebih dulu keluar dari sana, melainkan Davenill yang pergi dengan suara keras hasil bantingan pintu kamar. "Ma-maafkan aku, Nill." Charlotte roboh terduduk di lantai usai menyaksikan kemarahan Davenill padanya dan merasa sangat menyesal dengan keadaan yang terjadi padanya. "Kau terlambat, Nill. Kenapa kau baru datang sekarang?" isak Charlotte, "Kenapa tidak sejak dulu sebelum aku hancur seperti ini? Aku bukan wanita baik seperti dugaan mu, Nill! Aku tidak lagi sama seperti dulu saat masih terlalu banyak menyimpan rasa untukmu. Itu sudah terganti dengan kebodohan ku dan sebaiknya kau pilih orang lain saja," gumam Charlotte menundukkan kepalanya. Di tatapnya pisau besi dalam genggaman tangannya lekat-lekat, dan hatinya tiba-tiba saja seperti teriris mana kala netra biru laut itu mendapati sedikit percikan darah yang menempel di sana. "Aku minta maaf, Nill. Maafkan akuuu..." Charlotte masih saja belum beranjak dari posisi terduduk di lantai. Sementara Davenill sendiri, sudah berada dalam mobil sport putih miliknya dan berkali-kali memukul kemudi mobil dengan teriakan amarahnya. "Kau salah, Charl! Kauuu... salahhh...! Aku tidak akan tinggal diam dengan semua penolakanmu, karena aku baru ingat dengan bross emas di dekat lehermu tadi dan itu adalah milik gadis bermata coklat yang dulu sering menyimpan surat bersampul biru muda dengan beberapa gambar desain gaun dan kata-kata manis ke dalam loper ku. Kau mungkin bisa menipu warna retina matamu, tapi aku tidak akan lupa dengan sorotannya dan juga benda kecil tadi!" tegas Davenill. Ia merogoh ponsel pintar di saku tuxedo miliknya dan tiga detik kemudian benda pipih itu sudah menempel erat di telinga kanannya. "Hallo, Jack? Kau harus mencari tahu gadis bermata coklat yang dulu adalah adik kelas ku di junior high schooll dulu! Dia memiliki bross langka buatan Laurent Show Jewelery dengan batu berlian biru sedang di tengah bunga itu terdapat beberapa batu berlian putih juga," jelas Davenill, "Cari tahu siapa pemilik benda itu dan aku mau kau juga pergi ke Santana instituto de educación secundar untuk mencari identitas Charlotte Gonzales di sana. Kau paham?" "Oke, Tuan. Anda tenang saja," jawab suara lelaki bernama Jack itu. "Kerjakan sekarang dan bawa aku informasi itu besok pagi sebelum Charlotte kembali ke Barcelona. Suruh anak buah mu tetap mengikuti ke mana dia pergi selama di Madrid ini dan satu lagi!" jeda Davenill mengambil nafas, "Dia pasti sedang menangis di dalam mansion mewah milik Jessica Pablo ini. Terus awasi, dan katakan jika hal buruk terjadi padanya. Ak--ku... Hahhh... Aku tak sengaja membuatnya menangis tadi," lanjut Davenill terdengar sangat lirih. Di seberang telepon Jack ikut mendesah mendengar Davenill seperti itu dan ia sedikit mencoba menghibur sang Desainer muda. "Dia bukan wanita yang mudah merusak dirinya dengan tidur bersama banyak pria atau mabuk sampai pingsan, Tuan. Jadi anda tenang saja. Aku berjanji akan membantu mu memilikinya, walau pun sebenarnya itu bukan tugas ku sebagai seorang profesional detektif di negara ini," ujar Jack. "Ya, ku harap juga begitu. Baiklah, kau sudah boleh mematikan sambungan telepon ini sekarang," sahut Davenill lagi. Selanjutnya ponsel itu pun tak lagi berada di telinga Davenill, dan berganti dengan jemari sang Desainer yang sibuk mencari susuatu dalam ponselnya. Tak berapa lama kemudian ia kembali meletakkan benda pipih itu di telinga kanannya dan suara wanita pun terdengar. "Hei! Kau di mana, Dave? Lekas keluar dan ayo berdansa. Kenapa kau harus menelpon segala?" tanya si wanita yang ternyata adalah Amanda Gomez, sang Adik kesayangan. "Aku di dalam mobil, Mandy. Tolong kau hibur Charlotte. Aku tak sengaja membuatnya menangis di kamar yang penuh dekorasi pink soft dalam mansion itu tadi. Aku--" "What?! Kau membuat dia menangis?!" teriak Amanda terdengar menyakitkan telinga Davenill, hingga di ujung sana ia menjauhkan ponselnya, "Apa kau menidurinya, Dave? Oh Tuhan! Kau pria b******k yang pernah aku kenal!" tegas Amanda. "Tidak begitu, Mandy! Apa kau sudah tidak waras, hem? Aku hanya tidak sengaja berkata kasar padanya tadi. Dan juga akuuu..." ucap Davenill mengantung. "Aku apa, Dave?" tuntut Amanda. Gadis manis berkulit sawo matang itu bahkan berjalan menuju tempat di mana Charlotte berada, namun ia tak memberi tahu aksi tersebut pada sang Kakak. Sementara di ujung telepon, Davenill sedikit ragu-ragu untuk menceritakan apa yang sudah ia lakukan pada sahabat baiknya. Namun, karena Amanda kembali menegurnya, maka sang Desainer muda itu pun bercerita juga. "Ya, akuuu... Hehe... Aku tidak sengaja menciumnya lagi, Mandy. Ku rasa--" "Oh, ya ampun! Hahaha... Kalian berdua ini sungguh menggemaskan sekali. Apa aku harus kembali melakukan reka ulang kejadian tahun lalu saat kalian berada dalam kamar ku? Hahaha..." kekeh Amanda. "What?! Mandy kau mengetahuinya?" jawab Davenill membola kedua matanya. "Hahaha... Tentu saja, Brother. Akulah yang mengunci pintu itu dari luar. Tapi, kau malah di tuduh melakukan pelecehan padanya dan harus berurusan dengan para polisi gila itu. Hahaha... Jadi, kapan kau akan menunjukkan pada Adikmu ini tentang usahamu menaklukkan hatinya, hem? Kau sangat payah," cecar Amanda, "Sudahlah. Nanti ku bantu. Aku sudah berada di depan kamar yang kau katakan tadi. Matikan teleponnya dan aku janji akab mengajaknya bersenang-senang di club malam ini. Klik..." lanjut Amanda memutuskan panggilan telepon secara sepihak. "Apa?! Club? Halooo...! Mandyyy...! Mandy? Halo halo? s**t!" teriak Davenill semakin mengeraskan suaranya. Ia kembali menekan nomor ponsel sang Adik, namun suara operator telepon yang menyahutnya untuk meninggalkan pesan. Perasaan kacau seketika berpedar dalam isi kepala seorang Davenill Gomez, akibat dari bayangan club malam yang Amanda katakan tadi. "Awas saja jika kau berani mengajaknya pergi ke sana, Mandy! Aku tidak akan membuatkan selusin gaun musim panas yang kau inginkan itu!" Tulis Davenill dalam sebuah aplikasi chatting yang ia tujukan pada Adiknya. Setelahnya ia memutar kunci mobil sport putih miliknya dan sedikit membunyikan klakson ketika berpapasan dengan sedan metalik hitam yang sudah sangat ia kenali. Itu adalah mobil milik anak buah Jackson Honduras, Detektif profesional di Negara Raja Felipe VI sewaannya. "Sampai kapan harus seperti ini, Charl? Aku hanya ingin membahagiakanmu. Itu saja," batin Davenill di balik kemudi mobilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD